
Oleh: Wahyu Eka Setyawan*
Terakota.id— Pada tanggal 28 Oktober kemarin, kita memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda. Dimana perkumpulan pemuda dari seluruh penjuru Indonesia, berkumpul dan menghasilkan sebuah risalah yang berisi; bertanah air satu Tanah Air Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia dan berbahasa satu Bahasa Indonesia. Namun proses terbentuknya risalah tersebut tidaklah instan.
Berdasarkan catatan sejarah dari Ricklefs (2001) dalam karyanya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, pada bab Zaman Penjajahan Baru, terdapat sebuh poin penting yang menjadi titik balik pergerakan Indonesia. Yakni, kebijakan politik etis yang dicetuskan oleh Theodor van Deventer dan disetujui oleh Ratu Wilhemina pada tahun 1901.
Politik etis ini merupakan salah satu kebijakan filantropis Belanda, yang berakar dari kritik Eduard Douwes Dekker dalam karyanya Max Havelaar pada 1860. Walaupun berbentuk sebuah novel, tetapi isi yang realis menceritakan ketimpangan secara telanjang di Hindia Belanda (Indonesia) kala itu. Sehingga mengusik telinga parlemen. Sampai kemudian kebijakan politik etis dicetuskan. Selain karena kritik dari Douwes Dekker, kebijakan politik etis juga dipengaruhi oleh konstelasi ekonomi politik Belanda.

Memasuki tahun 1870-1900 Belanda menganut laissez-faire atau paham yang membebaskan pemodal untuk bermanuver. Karena negara tidak berhak mengintervensi sektor privat. Paradigma politik liberal yang menjadi suatu platform politik di Belanda saat itu, memunculkan gagasan bahwa Hindia Belanda merupakan ruang kapital yang potensial. Mengingat infrastruktur masih minim, pendidikan masih terbelakang, tentu akan mempengaruhi ekspansi kapital Belanda di Hindia Belanda. Maka guna memperlanjar lintasan modal, parlemen mencetuskan politik etis, yang isinya terkait irigasi, migrasi dan edukasi. Dimana hal tersebut sangat relevan dengan kebutuhan ekspansi kapital Belanda.
Multi-Platform Pergerakan Pra Kemerdekaan
Pasca politik etis diimplementasikan, terdapat perubahan yang cukup signifikan dalam pergerakan Indonesia. Pada 1906 Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Priyayi, kemudian satu tahun kemudian tepatnya 1907 lahirlah Medan Priyayi. Pada tahun 1910 Medan Priyayi menegaskan posisinya sebagai harian (surat kabar), yang merupakan media alternatif berbahasa Melayu dan dikelola oleh pribumi. Tujuan Tirto mendirikan Medan Priyayi untuk menyebarluaskan pengetahuan kepada masyarakat. Agar mereka tahu bagaimana watak kolonial Belanda. Agar tidak selamanya terbelenggu oleh kebodohan tersetruktur yang disengaja diciptakan oleh kolonial Belanda.
Setahun setelah Medan Priyayi, lahirlah Boedi Oetomo. Organisasi ini hadir dengan ranah kerja di bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan. Para pendiri Boedi Oetomo berlatar belakang mahasiswa Stovia. Seperti; Wahidin Soedirohusodo, Soeradji dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Orientasi mereka mendirikan Boedi Oetomo lebih ke penyadaran, serta penyebarluasan pengetahuan terkait kondisi Hindia Belanda saat itu, dan memilih untuk tidak berpolitik. Beberapa tahun berselang tepatnya tahun 1911, Tirto Adhi Soerjo mendorong Haji Samanhudi untuk membentuk organisasi bernama Sarekat Dagang Islam, guna mewadahi pedagang-pedagang muslim yang saat itu diperlakukan kurang adil.
