Seandainya Saya Pembina Pramuka

seandainya-saya-pembina-pramuka
Guru SMP Negeri 1 Turi, Sleman tersangka tragedi susur sungai kegiatan Pramuka yang mengakibatkan 10 siswa meninggal. (Foto : RMOL).
Iklan terakota

Terakota.id–Saya memang tidak pernah menjadi pembina Pramuka. Keterlibatan saya di Pramuka hanya sampai menjadi Dewan Penggalang. Dewan penggalang itu membantu tugas pembina Pramuka. Karir aktivitas saya cuma menjadi utusan sekolah pada kemah bakti tingkat kabupaten. Tetapi saya bisa merasakan bagaimana lika-liku selama menjadi anggota Pramuka.

Juga bisa membayangkan bagaimana susahnya menjadi pembina Pramuka. Perlu diketahui, waktu itu pembina Pramuka gajinya kecil. Itu saja pembinanya harus didatangkan  dari luar sekolah. Sebenarnya sebutan pembina itu terlalu berat tak sepadan dengan gaji yang diterimanya. Saya membayangkan waktu saya sekolah, lho. Entah kalau sekarang.

Saya waktu itu membayangkan bagaimana seandainya saya menjadi pembina Pramuka.  Kayaknya asyik. Jadi pembina penuh perjuangan, meski dengan tunjangan pas-pasan tapi tanggung jawabnya besari. Saya membayangkan jadi pembina karena senang kerja disiplin. Ya paling tidak berlatih disiplin.

Nyaris organisasi yang membekas pada diri saya di sekolah soal disiplin adalah Pramuka. Juga mengajarkan peduli orang lain.  Sementara rasa peduli saya juga semakin diperkuat saat mengikuti Palang Merah Remaja (PMR). Entah saya kok senang dengan kegiatan seperti itu. Saya hanya ingin kegiatan itu ikut memengaruhi pola pikir dan tindakan saya di masa datang.

Lupakan soal Pramuka dan PMR.  Saya hanya akan cerita seandainya saya menjadi pembina Pramuka.  Mengapa? Saya jadi ingat bapak saya yang juga pembina Pramuka pula. Disamping seorang guru bergaji kecil (karena golongan I, meskipun bapak saya lulusan PGAN 6 tahun), bapak saya juga menambah pendapatan dengan menjadi pembina Pramuka. Kadang mengajar di madrasah tsanawiyah.

Tugas Berat

Menjadi pembina Pramuka tidaklah gampang. Ia harus tahan banting. Bagaimana tidak? Pramuka itu tugasnya berat. Ia memberikan bekal dasar generasi calon pemimpin di masa datang. Memupuk jiwa kesatria, kepemimpinan, peduli, dan rela berkorban. Sebagai seorang anggota Praja Muda Karana, Dasa Dharma Pramuka sudah saya hafalkan sejak menjadi anggota Pramuka. Bahkan saya waktu itu hafal di luar kepala sambil berteriak jika mendapat hukuman.

Menciptakan disiplin menjadi hal penting dalam pembinaan Pramuka. Ini tentu penting. Namanya juga mendidik generasi muda. Generasi muda zaman  sekarang sangat berbeda dengan zaman dahulu. Zaman sekarang generasinya manja-manja. Mungkin dunia sudah berubah dan tuntutannya berbeda. Gadget salah satu yang membuat kemanjaan itu. Serba repot tetapi tak bisa dihindari dan tak bisa dilarang.

Saya bisa membayangkan betapa repotnya pembina Pramuka saat ini. Tugasnya tentu lebih berat dari bapak saya yang dulu pernah menjadi pembina Pramuka di eranya. Kadang bisa jadi merasa putus ada. Bagaimana tidak?  Mengurusi siswa saja susah apalagi harus “membina” anak-anak dalam Pramuka? Tahu kan? Susahnya mendisiplinkan anak-anak. Beda lho menjadi pembina zaman sekarang dengan zaman dahulu.

Seandainya saya menjadi pembina Pramuka, tentu saya tidak boleh putus asa. Kalau pembinanya mudah putus asa lalu bagaimana dengan anak didik dalam Pramuka itu? Saya harus tahan. Mungkin ini jalan hidup saya. Jalan untuk menjadi amal jariyah nantinya. Jalan lain untuk memperlancar rezeki dengan “pintu” menjadi pembina Pramuka.

Sebagian orang mungkin menganggap menjadi pembina Pramuka untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Boleh juga anggapan itu benar. Tentu itu tidak seratus persen benar. Yang saya tahu tunjangannya sangat sedikit dan tak sepadan dengan tanggung jawabnya. Mereka bertugas membentuk generasi masa datang. Kalau sebagai guru kan tinggal melaksanakan apa yang sudah digariskan dengan kurikulum.

Pembina Malang

Saat saya mendengar ada 10 siswa SMP N 1 Turi, Sleman yang meninggal saat menyusuri sungai Sempor (21/2/2020) membuat sedih. Ibaratnya tunas yang sudah disemai agar menjadi generasi hebat di masa datang hilang. Seperti induk ayam kehilangan anak. Sebagai pembina Pramuka, itulah yang saya rasakan. Susah lho membentuk generasi hebat. Apalagi generasi yang mandiri, karena kemandirian generasi saat itu sudah menjadi barang mahal. Semahal kemandirian bangsa ini di mata internasional.

Tentu saya sepakat jika mereka yang menyarankan, mendukung, mengijinkan ekspedisi sungai Sempor diberikan hukuman. Bagaimana tidak? Betapa sedihnya orang tua mereka? Apalagi diantara mereka hanya mempunyai anak tunggal. Saya bisa merasakan kesedihan orang tua. Juga kesedihan para pembina Pramuka itu.

Meskipun para pembina itu sangat ceroboh. Bagaimaan tidak? Musim hujan begini harus ada ekspedisi sungai? Saya paham mungkin sudah direncanakan jauh-jauh hari. Saya maklum juga itu memang melatih anak-anak untuk tahan banting, ulet, dan disiplin. Tetapi memilih ekspresidi sungai saat musim hujan bukan pilihan bijak. Sudah wajar mereka para pembina Pramuka itu diberikan hukuman. Karena telededoran.

Tetapi mendadak saya merasa sedih kian memuncak saat melihat mereka digelandang dan digunduli. Berita di media ada yang mengatakan polisi yang mengggunduli. Ada informasi  yang mengatakan bahwa IYA, R dan DS yang meminta agar digunduli. Saya belum tahu pasti. Karena proses hukum di Indonesia itu susah dipegang kaitannya dengan pernyataan seorang tersangka atau petugas keamanan. Anda yang mengetahui seluk beluk proses hukum tentu paham terkait hal ini. Rekayasa terkait sebuah kasus bukan sesuatu yang tak mungkin.

Katakanlah ada oknum yang menggunduli. Pertanyaannya, apakah sudah sedemikian hilang urat malu mereka yang menggunduli itu?  Bukan saya tak setuju dengan hukuman pidananya. Saya hanya tidak setuju dengan cara-cara kuno menggunduli. Menggunduli cara primitif untuk membuat malu seseorang.

Di desa jika ada orang yang berbuat cabul bisa diberikan hukuman model digelandang. Mengapa? Karena itu hukuman yang ada dan dihormati di desa. Jika sudah ada hukum positif, hukuman model digelandang itu sebaiknya dihilangkan. Menggunduli dan menggelandang cara primitif dalam kehidupan modern ini. Apalagi mereka itu pendidik.

Kenapa itu semua bisa terjadi? Karena pembina Pramuka itu terhimpit tiga kali. Pertama protes para orang tua. Kedua, protes masyarakat umum. Ketiga, protes aparat keamanan sebagai penegak hukum. Mereka seolah tidak ada yang melindungi. Coba kalau mereka itu dekat dengan aparat atau katakanlah dekat dengan kekuasaan politik akan beda hasilnya, bukan?

Mereka para guru kebanyakan yang selama ini memang sudah menjadi “minor” di republik ini. Meski perannya sangat penting dalam mendidik generasi bangsa. Bahkan saat mereka disuruh apa saja akan mau. Karena tak ada lagi tempat “berlindung”. Jadi ada “hukum rimba” yang dialaminya. Untung saja mereka mau. Sebenarnya jika berontak dan memprotes penggundulan itu mereka bisa saja. Tentu beberapa kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan tindakan aparat yang sewenang-wenang akan mendukungnya.

Dibina(sakan)

Mereka guru. Mereka harus memberikan teladan baik. Jika salah mereka akan mengakuinya. Buktinya mereka juga menolak penangguhan hukuman, karena mereka merasa bersalah. Hukuman adalah tebusan setimpal yang dengan lapang dada mereka terima.

Tetapi mata saya juga kemudian berkaca-kaca. Sudah sedemikian rendahkah bangsa ini dalam menghormati guru? Juga memuliakan guru? Para guru memang tidak butuh penghormatan. Tetapi jika ada indikasi untuk merusak tatanan moral mereka akan protes. Meskipun toh seandainya para pembina Pramuka itu minta sendiri untuk digunduli.

Mungkin banyak guru tidak setuju dengan penggundulan itu. Saya yakin. Tetapi banyak dari mereka hanya bisa diam. Takut dengan sanksi atasan atau pejabat pemerintahan. Di negara ini dalam kurun waktu lama, rasa takut struktural masih menjadi hantu. Berbeda sedikit dari pemerintah bisa mengancam karir dimasa datang. Sehebat apapun klaim demokrasi sudah ditegakkan tetapi tetap masih membuat masyarakat takut bersuara itu sama juga omong kosong. Rasa takut atas beda pendapat dengan pemerintah di masyarakat membuat guru tidak bisa kreatif berinovasi. Sehebat apapun kurikulum yang ada.

Menghormati atasan dan rasa takut struktural, termasuk di lembaga sekolah, masih kuat. Karena lembaga sekolah itu sebuah sistem. Jika demikian bagaimana dengan peran kepala sekolah dalam kasus ekspredisi sungai Sempor? Tidak mungkin kepala sekolah tak mengetahui. Ini sistem. Jika mengacaa pada sanksi hukum. Mereka yang melakukan, membiarkan, mendorong tindakan akan ikut terkena sanksi.

Kita masih menjadi bangsa yang mengemis pengakuan. Jika anak buah punya prestasi akan diklaim sebagai keberhasilan atasan. Jika anak buah melakukan kesalahan, atasan biasanya akan menghindar. Lihatlah sistem sekitar kita atau kita ada dalam anggota sistem seperti itu? Jadi, kepala sekolah akan mengklaim sebagai prestasi dirinya saat anak buah punya prestasi. Tetapi akankah mereka ikut terlibat dan betanggung jawab saat anak buah melakukan kesalahan?

Andai saya pembina Pramuka saya tentu sedih melihat semua itu. Apalagi saya seorang guru. Saya tidak butuh penghormatan sebagaimana pejabat. Saya hanya butuh dihargai dan diberikan hak-hak saya. Martabat guru juga perlu ditingkatkan. Bukan malah dihina sedemikian rupa. Guru memang bisa dihina tetapi doa tulusnya akan terus dipanjatkan untuk anak didiknya. Doa yang mahal dari sekadar menjadi manusia pintar.