
Terakota.id – Dalam narasi sejarah Indonesia, ia senasib dengan Tirto Adhi Soerjo yang namanya hilang dalam sejarah bangsanya. Bahkan, bisa dikatakan lebih tragis.
Namun, kita tahu upaya gigih Pram memperjuangkan keadilan sejarah bagi Tirto Adhi Soerjo telah membuahkan hasil. Tirto menjadi dikenal dan dikenang. Selain ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973, ia juga telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2006.
Sedangkan untuk sosok yang punya andil besar dalam pertempuran Surabaya dan lahirnya Hari Pahlawan, hingga kini masih lebih dikenal dan dikenang sebagai pemberontak daripada sebagai pahlawan. Soemarsono, seolah adalah noda sejarah yang layak dikerdilkan sepanjang masa. Ia dianggap terlibat dalam peristiwa berdarah, yang oleh Presiden Soekarno disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948” dan oleh rezim Soeharto istilahnya diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948.”
Soeharto telah memenjarakannya cukup lama. Setelah bebas, Soemarsono memilih pindah ke Sidney dan menjadi warga negara Australia hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada 8 Januari 2019 dalam usia 97 tahun.
Beberapa hari menjelang peringatan Hari Pahlawan 2019, saya segera teringat nama Soemarsono. Saya langsung menghubungi seorang teman yang cukup dekat dengannya, Martin L. ia alumni FISIP USU Angkatan 1995. Saat ini, Martin aktif dalam kegiatan pendidikan non formal dan kesenian, di beberapa komunitas lintas sektor, pemuda, tani, nelayan, mahasiswa dan pelajar di Jawa. Ia berdomisili di Kota Batu, Jawa Timur.
Martin segera merespon, dan keesokan harinya ia mengirimkan sepuluh halaman kesaksian Soemarsono yang ia ketik. Tak lupa ia menambahkan penegasan:
“Naskah tersebut berasal dari kesaksian Soemarsono kepada saya saat tinggal bersama beliau di Jakarta antara bulan Juli sampai September 2013.”
Versi lengkap naskah tersebut kemungkinan besar akan segera diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung. Berikut hanya beberapa cuplikan kesaksian Soemarsono seputar pertempuran 10 November di Surabaya atau Hari Pahlawan. Silahkan diresapi.
“Pertengahan bulan Agustus tahun 1944, saya ditugaskan membantu jaringan anti fasis di Surabaya. Di Surabaya, saya masuk grupnya Widarta. Grup Widarta ini membangun banyak sel gerakan di Jawa Timur. Ada sel di kalangan pemuda, buruh dan rakyat. Ada juga sel di kalangan tentara dan sipil Jepang yang satu ideologi dengan kita. Kader-kader perjuangan Surabaya itu banyak ditempa di grupnya Widarta. Itu ceritanya mengapa saya ada di Surabaya.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, saya didatangi “orang-orang kita” dari Jakarta. “Orang-orang” kita ini maksudnya orang-orang yang dulunya berjuang dalam Gerakan Rakyat Anti Fasis. Orang-orangnya Bung Amir tentunya. Mereka meminta saya mempersiapkan kekuatan rakyat Surabaya buat menyambut proklamasi kemerdekaan.
Kita yang di Surabaya sebenarnya sudah mempersiapkan rakyat buat menyambut proklamasi kemerdekaan. Pemuda-pemuda Surabaya dari bermacam-macam suku dan agama sudah kita organisir. Buruh-buruh minyak, buruh-buruh pelabuhan, buruh-buruh kereta-api, buruh-buruh bengkel, tukang beca dan jagoan-jagoan kampung kita organisir. Puluhan ribu orang sudah kita organisir.
Waktu kita sedang mempersiapkan kekuatan rakyat Surabaya, tentara Inggeris datang. Tentara Inggeris ini masuk ke Surabaya mewakili Sekutu. Datang dengan nama pasukan RAPWI. RAPWI ini kepanjangannya Repatriation of Allied Prisoners of War and Internees. Tugasnya untuk mengurus penyerahan tentara Jepang kepada Sekutu, melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang ke kampung halamannya, menangkap para penjahat perang untuk diadili di pengadilan Sekutu dan membebaskan para interniran Sekutu yang ditahan Jepang.