Tahun 1912 Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI), dengan pemimpin barunya H.O.S Tjokroaminoto. Segera setelah itu Tjokro dengan cepat mendirikan cabang SI di seluruh Jawa. Bahkan meluas sampai luar pulau. Pada tahun 1919 anggota SI mencapai 2 juta orang. SI sendiri berorientasi sosial-politik, dengan menekankan pada pandangan Islam. Ini terekam dalam prinsipnya, Manhijul Hayal (meliputi aspek kehidupan secara komprehensif dengan corak Islam). Pergerakan bercorak Islam tidak hanya SI saja. Pada tahun yang sama dengan kelahiran SI, 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Organisasi ini berorientasi pada pendidikan dan penegakkan ajaran Islam yang sesuai Quran dan Sunah.
Pergerakan yang dikawal para pemuda kemudian meluas. Hal ini berawal dari kedatangan seorang marxist bernama Hendricus Sneevliet ke Hindia Belanda pada 1913 untuk bekerja. Pada tahun 1914 ia mendirikan ISDV (Indischee Sociaal-Demokratische Vereninging “Perkumpukan Sosial-Demokrat Hindia”). Sneevliet ini sama seperti Tjokroaminoto, ia memberikan warna baru dalam pemikiran pemuda kala itu.
Jika Tjokro di awal SI membagun kelompok belajar di kos-kosannya, yang beranggotakan Sukarno, Musso, Kartosuwiryo dan Alimin. Maka pola serupa dilakukan oleh Sneevliet, kader yang benar-benar dididik oleh dia adalah Semaoen yang juga kader SI serta pengurus VSTP (Sindikat Buruh Kereta Api). Selain Semaoen, tercatat ada nama-nama seperti Musso, Alimin, Darsono, Haji Misbach dan Mas Marco Kartodikromo. ISDV ini kemudian memecah SI menjadi dua golongan, SI Merah dengan pandangan Marxist dan SI Putih lebih ke Islam. Selanjutnya, SI Merah ini akan memisahkan diri dari SI dan menjadi Partai Komunis Indonesia.

Selain keberadaan SI, pergerakan juga melahirkan corak yang beragam. KH. Wahab Chasbullah dan Mas Mansoer mendirikan Nahdlatul Wathon, sebuah sekolah Islam dengan silabus modern pada tahun 1914. Berselang beberapa tahun kemudian, KH. Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Tujjar yang berorientasi pada perdagangan. Nahdlatul Tujar sendiri dipimpin oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, organisasi ini mewadahi para pedangan dan petani Islam, agar sesuai dengan nilai-nilai tradisional serta agar mampu bertahan. Berselang 12 tahun kemudian tepatnya tahun 1926, di Surabaya Nahdlatul Ulama lahir. Organisasi yang mengusung semangat kemerdekaan dengan platform Islam tradisional.
Di tahun yang sama 1926, salah satu murid kesayangan Tjokroaminoto, Sukarno mendirikan Algemeene Studieclub di Bandung. Kelompok belajar ini bercorak nasionalis, mendorong wawasan kebangsaan dan keinginan untuk merdeka dari kolonial Belanda. Masih di tahun 1926, pada bulan April perkumpulan pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, kemudian Jong Bataks Bond dan Pemuda Kaum Theosofi, mengadakan rapat besar atau dikenal dengan nama kongres pemuda pertama. Hasil dari kongres tersebut ialah memajukan persatuan kebangsaan dan menguatkan hubungan antar perkumpulan pemuda.
Pada bulan Juli tahun 1927 Sukarno bersama Tjipto Mangoenkoesomo mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. Sebuah perkumpulan politik berhaluan nasionalis. Lalu, pada bulan Mei tahun 1928 perserikatan ini berbubah nama menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Berselang empat bulan dari peresmian PNI, tepatnya bulan Oktober, sekumpulan pemuda kembali mengadakan kongres dengan peserta yang lebih banyak. Kongres yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito ini hingga sekarang kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Mengkontekstualisasikan Pergerakan Pemuda di Era Sekarang
Merujuk pada catatan historis yang jikalau dijabarkan mendetail akan berlembar-lembar dan panjang. Maka ringkasan di atas lebih menunjukan lintasan panjang transformasi pergerakan pemuda, terutama dalam segi ideologi serta model pergerakan. Di awal kita mengenal Tirto yang lebih ke penyadaran melalui media. Ia menyebarkan pengetahuan melalui surat kabar berbahasa melayu. Tujuannya, agar pribumi pada saat itu mendapatkan informasi dan pengetahuan sepadan. Tirto sendiri tidak hanya bergerak di media saja, ia juga mendorong Haji Samanhudi untuk mendirikan Sarekat Dagang islam yang berfokus pada perkumpulan dagang. Dengan harapan agar dapat bersaing dengan pedagang-pedangang Belanda dan China kala itu.

Kemudian kelahiran Boedi Oetomo yang menekankan pada sosial-kebudayaan dan berfokus di bidang pendidikan. Pasca itu gerakan-gerakan yang lebih progresif dan radikal bermunculan. Ketika perubahan Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam yang lebih berorientasi pada gerakan politik. Kelahiran Sarekat Islam, diikuti dengan kelahiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathon yang berplatform Islam, serta berfokus pada pendidikan. Selain itu ada Nahldatul Tujar yang berorientasi pada pemberdayaan serta wadah bagi para pedagan Islam tradisional, yang kemudian menjadi gerakan sosial Islam besar bernama Nahdlatul Ulama.
Gerakan sosial kemudian semakin meluas dengan lahirnya kongres pemuda pertama dan kedua. Kedua kongres tersebut lebih kepada penyatuan perkumpulan pemuda untuk lebih sadar mengenai semangat kebangsaan dan bertanah air satu. Gerakan yang lebih radikal progresif, yang lebih menekankan pada perjuangan politik muncul dengan berbagai platform, mulai munculnya kelompok kiri yang berhaluan marxist yang diwakili oleh ISDV yang kemudian berubah nama menjadi PKI. Dan diikuti nasionalis radikal yang diinisiasi oleh kemunculan Persarikatan Nasional Indonesia yang setelahnya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Diversitas gerakan baik secara ideologi, maupun ranah gerak menjadi salah satu yang patut dikontekstualisasikan bagi gerakan pemuda saat ini. Baik gerakan masa lampau yang berpola lebih lunak ataupun radikal. Bagaimanapun kedua pola tersebut, telah memberi warna pada gerakan yang menyongsong kemerdekaan. Sayangnya, hal ini tidak banyak disadari oleh generasi pemuda sekarang. Mereka terjebak dalam hegemoni status quo yang menjadikan kesadaran kritis tersegmentasi. Menurut penulis, pemuda sekarang seharusnya mampu mengkontekstualisasikan semangat pemuda kala itu. Dengan diversitas gerakan serta multi-platform paradigma juang. Sehingga tidak terjebak dalam simbolisasi yang berujung seremonial belaka. Hanya sesingkat hari pada 28 Oktober saja. Dengan begitu, justru akan menghilangkan substansi gerakan pemuda itu sendiri.
Gerakan pemuda tidak hanya dimaknai sebatas insureksi belaka. Tetapi ada trayek panjang yang koheren. Tanpa adanya surat kabar, kelompok belajar, lembaga pendidikan dan gerakan sosial politis, tentu tidak akan ada kemerdekaan seperti yang kita nikmati saat ini. Gerakan sekarang ialah merawat kemerdekaan agar kembali pada marwahya. Bukan sekadar jargon-jargon nasionalis kosong yang membius. Karena secara tidak disadari kesadaran kritis berhasil dijinakkan. Pemuda harus tetap menjadi garda terdepan dalam mengawal kemerdekaan. Terutama di era ketika ketidakadilan dan ketimpangan semakin menjauhkan dari keadilan sosial.
Referensi:
Fealy, G., & Barton, G. (Eds.). (1996). Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia (No. 39). Monash Asia Inst.
McVey, R. T. (2010). Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu.
Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Penerbit Serambi.
Zayd, N. Ḥ. A. (2006). Reformation of Islamic thought: A critical historical analysis (Vol. 10). Amsterdam University Press.

*Kader FNKSDA dan Aktivis Walhi Jatim
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi