Pameran di pusat pengendalian hama pada pasar malam di Klaten, 1926. (Foto : KITLV)
Iklan terakota

Terakota.id—Menghadapi pandemi Covid-19, pemerintah melakukan berbagai usaha untuk mencegah penyebarannya. Mulai dari penerapan protokol kesehatan yang ketat, pengujian, pelacakan hingga penangan atau perawatan. Termasuk memberikan vaksinasi yang menuai kontroversi.

Seperti saat terjadi wabah pes atau sampar, yang mulai menyerang sejak 1910-an di Malang. Menyebar ke sejumlah wilayah, seperti yang ditulis Alfikri,  di jurnal Candi artikel Wabah Penyakit Pes dan Upaya Penanggulangannya Di Kabupaten Boyolali Tahun 1968-1979. Dalam artikelnya ia menyebut penyakit pes menyebar dari timur ke barat Pulau Jawa melalui jalur transportasi kereta api.

Daerah jalur kereta api rentan terhadap penyebaran penyakit pes, Karesidenan Surakarta salah satunya. Dari Karesidenan Surakarta, penyakit pes secara cepat merambah hingga daerah pedalaman, Afdeeling Klaten, Boyolali, Surakarta, Sragen, dan daerah Praja Mangkunegaran.

Penyakit pes disebut juga black death, penyakit pes menyebabkan tiga jenis wabah, bubonik, pneumonik, dan septikemik. Wabah pes menyerang sistem limfe manusia, menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening. Gejalanya panas tinggi, sakit kepala, muntah, nyeri persendian, bercak hitam diujung kuku kaki dan tangan serta adanya infeksi dibagian paru-paru manusia. Sistem kekebalan tubuh manusia akan terganggu.

Tingkat kematian jenis wabah bubonik 30-70 persen, pneumonik 90-95 persen, septikemik 100 persen.  Dua kecamatan di Boyolali, Cepogo dan Selo pernah mengalami endemik pes pada 1968. Saat itu, 42 dari 101 korban meninggal.

Kecamatan Cepogo dan Selo menjadi daerah dengan angka kemiskinan tertinggi, jarang disentuh pemerintah pusat . Kondisi rumah warga tak memenuhi persyaratan kesehatan. Tak adanya ventilasi udara, ukuran rumah sempit dan tak adanya saluran pembuangan air limbah. Masyarakat masih mempercayai ilmu gaib.

Di Boyolali penyakit pes dua kali terjadi. Pertama, pada Agustus 1967 di Kelurahan Genting, Kecamatan Cepogo.  Penyakit pes di Kecamatan Cepogo menyebar ke kelurahan- kelurahan sekitar, Wonodojo, Sukabumi, Djelok, Kembang Kuning, dan Djombong. Dinas Kesehatan Boyolali mengonfirmasi jumlah penduduk yang terjangkit penyakit pes 39 jiwa, 13 diantaranya meninggal dunia.

Korban yang tertular penyakit pes mayoritas berjenis kelamin laki-laki, 21 jiwa. Korban berjenis kelamin perempuan 18 jiwa. Tingginya kematian pada korban laki-laki disebabkan pekerjaan warga sebagai petani, sehingga banyak kontak langsung dengan tikus dan pinjal di sawah atau ladang.

Lantas muncul lembali di Kecamatan Cepogo dan Selo pada 1968. Di kecamatan Selo, penyakit pes menyerang Desa Tarubatang, Samiran, Selo, Senden, dan Suroteleng. Dinas Kesehatan Boyolali mengondirmasi 62 jiwa positif terjangkit penyakit pes, angka kematian sebanyak 29 jiwa.

Orang lanjut usia dengan usia di atas 50 tahun menjadi golongan umur yang paling tinggi angka kematiannya mencapai 62,5 persen. Tingginya kemiskinan di Kecamatan Cepongo dan Selo menjadi penyebab para lansia ini kurang mendapat asupan gizi untuk menambah sistem kekebalan tubuh.

Penelitian terhadap Penyakit Pes

Dinas Kesehatan Rakyat (DKR) Boyolali melaporkan kasus penyakit pes ke dokter kesehatan karesidenan (Dokares) dan Badan Pengawas di Semarang. Dokares mengirimkan beberapa tenaga inlichters dan juru teknik pada tanggal 18 Janurari 1968. Dua tenaga laboratorium juga dikirmkan untuk meneliti pes. Tim penanggulangan pes mengadakan  case findings dengan cara mendatangi setiap kelurahan di Kecamatan Cepogo dan Selo, mengecek gejala penyakit pes pada warga, memberikan penyuluhan, mengambil sampel penelitian, memeriksa buku kematian dan mendirikan barak kesehatan.

Daerah Dukuh Bulu Kidul, Kecamatan Selo pernah di-lockdown oleh Kepala DKR Kabupaten Boyolali. Lockdown dilakukan setelah satu keluarga meninggal karena penyakit pes. Minem, Harjopanut, Mbok Harjopanut, dan Muraji, serta tetangganya bernama Mbok Kromo Pawiro.

Penutupan sementara ini menjadi upaya pemerinta untuk mencegah penyebaran pes ke daerah lainnya. Pemerintah melarang warga berpergian dan masuk ke daerah isolasi. Penjagaan daerah isolasi dilakukan oleh petugas pertahanan sipil (hansip). Selain mengawasi masyarakat, hansip juga menutup jalan-jalan kecil di sekitar perkampungan.

awal-pageblug-atau-wabah-pes-menyerang-malang
Vaksinasi warga Malang untuk mencegah wabah pes. (Foto : Neville Keasberry)

Ketua RT dan petugas memeriksa kondisi penduduk setiap pukul 06.00 WIB dan melaporkan hasilnya pada lurah setempat. Lurah menugaskan orang untuk saling membagikan laporan tersebut dengan kelurahan lain. Pemerintah mengamati tikus dan pinjal pada daerah yang terjangkit dan daerah rawan penyakit pes.

Daerah zona aman pes dilakukan pengamatan setahun atau dua tahun sekali. Upaya penanggulanan dilakukan dengan mendirian Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Imunisasi dasar, perbaikan sanitasi lingkungan, memberikan penyuluhan dan peningkatan status gizi, hingga memperhatikan kesehatan masyarakat desa menjadi misi kedua lembaga ini.

Pelayanan kesehatan mulai dari kuratif, preventif, promotif, dan rehabilitatif dilakukan Puskesmas dan PKMD. Tim menyemprotkan Dichlora Diphenyl Trichloethane (DDT) sebanyak 7.626 kilogram di 14 kelurahan yang terdiri dari 6.101 rumah. Penyemprotan dilakukan ke permukaan dinding rumah bagian bawah setinggi 15 centimeter, lantai sepanjang 15-30 centimeter, kolong tempat tidur, timbunan kayu bakar, lobang tikus. Semua rumah sepanjang Jalan Raya Boyolali – Ampel, Boyolali – Nusukan, Boyolali – Cipogo. Tak luput juga semua tempat perdagangan dan semua truk yang masuk daerah terinfeksi penyakit pes.

Kerja Sama Pemerintah dan Luar Negeri

Pemerintah menugaskan menugaskan Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN) untuk mencegah penyebaran penyakit pes di Kecamatan Cipogo dan Selo. Menteri Kesehatan Profesor Siwabessy meminta bantuan Amerika sebab minimnya peralatan medis Indonesia untuk meneliti penyakit pes, dan tidak ada sumber daya manusia yang profesional.

Amerika mengirimkan tim Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dari Departemen Kesehatan Amerika (USPHS) dan Badan Bantuan Pembangunan Internasional AS (USAID). Indonesia juga mengundang unit penelitian kedokteran dari Dinas Kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat, Naval Medical Research Unit-2 (Namru-2). Namru-2 bertugas membantu penelitian dan penanggulangan penyakit pes bersama tim CDC dan LRKN.

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, vaksinasi membutuhkan 75.515 dosis untuk Kecamatan Cepogo, Selo dan sekitarnya pada tanggal 26 Februari 1968. Vaksinasi dilakukan untuk memberantas penyebaran tikus yang dapat menularkan penyakit pes. Vaksin didapatkan dari Kiefarma Bandung, World Health Organization (WHO), dan tim CDC USA.

Kiefarma Bandung memberikan 70.450 cc vaksin hidup. WHO memberikan 14.400 cc vaksin mati. Tim CDC Amerika memberikan 15.500 cc vaksin mati.

Perbaikan rumah melalui pengendalian hama di Malang. (Foto : KITLV)

Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali melakukan upaya penyebaran pes dengan memberikan vaksinasi anti-pes pada penduduk yang belum terjangkit dan menyemprotkan DDT bekerja sama dengan pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Vaksinasi dilakukan di empat kecamatan, Cepogo, Selo, Boyolali, Ampel, dan Musuk.

Tim medis memberikan streptomosin inj. 2 gram sehari untuk pengobatan warga yang tertular pes,. Sulfadiasine 3×2 tablet sehari, tetrasiklin 3×1 kapsul sehari untuk penderita penyakit pes paru-paru dan bubo. Warga dekat dengan pasien diberikan obat streptomosin inj. 1 gram sehari untuk dewasa dan sulfadiasine 2×1 tablet sehari. Mencegah tertularnya pes, masyarakat Kabupaten Boyolali diberi obat tetrasiklin 2×1 tablet sehari.

Upaya lanjutan, tim rodent flea control melakukan tindakan dusting untuk memberantas tikus dan pinjal yang terdapat di daerah tersebut. Penyemprotan dilakukan pada area yang menjadi jalur lalu laalang tikus seperti dapur, bawah tempat tidur, lubang tikus dan tempat hasil panen.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan menyatakan Kabupaten Boyolali sebagai daerah yang terjangkit penyakit pes pada tanggal 15 Januari 1968. Namun pada 1 Januari 1970, DKR mendapat laporan Camat Selo via telpon terkait kematian mendadak dengan ciri pembengkakan kelenjar di selangkangan. DKR melanjutkan laporan tersebut ke pemerintah pusat untuk meminta pertolongan dan pengobatan pes.

Pemerintah Indonesia meminta bantuan WHO. Dr. Chamsa, konsultan WHO diperintahkan mendatangi tempat kejadian dengan bantuan tim medis Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia membantu logistik pembiayaan, obat-obatan dan kendaraan. Pemerintah Daerah Tingkat 1 Semarang mengirim bantuan pembiayaan, alat tulis kantor dan kendaraan. Perwakilan DKR Wilayah VI Surakarta memberikan bantuan logistik ATK. Bantuan juga datang dari Palang Merah Indonesia Daerah Jawa Tengah, PMI cabang Boyolali, Komando Bencana Alam Boyolali, dan Koperta Kabupaten Boyolali.

Membasmi sarang tikus untuk mencegah wabah pes. (Foto : Neville Keasberry)

Tim Indonesia dan Amerika membantu renovasi rumah untuk memberantas sarang tikus di daerah zona pes. Renovasi tersebut dilakukan dengan menempatkan kandang ternak di luar rumah, membangun rumah berdinding tembok, memberikan penerangan yang cukup, membuat ventilasi udara, melapisi lantai dengan semen atau keramik dan meletakkan tempat tidur 20 centimeter dari lantai.

Upaya pemerintah, tim Amerika, dan masyarakat membuahkan hasil. Tak ada lagi kasus pes ditemukan di Boyolali hingga pertengahan tahun 1970. Penyelidikan dan penelitian terus dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbangkes) dengan bantuan Namru-2 pada 1975-1979. Hasilnya menunjukkan kesejahteraan kesehatan masyarakat di Kabupaten Boyolali pada 1979, meningkat.