Sebenarnya kami mulai curiga dengan kedatangan tentara Inggeris ini. Kami melihat banyak sekali orang Belanda yang menumpang dalam rombongan tentara Inggeris. Biarpun mereka memakai seragam tentara Inggeris, mereka tidak bisa menutup-nutupi dirinya sebagai orang Belanda. Lagak-lagunya persis orang Belanda dan ngomong sama kawan-kawan juga pakai Bahasa Belanda. Kami tidak senang melihat kedatangan mereka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kami sudah mendapat perintah dari Jakarta supaya menerima tentara Inggeris secara baik-baik. Malah kami menyediakan gedung-gedung untuk dijadikan markas tentara Inggeris. Untuk mencegah kesalah-pahaman dan insiden antara rakyat Surabaya dengan tentara Inggeris, kami menugaskan sebagian pemuda sebagai penghubung. Penghubung ini ikut dilibatkan dalam proses penyerahan dan pemulangan para tawanan perang.
Akhir bulan Agustus 1945, Aidit menjumpai saya. Dia bilang, orang-orang kita sedang mempersiapkan rapat raksasa di beberapa kota besar di Pulau Jawa. Nantinya rapat raksasa ini dibikin serentak. Rencananya mau diadakan tanggal 19 September 1945. Ada di Jakarta, rencananya mau diadakan di Lapangan Ikada. Ada lagi di Semarang, saya lupa nama lapangannya. Lalu direncanakan pula di Surabaya, di Lapangan Tambaksari. Aidit meminta saya mempersiapkan rapat raksasa di Surabaya.
Rencana rapat raksasa kami sampaikan pada organisasi-organisasi pemuda yang ada di Surabaya. Sebagian besar organisasi pemuda di Surabaya setuju. Kita harus menyambut proklamasi kemerdekaan dengan rapat rakasasa. Rakyat harus kita kumpulkan. Kita mau nyatakan kebulatan tekad; merdeka atau mati! Tapi ada pimpinan pemuda yang ndak setuju rencana ini. Ruslan Abdulgani itu ndak setuju diadakan rapat raksasa di Surabaya. Katanya bakal memancing insiden dengan tentara Jepang. Kalau sampai terjadi insiden, pasti makan banyak korban di pihak pemuda dan rakyat Surabaya. Dia minta rapat raksasanya sebaiknya ditunda sampai keadaannya memungkinkan.
Pemuda-pemuda kecewa mendengar alasan Ruslan Abdulgani. Pimpinan kok peragu begitu? Jadi-tidaknya rapat raksasa, bukan karena putusan pimpinan. Orang-orang yang di bawah juga harus ikut ambil keputusan. Pemuda-pemuda mendatangi Ruslan Abdulgani. Saya juga ikut ke sana. Kami ramai-ramai masuk ruangannya, sampai ruangannya sesak begitu. Di dalam ruangan, pemuda-pemuda berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Ruslan Abdulgani:
“Jangan mau jadi pengecut! Ayo, adakan rapat raksasa! Kami mau rakyat mengadakan rapat raksasa!”
Ruslan Abdulgani terdiam. Dia didesak-desak supaya menyetujui rapat raksasa. Marah betul para pemuda waktu itu. Akhirnya rapat raksasanya disetujui.
Rapat raksasa di Lapangan Tambaksari terpaksa ditunda gara-gara ulah sekelompok orang Belanda yang berkumpul di Hotel Oranye. Mereka menaikkan Bendera Merah-Putih-Biru di atap hotel. Pemuda-pemuda Surabaya merasa tidak senang lalu mendatangi hotel itu. Saya diberitahu kejadian ini. Katanya ada pemasangan bendera Belanda di atap Hotel Oranye. Saya datang ke sana. Waktu saya tiba, Hotel Oranye sudah ramai. Para pemuda berteriak-teriak pada seorang Sersan yang menjaga hotel:
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu!”
