Terakota.id-–Saya membaca berita bahwa pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) tidak lagi mengumumkan jumlah kematian per hari karena COVID 19 (Kompas.com, 11-08-2021). Alasannya, data kematian yang ada selama ini tumpang-tindih dan tidak real-time. Namun, jumlah kematian merupakan salah satu indikator penting dari tingkat keparahan pandemi, bersama kasus harian, kasus konfirmasi, BOR (tingkat keterisian ruang perawatan atau tempat tidur). Jika jumlah kematian tidak diumumkan atau malah dihapus, tentu saja indikator tersebut pincang.
Banyak teman saya di media sosial yang hampir selalu kritis terhadap apa pun (apalagi terhadap rezim ini) menyuarakan sayang mereka pada keputusan pemerintah ini. Maksud saya, mereka menyayangkan keputusan pemerintah tidak mengumumkan jumlah kematian karena Covid. Bagi mereka, itu adalah pertanda bahwa pemerintah tidak menghargai ribuan nyawa yang melayang setiap harinya oleh serangan virus jahat Corona.
Mereka lantas beranggapan bahwa pemerintah ingin menyembunyikan sesuatu yang busuk dari rakyat. Lebih jauh, mereka berasumsi (tanpa dasar jelas) bahwa keputusan ini sengaja dibuat pemerintah agar rakyat tidak ketakutan, agar imun mereka tidak diperlemah, dan agar investasi serta ekonomi tidak terganggu. Siapa yang mau menanamkan investasi mereka di suatu negara jika ribuan rakyatnya mati setiap hari? Kan ngeri sekali. Demikian, mereka beranggapan.
Yang membuat kening saya berkerut-merut adalah di waktu yang lain, teman-teman saya itu sangat getol dan dengan tegas menyatakan bahwa nyawa-nyawa yang melayang tersebut bukan sekadar angka. Mereka adalah manusia di sekitar kita, bahkan manusia yang kita kenal dengan baik, yang dekat dengan kita. Kehilangan nyawa orang-orang tersebut meninggalkan lubang kehilangan yang menganga dan merupakan kerugian besar bagi kemanusiaan. Kehilangan nyawa tidak boleh semata-mata dikuantifikasi dengan angka.
Terus-terang, saya kurang paham bagaimana logikanya: (1) menyatakan ketidaksenangan manakala pemerintah tidak lagi mengumumkan jumlah atau angka kematian harian karena Covid karena itu berarti tidak menghargai beribu nyawa yang hilang, tetapi pada waktu yang sama (2) getol dan tegas menyatakan bahwa nyawa tidak boleh sekadar disebut dengan angka. Ini kan mirip dengan mengatakan, “Kamu itu pokoknya salah, apa pun yang kau lakukan, bahkan dalam adamu saja, kamu salah.” Kan nggapleki, kalau begitu.
Namun biarlah ketidakpahaman saya itu kapan-kapan saya mintakan penjelasan langsung dari teman-teman saya yang waskita tersebut. Saat ini, saya lebih tertarik pada bagaimana dan mengapa suatu kejadian di dalam sejarah perlu dipahami dalam skala mikro dan makro agar diperoleh pemahaman dan cara penyikapan yang lebih utuh dan holistik.
Sejarah Besar
Memahami alam semesta, termasuk di dalamnya memahami manusia, membutuhkan suatu tingkat imajinasi dan pembayangan yang maha. Di dunia ini, setidak-tidaknya sampai sekarang, baru manusialah makhluk hidup yang memiliki kesadaran menyejarah. Manusia sadar bahwa dia adalah makhluk yang memiliki awal, yang berkembang dan bertumbuh bersama alam, yang kini hidup dan memberi makna pada keberadaannya sendiri dan beragam fenomena di luar sana. Binatang sebuas apa pun atau sekuat apa pun dan tumbuhan sebesar apa pun tampaknya tidak mempunyai kesadaran ini.
Dan, walaupun berbagai penelitian ilmiah mutakhir, seperti dapat disaksikan dalam film dokumenter dari National Geography, Cosmos (2020), menyatakan bahwa sejarah manusia, bila ditempatkan dalam kalender tahunan kosmos hanyalah mengisi beberapa detik terakhir menjelang ujung tahun, manusia memiliki daya untuk membayangkan secara cerdas apa yang kemungkinan terjadi di bulan-bulan kosmos sebelumnya.
Pembayangan itu tidak mungkin tidak dimampukan oleh penemuan manusia akan angka dan bilangan dan jumlah. Kuantifikasi adalah metode kolonialisasi manusia yang sangat powerful akan bentang semesta yang tanpanya hanya tertangkap sebagai kekacauan (chaos). Angka bisa jadi merupakan salah satu penemuan revolusioner, selain pertanian dan industri.
Manusia menjadi terobsesi dengan angka, seperti halnya mereka terobsesi oleh banyak ciptaannya sendiri yang lain. Mereka membagi-bagi hari ke dalam hitungan jam, jam ke dalam menit, menit ke dalam detik. Hari-hari menyusun minggu, minggu-minggu menyusun bulan, bulan-bulan menyusun tahun, dan seterusnya. Sampai level tertentu, bahkan manusia memahami dirinya sendiri, tubuhnya sendiri, umurnya sendiri, juga diri orang lain, tubuh orang lain, dan umur orang lain dalam satuan angka.
Seseorang bisa merasa tua saat usianya genap mencapai lima puluh tahun, misalnya, walaupun kanak-kanak di dalam dirinya tetap hidup dan menunjukkan elannya. Seseorang merasa lebih bahagia ketika mengetahui, misalnya, bahwa dia dibayar sekian puluh ribu rupiah lebih besar per jamnya dibandingkan koleganya untuk mengerjakan hal yang sama.
Tidak ada yang luput dari cengkeraman angka. Juga nyawa. Termasuk nyawa orang terdekat. “Sudah tiga orang dalam keluarga besar kami meninggal sejak Covid melanda,” adalah contoh yang sangat gamblang tentang bagaimana kehilangan pun coba dijelaskan dalam kuantifikasi angka.
Yuval Noah Harari, penulis laris berkebangsaan Israel itu pun, di dalam Sapiens (2011) tanpa skrupel memakai angka dan garis besar untuk menjelaskan argumennya. Dia secara sadar mengatakan bahwa kemajuan yang didapat manusia modern bersifat ‘hitungan’ global atau, menggunakan istilahnya, dalam tataran kolektif. Manusia mengalami kemajuan pesat secara kolektif; mereka mampu mengalahkan penyakit secara kolektif; mereka memiliki teknologi hebat secara kolektif. Itu artinya secara global, secara keseluruhan, secara kolektif, manusia mengalami perbaikan signifikan daripada nenek-moyang mereka. Bahwa ada sekelompok manusia, beberapa komunitas, atau segelintir bangsa tidak mencapai kemajuan seperti digambarkannya, itu tidak lantas menggugurkan argumennya.
Inilah sejarah besar: sejarah dipandang dari mata elang. Sejarah seperti ini membutuhkan generalisasi atas pola-pola yang muncul. Semakin banyak pola yang digunakan untuk membantu menarik generalisasi, semakin sahihlah kesimpulan yang diajukannya.
Angka sangat membantu dalam generalisasi dan generalisasi penting sekali sebagai salah satu landasan untuk mengambil keputusan atau tindakan. Maka, ketika pemerintah memutuskan untuk tidak mengumumkan angka kematian karena Covid, apa pun alasannya, itu tidak bisa dibenarkan. Data dalam rupa angka itu penting, walaupun sedikit kurang akurat. Lebih baik diperbaiki sambil jalan daripada dihapus sama sekali.
Maka juga, ketika teman-teman medsos saya menghujat pemerintah karena seakan-akan melihat korban Covid sebagai angka saja, mereka ini pun menunjukkan diri sebagai kalangan yang kurang paham, entah secara filosofis dan historis, maupun secara politis dan praktis soal perlunya angka. Kalau pemerintah mengumumkan bahwa jumlah kematian karena korona berkurang sekian ratus dan membanggakan penurunan itu sebagai prestasi pemerintah, ya tidak perlu langsung mengecap bahwa pemerintah abai terhadap ribuan korban yang lain, kepada nyawa manusia. Di sini, pemerintah tidak berbicara dalam level ‘sejarah kecil’. Mereka bicara dalam level Sejarah Besar.
Sejarah Kecil
Sejarah Besar, seperti sudah kita singgung, berguna untuk melihat gambar besar dan untuk mendasari beberapa pengambilan keputusan di level itu. Sejarah Besar umumnya tampil dalam rupa angka, persentase, kumulasi, dan semacamnya. Sebagai hal semacam itu, Sejarah Besar memiliki kelemahan dalam menjelaskan pengalaman afektif dan emosi manusia.
Di sinilah letak penting dan fungsi sejarah kecil. Sejarah kecil merujuk pada pengalaman manusia di level pribadi atau personal. Ketika seseorang mengalami sebuah peristiwa yang traumatis, semisal kehilangan orang yang amat dikasihi, pengalaman itu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata apalagi dengan angka semata-mata.
Pengalaman mendalam seperti rasa bahagia, rasa syukur, kecemasan besar, ketakutan, kengerian, kehilangan, dan semacamnya sulit sekali, kalau malah tidak dapat, dikuantifikasi. Usaha menguantifikasi pengalaman-pengalaman tersebut hanya akan menghasilkan sesuatu yang menggelikan dan tanpa arti.
Apakah sejarah kecil berarti hanya punya makna di level individual dan personal, serta tidak mempunyai dampak atau resonansi luas? Tentu saja tidak demikian. Ketika pengalaman yang personal ini dirasakan oleh individu atau persona yang kebetulan memiliki pengaruh atau kekuasaan besar atas komunitas atau kelompok, dampaknya tentu akan besar pula. Ketika pengalaman individual ini dirasakan oleh cukup banyak orang atau anggota, dimungkinkan muncul suatu gerakan yang bisa mengubah gambar Sejarah Besar.
**
Demikianlah, Sejarah Besar dan sejarah kecil sejatinya tidak bisa mengklaim satu lebih baik dalam menjelaskan suatu pengalaman atau fenomena daripada yang lain. Keduanya mungkin tidak secara langsung dan serta-merta saling melengkapi. Keduanya ada agar kita memiliki pemahaman yang lebih utuh atas suatu kejadian atau fenomena atau pengalaman. Terlalu fokus pada Sejarah Besar menafikan sisi humanis manusia dan bisa jadi luput dalam memotret realitas hulu dan hilir. Terlalu fokus pada sejarah kecil menghasilkan pemahaman yang sempit dan partikularis, serta baper.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.