Sekolah Keagamaan Majapahit Ajarkan Kesusilaan melalui Cerita Dongeng Oleh : A’ang Pambudi Nugroho*

Situs Jawar atau Candi Jawar peninggalan Kerajaan Majapahit yang unik, menarik, dan cukup langka. (Foto : Pemkab Malang).
Iklan terakota

Terakota.id-Pengetahuan tentang ilmu kepurbakalaan yang terhimpun dalam studi arkeologi dan sejarah, sangat unik untuk dipelajari. Bersama para arkeolog, sejarawan, atau juga bahkan guru sejarah di sekolah bisa membawa kita menelusuri ruang dan waktu di masa lalu. Misalnya ketika kita menelusuri tinggalan arkeologi atau kepurbakalaan masa Kerajaan Majapahit yang tersebar luas di Pulau Jawa dan beberapa lainnya di luar Pulau Jawa, tentu tidak akan ada habis-habisnya mendengar cerita tentang masa-masa kejayaan itu.

Kajian penelitian tentang kerajaan besar yang memiliki eksistensi dari abad XIV sampai XV Masehi (Hardiati dkk, 2010) ini, telah lama menjadi perhatian banyak peneliti dari berbagai disiplin ilmu, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Unsur-unsur peninggalan Kerajaan Majapahit dapat berupa artefak (benda-benda tinggalan budaya), bangunan suci keagamaan (candi, petirtaan, goa pertapaan), serta struktur sisa-sisa permukiman kuno.

Di Malang Raya peninggalan kepurbakalaan masa Kerajaan Majapahit yang unik, menarik, dan cukup langka ditemukan di daerah lain, yaitu Situs Jawar. Lokasinya berada di lereng Gunung Semeru kawasan barat daya, secara administrasi masa kini masuk Kecamatan Ampelgading-Kabupaten Malang. Situs Jawar atau penduduk sekitar menyebutnya “kepurbakalaan”, lokasinya cukup jauh dari permukiman penduduk desa. Lokasi tersebut berbeda dengan “Candi Jawar” yang merupakan bangunan candi baru (masa kini), karena menurut informasi dari kawan-kawan yang bergerak dalam bidang pariwisata sering ditunjukkan oleh google maps ke sana.

Penulis pertama kali datang ke sana tahun 2013, saat tergabung dalam tim survei pengumpul data penelitian bidang kajian prasejarah serta epigrafi, bersama tiga teman mahasiswa dan dua dosen yang saat itu diketuai oleh Dr. Blasius Suprapta, M.Hum (Dosen di Jurusan Sejarah UM). Mulai dari kegiatan survei itulah, timbul suatu pikiran kritis setelah melihat satu-persatu tinggalan arkeologi yang terdapat di kawasan tersebut. Apalagi saat itu penulis sebagai mahasiswa prodi pendidikan sejarah merasa tertantang oleh seorang dosen setelah proposal skripsi pertama ditolak karena dianggap terlalu berat, lalu diminta untuk mencari bentuk sekolah zaman Kerajaan Majapahit.

Pemandangan Gunung Semeru dan Bukit Widodaren dari Jalan Persawahan Menuju Situs Jawar. (Foto : Aang Pambudi).

Situs Jawar memiliki tinggalan arkeologi berupa struktur tinggalan budaya sisa sekolah keagamaan. Struktur bangunannya terbuat dari susunan batu breksi vulkanik hasil letusan Gunung Semeru, menampilkan relief-relief yang menggambarkan unsur-unsur dongeng cerita binatang. Selain struktur bangunan, pada area situs juga ditemukan dua pedestal tempat arca dwarapala (penjaga pintu) yang arcanya sudah berhasil diamankan. Selanjutnya juga sebuah runtuhan candi induk sebagai tempat pemujaan berada di halaman paling atas, serta beberapa umpak batu di sekitar struktur pendapa teras sebagai sisa-sisa penyangga tiang bangunan berbahan kayu.

Di situs itu hanya tinggalan arkeologi yang berbahan batu bisa awet hingga saat ini. Sementara itu yang berbahan kayu tidak bisa awet atau sangat mudah lapuk. Apalagi pada kondisi alam di kawasan Situs Jawar yang terkadang tiba-tiba sangat dingin ketika kabut tebal turun, sehingga kondisi lingkungan menjadi lembab. Terlebih lagi tidak terhindarnya dari dampak letusan Gunung Semeru yang juga mengakibatkan dulunya Situs Jawar pernah terpendam hingga ditemukan kembali sekitar tahun 1973 ketika ada penduduk yang membuat galian tanah untuk tempat mesin pemotong kayu.

Sebelum kedatangan tim survei 2013, riwayat penelitian situs ini berawal dari tahun 1986 saat penemuannya dilaporkan ke kantor SPSP Jatim (sekarang BPCB), lalu tahun 1988 dilakukan peninjauan dan pengangkatan petugas juru pelihara berstatus honorer, tahun 1997 dilakukan dokumentasi dan inventarisasi, dan tahun 2008 dilakukan kegiatan ekskavasi dan studi pemintakatan (zonasi) untuk melindungi area situs (Kuswanto, 2008; Nugroho, 2015).

Struktur Pendapa Teras Tempat Belajar Para Sisya (Siswa) Dibimbing Sang Dewaguru (Foto : Aang Pambudi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata Situs Jawar dahulu merupakan bagian dari sebuah maṇḍala atau kadewaguruan dari masa Majapahit abad XV Masehi (Nugroho, 2015). Maṇḍala atau kadewaguruan merupakan kompleks permukiman pusat pendidikan keagamaan yang berjenjang berdasarkan tingkat pencapaian para sisya (siswa) terhadap ajaran pengetahuan keagamaan (Santiko, 1986). Tata ruang Situs Jawar terdiri dari halaman I, masuk halaman II dengan terdapat pintu ditandai dua arca dwarapala, halaman II terdapat bangunan pendapa teras dilengkapi hiasan relief, serta paling atas terdapat candi induk sebagai tempat pemujaan.

Berdasarkan bentuknya yang demikian, maka dapat diidentifikasi sebagai tempat belajar atau “pajaran” dalam naskah Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924). Pendeskripsian bangunan seperti ini juga terdapat pada Kakawin Nagarakertagama (Pigeaud, 1960; Riana, 2009). Sementara itu, adanya pintu yang dijaga oleh dua arca dwarapala seperti yang dinarasikan dalam Naskah Pararaton, dalam adegan Ken Angrok pada masa kecilnya (Padmapuspita, 1966).

Dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang bersifat fiktif (tidak benar-benar terjadi), merupakan suatu hiburan semata, dan sebagai perwujudan nilai moral atau bahkan sindiran pada suatu peristiwa tertentu di dunia nyata (Danandjaja, 1984). Relief dongeng cerita binatang dari masa Jawa Kuno selain berada di Situs Jawar, sebenarnya juga ada di situs-situs percandian lainnya.

Penggambaran cerita tersebut sudah terjadi sejak masa Mataram Kuno (abad VIII-IX Masehi) seperti pada Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Sojiwan, hingga pada candi-candi masa Singhasari-Majapahit seperti Candi Jago-Malang, Candi Penataran-Blitar, Candi Surowono-Kediri, Candi Rimbi-Jombang, Candi Menakjinggo-Mojokerto, dan mungkin juga masih ditemukan pada beberapa tinggalan Majapahit lainnya. Dongeng cerita binatang seperti yang digambarkan pada candi-candi di atas berasal dari beberapa naskah cerita binatang yang masih digunakan dari masa Jawa Kuno, antara lain: Pañcatantra, Jataka, Hitopadeśa, Tantri Kamandaka, Kidung Tantri Kediri (Dipodjojo, 1983; Surapta dkk, 2017).

Relief di pendapa teras Situs Jawar tidak semuanya menampilkan bagian dari cerita binatang, karena juga terdapat urutan yang menampilkan motif anyaman, motif daun, motif bunga teratai, dan beberapa sudah tidak ditemukan kembali. Menariknya cerita dongeng pada relief di Situs Jawar ternyata difungsikan sebagai penggambaran sepuluh nilai kesusilaan masa Jawa Kuno atau disebut daśaśīla. Dalam Kitab Wṛhaspatitattwa (LXI:10), sepuluh nilai tersebut (Zoetmulder, 1982) dan penggambarannya dalam cerita binatang (Mardiwarsito, 1983) pada dinding struktur pendapa teras Situs Jawar, antara lain:

  • Ahiŋsā (Tidak Membunuh Atau Melakukan Kekerasan), digambarkan pada adegan relief burung gagak dan ular yang mati tercapit oleh ketam, karena keduanya berencana ingin membunuh seorang brahmana bernama Sang Dwijeswara yang telah menyelamatkan dirinya dari puncak gunung untuk dibawa ke telaga (Sumber: Tantri Kamandaka).
  • Brahmacarya (Mempraktikkan Ajaran Suci), digambarkan pada adegan relief Sri Maharaja Aridharma yang mempraktekkan ajaran suci petuah gurunya bernama Nagapertala, hingga pada akhirnya rela kehilangan istrinya yang tidak punya perasaan karena terlalu memaksa diberikan ilmu bahasa binatang (Sumber: Tantri Kamandaka).
  • Sayta (Setia, Tulus, Dan Jujur), digambarkan pada adegan relief figur makhluk berbadan burung dan berkepala manusia, merupakan tokoh Kinnara yang sangat setia dengan Kinnari (istrinya) walau segala cobaan kematian Kinnara datang karena terkena panah dari seorang raja pemburu yang ingin merebut Kinnari. Atas ketulusan doanya maka Dewa Saka menghidupkan suaminya kembali (Sumber: Kitab Jātaka pada bagian Canda-Kinnara-Jātaka) (Dipodjojo, 1983).
  • Awyawahārika (Tidak Ikut Campur Dalam Perkara), digambarkan pada adegan relief figur Patih Srigala Sambadha yang selalu ikut campur dan mengadu-domba Raja Singa Candapinggala dan Patih Lembu Nandaka, hingga keduanya berkelahi dan sama-sama mati (Sumber: Tantri Kamandaka) (lihat foto ketiga di bawah).
  • Astainya (Tidak Mencuri), tidak ditemukan penggambarannya dan diperkirakan pada panil relief yang sudah hilang.
  • Akrodha (Tidak Marah), digambarkan pada adegan relief seekor kera yang kehujanan, sangat marah karena tidak terima ditegur oleh burung manyar, punya tangan dan kaki tapi tidak bisa membuat rumah. Si kera lalu marah dan merusak sarang burung manyar (Sumber: Tantri Kamandaka) (lihat foto pertama di bawah).
  • Guruśuśrūṣa (Kepatuhan Terhadap Guru), digambarkan pada adegan relief Sri Maharaja Aridharma sama seperti poin nomor 2 (Sumber: Tantri Kamandaka).
  • Śoca (Menjaga Kesucian), digambarkan pada perwujudan bunga teratai mekar yang dalam Agama Hindu maupun Buddha digunakan sebagai lambang kesucian (Herayati, 1999).
  • Āhāralāghawa (Tidak Menipu), digambarkan pada adegan relief burung bangau menipu ikan dan akhirnya mati karena lehernya dicapit oleh kepiting/ketam yang ikut dipindahkannya (Sumber: Tantri Kamandaka). Nilai ini juga digambarkan pada adegan raja ular menipu raja katak dengan berpura-pura lemas dan menawarkan bantuan untuk dinaiki namun dengan tebusan boleh memakan katak, akhirnya raja ular bisa memakan seluruh rakyat katak termasuk rajanya sendiri (Sumber: Pañchatantra Pañchākhyānaka) (lihat foto kedua di bawah).
  • Apramāda (Tidak Mabuk), tidak ditemukan penggambarannya dan diperkirakan pada panil relief yang sudah hilang.

 

Ajaran kesusilaan dalam masa Jawa Kuno merupakan ajaran paling awal atau paling dasar sebelum sisya (siswa) mendapatkan materi ajaran keagamaan yang lebih tinggi (Santiko, 2012). Adegan-adegan relief cerita binatang yang tergambar jelas pada dinding struktur bangunan pendapa teras Situs Jawar, menjadi bukti bahwa cerita tersebut sangat populer dalam masa Hindu-Buddha di Jawa mulai Mataram Kuno sampai Majapahit (abad VIII-XV Masehi). Pada bangunan sekolah keagamaan masa Majapahit pada Situs Jawar di atas, dongeng yang berasal dari naskah-naskah cerita binatang pada masa itu digunakan sebagai bahan untuk membuat gambaran relief adegan-adegan, merupakan sebuah penanda nilai-nilai luhur ajaran kesusilaan (daśaśīla).

Selain itu juga memberikan pelajaran tentang perbuatan baik dan buruk (hala-hayu) yang patut dan tidak patut dilakukan oleh manusia di dalam kehidupannya. Semoga nilai-nilai luhur daśaśīla yang ditemukan berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat menjadi cerminan tingkah laku masyarakat Indonesia terutama para generasi muda, dan mendukung konsep Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka memperingati Hari Dongeng yang jatuh pada tanggal 20 Maret 2021.

Daftar Pustaka

Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Grafitipers.

Dipodjojo, A.S. 1983. Cerita Binatang dalam Beberapa Relief pada Candi Sojiwan dan Mendut. Yogyakarta: Lukman Offset.

Hardiati, E.S., Djafar H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Zaman Kuno. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Herayati, 1999. Nuansa Ragam Hias pada Wadah dan Peralatan Rumah Tangga se-Jawa. Dalam Herayati (Ed.), Katalog Pameran Bersama Museum Negeri Provinsi se-Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Kuswanto. 2008. Studi Pemintakatan Candi Jawar: Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang. Mojokerto: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Mardiwarsito, L. 1983. Tantri Kāmandaka: Naskah dan Terjemahan dengan Glosarium. Flores: Nusa Indah.

Nugroho, A.P. 2015. “Pesan Moral Edukatif Relief di Maṇdala Kadewaguruan pada Situs Jawar di Ampel Gading, Malang Masa Majapahit (Abad XIV-XV Masehi)”, Skripsi. Malang: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.

Padmapuspita, J. 1966. Pararaton: Teks dari Bahasa Kawi Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.

Pigeaud, Th.G.Th. 1924. De Tantu Panggelaran: Een Oud-Javaansch Prozageschrift uitgegeven, vertaald en toegelicht. Disertasi. Leiden: Rijksuniversiteit te Leiden.

Riana, I.K. 2009. Kakawin Dēśa Warṇnana uthawi Nāgarakṛtāgama. Jakarta: Kompas.

Pigeaud, Th.G.Th. 1960. Java in the  Century a Study in Cultural History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (Volume I). The Hague: Martinius Nijhoff.

Santiko, H. 1986. Mandala (Kadewaguruan) pada Masyarakat Majapahit. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV (hlm. 149-169). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santiko, H. 2012. Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, XXX (2):123-133.

Suprapta, B., Wijaya, D.N., & Nafi’ah, U. 2017. Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Relief Cerita Tantri: Perspektif Strukturalisme Lévi Strauss. Dalam A. Sumarjana (Ed.). Yogyakarta: Kanisius.

Zoetmulder, P.J. 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Terjemahan Darusuprapta & Sumarti S. 1994.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

*Founder Komunitas Jawa Kuno Sutasoma/dan Kandidat Master Arkeologi UGM

**Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan melalui surel : redaksi@terakota.id. Subjek : Terasiana_Nama_Judul. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.