Si Sersan terdiam, mungkin ndak ngerti apa yang diteriakkan para pemuda. Lantas pemuda-pemuda berteriak dalam bahasa Inggeris:
“Put down the flag! Put down the flag!”
Nyatanya si Sersan tidak mau menurunkan bendera Belanda. Orang-orang Belanda yang ada dalam hotel itu juga tidak mau menurunkan bendera mereka. Berarti mereka membandel. Tiba-tiba dari dalam hotel keluar seseorang. Namanya Ploegman. Dia bekas Walikota Surabaya. Sambil mengobat-abitkan sebatang kayu, dia menantang pemuda-pemuda berkelahi. Mula-mula, pemuda-pemuda yang berada didekat Ploegman merasa ragu dan mundur. Karena Ploegman ini berbadan besar dan juga seorang boxer. Tapi pemuda-pemuda yang ada di belakang sudah berteriak terus sambil melempari Ploegman dengan batu. Dilempari dengan batu, Ploegman kewalahan juga. Akhirnya Ploegman dikeroyok sama pemuda-pemuda. Seorang pemuda menikamnya sampai mati. Sesudah Ploegman mati, sebagian pemuda masuk hotel dan berkelahi dengan orang-orang Belanda yang ada di dalam. Sebagian lagi berhasil memanjat atap hotel dan menurunkan bendera merah-putih-biru. Warna birunya disobek. Tinggal menjadi bendera merah putih. Lalu bendera ini dikibarkan kembali. Insiden ini dikenal sebagai Insiden Bendera.
Kalau diceritain tentang Insiden Bendera, ini mirip dengan cerita-cerita kejadian sejarah lainnya. Pasti ada klaim-klaim perorangan yang menyatakan dirinyalah pahlawan sebenarnya. Misalnya tentang siapa yang merobek bagian bendera berwarna biru itu. Saya ndak pernah beranggapan yang merobek bendera itu sebagai pahlawan Insiden Bendera. Pahlawan itu bukan perorangan, tapi kolektif. Menurut kami yang belajar ilmu Sosialisme-Komunisme, kami harus menyandarkan diri pada kerja kolektif. Peranan kolektiflah yang membuat peristiwa itu terjadi. Tidak ada orang yang memasuki hotel kalau tidak ada yang berkumpul, ngasih semangat dan tawur dengan orang-orang Belanda. Tidak ada orang yang memanjat atap hotel kalau tidak ada yang mengambil tangga. Tidak ada orang yang berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian berwarna birunya dan menaikkannya kembali, kalau tidak ada yang mendukung dan melindunginya dari bawah.
Kami baru bisa menyelenggarakan rapat raksasa pada tanggal 21 September 1945. Itu memang benar-benar rapat raksasa. Ada 150.000 rakyat yang berkumpul di Tambaksari. Saya naik ke mimbar waktu itu. Saya ikut berpidato. Di atas mimbar saya membakar semangat perjuangan para pemuda. Saya mau menanamkan jiwa patriotisme pada para pemuda Surabaya. Supaya mereka mau berjuang melawan imperialisme. Mau berjuang mempertahankan kemerdekaan dan setiap jengkal tanah air kita. Di atas mimbar, saya angkat tangan kanan saya. Saya teriakkan:
“Pancasila itu punya lima sila. Jika kelima jari-jari di tangan kita diibaratkan sebagai masing-masing sila, jadikanlah sebagai kepalan. Gunakanlah kepalan ini untuk meninju imperialisme! Lawan imperialisme!”
Hari itu juga pemuda-pemuda Surabaya sepakat membentuk organisasi pemuda. Namanya Pemuda Republik Indonesia (PRI). Anggotanya dari bermacam-macam organisasi. Dari organisasi buruh minyak, buruh pelabuhan, buruh bengkel, buruh kereta api juga pemuda-pemuda kampung, kuli pasar, tukang beca dan lain-lain. Saya, Ruslan Widjajasastra, Bambang Kaslan, Supardi, Soetomo dan lain-lain termasuk pimpinan pemuda-pemuda ini. Tapi ketuanya belum dipilih waktu itu. Dua hari kemudian baru dipilih ketuanya. Rapat pemilihan ketua di kantor Angkatan Muda Indonesia. Di kantornya Ruslan Abdulgani. Itu di daerah Bubutan. Di situ Ruslan Abdulgani mengusulkan saya jadi Ketua PRI. Ketua organisasi-organisasi pemuda yang lain juga setuju sama usulan Ruslan Abdulgani ini.
Sesudah saya dipilih menjadi ketua, pimpinan PRI membagi tugas. Saya, Ruslan Wijayasastra, Bambang Kaslan dan Supardi lebih banyak terjun ke lapangan. Di lapangan, kami mengorganisir para pemuda, mengkonsolidir kekuatan pemuda supaya langsung terlibat pertempuran. Urusan propaganda diserahkan sama Soetomo. Dia ini lebih dikenal dengan nama Bung Tomo. Bung Tomo diangkat menjadi Ketua Bidang Propaganda PRI. Tugas Bung Tomo lebih banyak berpidato lewat radio. Karena orangnya memang pintar berpidato, pintar mengobarkan semangat pertempuran.
(Beberapa halaman dilompati)
Sesudah merasa diri kuat, tentara Inggeris mencari alasan buat menghukum kami. Yang namanya kaum imperialis, kalau sudah bikin alasan, apapun bisa mereka lakukan. Termasuk membunuh kawan sendiri. Waktu Mallaby mau masuk gedung Internatio, tentara Inggeris yang ada dalam gedung itu menembaki pemuda-pemuda. Maksud tentara Inggeris ini supaya pemuda-pemuda balas menembak. Pemuda-pemuda pun membalas. Terjadi tembak-menembak di situ. Disitulah Mallaby dibunuh. Inggeris sengaja membunuh Mallaby supaya ada alasan menuduh kita sebagai pelakunya. Tanggal 10 Nopember 1945, Inggeris menghukum pemuda-pemuda Surabaya. Dihukum dengan serbuan lewat pesawat-pesawat udara, kapal-kapal laut, artileri, kendaraan lapis baja dari segala arah.
Malam tanggal 9 Nopember 1945, saya dan rombongan PRI Surabaya tiba di Yogya. Kami datang untuk mengikuti Kongres Pemuda se-Indonesia. Rencananya organisasi-organisasi pemuda se-Indonesia mau mengadakan persatuan lewat kongres ini. Besok paginya, waktu rapat baru dibuka, saya dapat kabar dari Surabaya. Katanya keadaan di Surabaya sedang gawat. Tentara Inggeris membombardemen Surabaya dari darat, laut dan udara. Begitu dapat kabar, semua kawan rombongan asal Surabaya saya ajak pulang. Saya tidak ikut kongres jadinya. Belakangan saya dikasih kabar hasil kongres. Putusan Kongres ada dua. Yang pertama, pembentukan organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Yang kedua, pembentukan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Ternyata saya diangkat sebagai pimpinan Pesindo dan Ketua BKPRI. Padahal saya ndak ikut kongres sampai selesai.
Begitu sampai di Surabaya, saya lihat tentara Inggeris benar-benar menghukum Surabaya. Dari darat, laut dan udara mereka melancarkan serangan. Gak kenal ampun. Tiga minggu lamanya pesawat-pesawat terbang, kapal-kapal perang, meriam dan senjata-senjata berat mereka menghajar Surabaya. Sedetikpun serangan ini tidak pernah berhenti. Surabaya mereka serang habis-habisan. Biarpun Surabaya diserang habis-habisan begitu, pemuda-pemuda tidak mau menyerah. Banyak pemuda Surabaya yang bertindak di luar perkiraan tentara Inggeris. Ada yang sampai berani masuk ke dalam tank, masuk ke dalam truk-truk, menyusup ke dalam pos-pos tentara Inggeris. Lalu meledakkan diri didalamnya. Tentara Inggeris mengakui keberanian ini. Sesudah tiga minggu bertempur, kami akhirnya mundur ke arah Mojokerto.
Lebih dari 20.000 pemuda dan rakyat Surabaya gugur akibat penghukuman ini. Ini pertempuran terbesar dalam sejarah perang kemerdekaan. Pemuda-pemuda Surabaya sudah menunjukkan jiwa kepahlawanannya di situ. Pemuda-pemuda Surabaya mundur bukannya karena takut, tapi karena situasinya benar-benar sudah kritis begitu. Yang dihadapi itu hujan bom dari mesin-mesin perang musuh. Kita tidak ada kesempatan lagi buat bertempur berhadapan langsung dengan tentara Inggeris. Biar badan kecil-kecil, kalau man tegen man (satu lawan satu) dengan mereka, pemuda-pemuda Surabaya itu berani. Tapi tentaranya Inggeris tidak berani menampakkan diri karena sudah trauma duluan.
Pertempuran di Surabaya ini nantinya dikenang sebagai Hari Pahlawan. Ada latar belakangnya mengapa tanggal 10 Nopember dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Dalam pemikiran kami, yang namanya pahlawan itu sifatnya kolektif, bukan perorangan, bukan karena ketokohan. Kami tidak menginginkan kepahlawanan ini dipengaruhi oleh sejarah dan kepentingan kaum feodal. Kisah-kisah kepahlawanan kita ini kan masih dipengaruhi oleh sejarah kaum feodal. Dalam sejarah-sejarah kaum feodal, yang namanya pahlawan itu tidak pernah berasal dari rakyat biasa, tidak pernah dari orang di luar raja, keluarga bangsawan atau panglima-panglima kerajaan. Kami melihat, yang berjuang di Surabaya itu utamanya pemuda-pemuda dan rakyat. Merekalah pahlawan yang sesungguhnya.
Yang mengusulkan supaya tanggal 10 Nopember dijadikan sebagai Hari Pahlawan itu saya. Saya usulkan waktu sidang Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Kejadiannya di bulan Oktober 1946, di kantor BKPRI di Madiun. Di situ saya jelaskan bahwa perjuangan rakyat Surabaya itu menjadi inspirasi perjuangan di mana-mana. Mereka yang rela berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya itu berjuang secara kolektif. Merekalah yang patut dijadikan pahlawan. Pemimpin dan tokoh ada karena rakyat ada, karena pemuda ada. Lalu kita menulis surat kepada Presiden Soekarno. Surat ini diteruskan lewat Kementerian Dalam Negeri. Kita terangkan bahwa perjuangan rakyat Surabaya yang bersifat kolektif patut dikenang sebagai Hari Pahlawan. Presiden Soekarno ternyata setuju sama usulan ini. Akhirnya, tanggal 10 Nopember dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
Cuma sekarang makna Hari Kepahlawanan sudah lain. Kalau orang merayakan Hari Pahlawan, yang diingat biasanya pimpinan. Misalnya kayak Bung Tomo, Ruslan Abdul Gani, Mustopo atau Sungkono. Dulu kita ndak pernah mikirin siapa yang naik ke atap hotel dan merobek bagian bendera yang berwarna biru itu. Tapi belakangan malah mereka dicari-cari sama tentara. Maksudnya supaya dikasih penghargaan dan supaya nama orang ini diingat setiap perayaan Hari Pahlawan. Tentaranya ndak mau sejarah Hari Pahlawan itu sebagai sejarahnya tukang-tukang beca, jagoan kampung, para kuli angkut atau pedagang-pedagang pasar. Kalau kita mau bicara jujur tentang tokoh-tokoh, yang berperan penting dalam Pertempuran Surabaya itu malah banyak yang disingkirkan dalam Peristiwa Madiun. Ada Atmadji, Djokosujono, Khatamhadi, Sidik Arselan, Munadji, Sukarno, Dachlan, Supardi, Bambang Kaslan, Ruslan Wijayasastra, masih banyak lagi. Mereka kongkrit berjuang di Surabaya.”

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict