
Oleh : M. Dwi Cahyono*
Melestarikan CB, Baru Mewisatakan CB
Terakota.id–Kota Malang masuk dalam “Jaringan Kota-Kota Pusaka (Heritage Net Cities)”. Suatu anugerah dan predikat yang “membanggakan”, sekaligus “abot sanggane (berat bebannya)”. Predikat itu bisa-bisa cuma “pepesan kosong” yang apabila tidak disertai dengan upaya “sungguh- sungguh” dan “kenceng (ketat)” dalam upaya melindungi keberadaan, mempertahankan orisinalitas alias keaslian, perawatan untuk keawetan, dan kemanfaatan yang tidak “menabrak” kelestarian Cagar Budaya (CB).
Antara pemanfaatan CB — menurut selera dan kepentingan subyektif pemilik CB dengan mempertahankan keaslian bangunan dengan kaidah konservasi acap berbenturan. Pemilik CB maunya “sebesar-besarnya dapat merombak, dan syukur merobohkan total CB yang dianggap sebagai “milik mutlak”-nya. Adapun pada kutub lainnya, dalam realitasnya sebagai ‘CB” melekat kewajiban untuk melestarikannya.
Keduanya berdikotomi di dalam “pertempuran adu kuat”. Dalam pertarungan ini, TACB (Tenaga Ahli Cagar Budaya) berada “di lini tengah”, bagai si pelanduk di antara pertarungan sang singa VS banteng, malahan bisa jadi sebagai pelanduk yang mesti menghadapi banteng, maka si pelanduk pun terinjak-injak, nyaris cemet.
Ada yang membilang “pemerintahan Kota Malang periode sekarang lebih baik ketimbang periode sebelumnya dalam hal statement dan ujaran janji pelestarian CB paling tidak, di dalam sejumlah kesempatan, baik formal ataupun non-formal. Petinggi Kota Malang mengeluarkan statement bahwa bakal (pada posisi “bakal” atau “akan”) melestarikan aset kulturalnya yang berstatus “heritage”, yang jumlahnya banyak, malahan amat banyak dan lintas masa. Suatu statement yang dilansir lebih setahun terakhir, dicatat dan disiarkan oleh banyak media masa, dan karenanya kalayak mengetahuinya serta menjadi saksi untuk kelak menagih janji dan statemennya itu.
Dalam hal adanya “statement” itu, adalah suatu hal yang “menggembirakan”. Namun dalam hal realitas implementasinya, ada perasaan “was- was” akan kesungguhan dan totalitasnya. Terkebih, janji pelestarianya terlampau lekat ditempelkan pada manfaatannya untuk industri pariwisata. Padahal, ada atau tidaknya kontribusi suatu CB untuk pariwisata “tak menggugurkan kewajiban untuk mesti dan senantiasa lestarikan.CB-nya”. Kewajiban untuk lestarikan CB di Kota Malang adalah suatu konsekuensi logis atas predikat “Heritage City”-nya.
Yang pertama, sekaligus yang utama, tentulah pelestariannya, Adapun nilai keuntungannya bagi kewisataan “sekedar bonus”. Lantaran “lestari”, maka memberinya “untung”. Sebenarnya, tidak menguntungkan bagi pariwista pun telah ada untungnya, yakni keuntungan atas kelestarian CB. Oleh kaena itu, yang mustinya terlebih dahulu dilaksanakan adalah melestarikan CB. Adapun memanfaakan CB, baru kemudian. Pelestarian CB jangan semata-mata dikalkulasi picik dari aspek kewisataan, karena terdapat sejumlah manfaat penting lainnya dari sekadar buat kewisataan.
“Kenakalan” Kultural Tak Lestarikan CB
Perihal ” ke-cagarbudaya-an” warisan budaya, tidak terkecuali warisan budaya arsitektural, bukanlah baru berlaku setelah suatu bangunan “berindikasi cagar budaya” Itu ditetapkan secara “legal dan formal” melalui SK Wali Kota sebagai “Bangunan Cagar Budaya (BCB)”. Jadi, kendati masih belum ditetapkan, menurut UU No. 11 tahun 2010 tentang “Cagar Budaya” dan Perda No.1 yang ditetapkan Pemkot Malang pada awal tahun 2018 — sebagai implementasi atas UU itu, telah cukup kuat buat dijadikan sebagai landasan hukum atas kecagar-budayaan dari CB yang bersangkutan. Oleh karena adalah produk budaya (artefak) yang “di-CAGAR- kan”, maka keharusan untuk melestarikan telah melekat pada bangunan berindikasi CB tersebut.
Merombak atau membongkar — sebagian atau keseluruhan, terlebih melumatkan bangunan yang berindikasi CB, yang “tak sejalan” dengan ketentuan yang temaktub di dalam perundangan mengenai pelestarian CB itu, adalah perbuatan melawan ketentuan hukum tentang pelestarian CB yang diberlakukan. Kalaupun tidak disebut sebagai “kejahatan kultural”, paling tidak hal ini merupakan “kenakalan kultural”, yakni sengaja “tidak lestarikan” bangunan berindikasi CB, yang nota bene adalah “dicagarkan”. Berkaitan itu, sebagai tata laksana penanganan bangunan berindikasi CB oleh memilik CB, khususnya dalam hal tindak pembongkaran, terlebih lagi perobohan total terhadap bangunan berindikasi CB, perlulah kiranya segera diterbitkan Perwali Kota Malang mengenai itu.
Hal itu dipandang perlu untuk segera dilakukan, karena terdapat modus kejahatan kultural, yang terkebih dulu lakukan “pembongkaran” bahkan “perobohan” total ataupun nyaris total terhadap bangunan berindikasi CB sebelum mengurus IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Sebenarnya, dalam setahun terakhir terdapat “mekanisme bagus” di Kota Malang bahwa untuk bisa menperoleh IMB, rancangan penanganan bangunan berindikasi CB itu wajib memperoleh “rekom” dari TACB.

Namun, dengan adanya “celah” belum adanya ketentuan hukum yang berupa Perwali mengenai “larangan” pembongkaran, terlebih perobohan total atau nyaris total terhadap bangunan berindikssi CB, maka ada peluang untuk ber-“akal bulus”, yakni bongkar atau robohkan dulu barulah urus IMB. Sebuah “faith accomply” terhadap TACB, karena apabilla telah demikian keadaanya, pertanyannya adalah “rekomendasi pelestarian CB macam mana yang mesti direkomkan bila bangunan berindikasi CB itu telah babak belur.
Acapkali yang ” babak belur” itu adalah dibagian dalam (interior), bahkan pada bagian belakang hingga tengah. Yang disisakan hanya pada bagian depan (facade), sebagai “kamuflase”, seolah-olah bangunan berindikasi CB itu pada kondisi yang lestari. Modus “membotaki” dari belakang dan dari dalam menggejala akhir-akhir ini. Bahkan, ada yang dengan teterang-terangan dan amat leluasa untuk merobohkan total atau sebagian, tanpa ada yang “bernyali” untuk membendungnya, tidak terkecuali TACB itu sendiri. Dalih bahwa bangunan berindikasi CB itu “belum ditetapkan (secara legal dan formal) sebagai CB” dijadikan kesempatan untuk “mencuri start” dengan bergegas lakukan pembongkaran dan peroobohan sebelum ditetapkan sebagsi CB.
Pada sisi lain, tingkat kecepatan dan jangkauan jumlah penetapan CB sangat terbatas. Dalam satu tahun TACB Kota Malang cuma mampu tetapkan antara 30-40 bangunan berindikasi CB diantara ratusan atau ahkan lebih yang riil ada, lantaran anggaran pelaksanaan yang cuma “nyumprut” dan terbatasnya SDM berkompeten. Proses penetapan baru beralangsung dalam dua tahun terakhir (2018 dan 2019).
Yang telah dan tengah disiapkan untuk ditetapkan sebagai CB cenderung “menghindari” rumah tinggal, dengan alasan terlanpau “ribet” bisa menyangkut “privasi” rumah tinggal — yang nota bene milik “orang kuat”, baik kuat secara politis, ekonomis maupun status sosialnya. Padahal yang krusial atau berpotensi menimbulkan persoalan kelestarian adalah rumah tinggal, karena berupa “living monument (monumen hidup” yang.masih difungsikan hingga kini.
Misalnya, baru dua bangunan di Kiridoor Ijen yang di tahun lalu (2018) ditetapkan sebagai CB. Itupun Rumah Dinas Wali Kota dan Gereja Ijen. Pada tahun ini (2019) hanya satu rumah tinggal, yaitu di Jl Ijen Boulevard no. 24, yang tengah disiapkankan untuk ditetapkan sebagai CB. Mustinya, seluruh bangunan berinkadikasi CB pada Kiridoor Ijen yang menjadi “prioritas” untuk lekas-lekas ditetapkan statusnya sebagai CB, sebab kasus pelestarian CB pada areal ini cenderung “dadi cangkem (jadi sentra gunjing)” Sesungguhnya, tindakkan tegas untuk lestarian CB tak boleh cuma pada Koridoor Ijen, karena tidak ada alasannya “pilih-pilih (mban cinde mban siladan)”, namun musti berlaku sama dimanapun lokasinya.
Ketegasan untuk Kuatkan Pelestarian CB
TACB mestlah tegas dengan “TIDAK menberikan rekomendasi” apabila terhitung sejak awal 2018 (waktu pengundangan Perda No. 1 tahun 2018) ada kesengajaan melakukan pembongkaran, terkebih perobohan total atau nyaris total, atas bangunan berindikasi CB. Dalam pemberian rekomendasi, hendaknya pula TACB tak sekedar sebagai “tukang stempel” lewat rekomendasi itu terkait mekanisme pengurusan IMB. Mestilah pula punya sikap dan tindakan “tidak lembek” terhadap racang bangun usulan pihak pemilik bangunan berindikasi CB di dalam proses “kajian kritis (bukan sekedar ‘ajang negosiasi’)” sesuai dengan kaidah pelestarian CB, yang mengedepankan “restorasi’, bukan malah ke arah renovasi.
Gambar usulan yang dikaji tersebut mustinya pula gambar detail, yang dilengkapi dengan deskripsi literal dan fotografis rinci mengenai kondisi bangunan sebelum penanganan (existing), rencana penanganan, dan klausul tentang mekanisme monitoring manakala penanganan berlangsung. Perlu lah ada ruang kewenangan bagi TACB untuk melakukan monitoring ketika pekerjaan penanganan berlangsung — termasuk kewenangan untuk menghentikan apabila terjadi penyimpangan rancang bangun sebagaimana direkomensasikan. Jika demikian, maka ini merupakan kompleksitas pekerjaan TACB, meski jasa keahliannya “cuma 1/10” UMR di Kota Malang
Upaya memantau untuk penegakkan kelestarian CB sebenarnya secara dini bisa dimulai semenjak ada proses “alih kepemilikan (jual-bel, sewa jangka panjang, dsb)” bangunan berindikasi CB. Tulisan iklan “Dijual” atau “Disewakan” saja sudah menjadi “tengara awal” bahwa bakal terjadi “pembongkaran, perombakan, pembaruan”, mengingat bahwa “alih kepemilikan” acap disertai dengan “alih fungsi dan alih bentuk”.
Dalam kaitan itu, maka dalam akad jual-beli musti telah dibubuhkan “catatan penting” bahwasanya babgunan itu berindikasi CB, sehingga calon pembeli mestilah indahkan “kaidah-kaidah pelestarian CB”.Calon pemilik baru CB perlu dibekali Perda No. 1 th. 2018 — namun sayang sekali hingga 2 tahun selelah di- Perda-kan, belum juga dibuat semacam “buku saku” tentannya untuk kepentingan sosialisasi Perda CB itu.
Tengara berikut, yang lebih serius, adalah ketika pemasangan pagar seng di sekeliling bangunan berindikasi CB, semacam “lonceng kematian bagi kelestariannya”, yang bila tak dikendalikan bisa terjadi penanganan CB yang berlebihan, menggerus kelestariannya. Terkait itu TACB hendaknya telah mendapatkan akses buat “hadir” sesuai kewenangannya pada kedua sesi itu
Memang, tidak semua penanganan CB yang telah terlebih dulu dikonsultasikan dengan TACB “jauh panggang dari api” dalam hal kelestarian. CB milik BNI 1946 pada Koridoor Kajoe Tangan misalnya, adalah salah satu “contoh baik” atau “contoh benar”, yang dapat dijadikan sebagai “contoh teladan” bagi pemilik CB yang hendak menangani CB-nya. Ada baiknya dipublikasikan “contoh-contoh benar” pada sejumlah bangunan CB di Kota Malang dalam hal menanganan CB, yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi bagi penganan CB lainnya. Adapun tentang “contoh buruk”-nya sangat banyak (sak ambrek) didapati di Kota Malang, yang nota bene adalah “Heritage City”.

Demikianlah sumbang fikir saya, yang boleh jadii ada yang “tak sarujuk” dengan itu, boleh- boleh saja. Mohon maaf atas kritik, termasuk “outo kritik”, yang disampaikan pada tulisan ini. Besar harapan ada pembenahan, pelengkapan, dan peningkatan fasiltasi bagi ikhtiar penguatan bagi kelestarian dan kemanfaatan CB di Kota Malang.
Termasuk secara internal pada TACB, agar tak bagai “burung yang sayapnya patah” hingga tidak bisa terbang, atau laksana seekor ular yang “dilepas kepalanya, tapi dipegangi ekornya (diculke ndase nanging digoceki buntute)”. Dengan itu, maka ke depan diharapkan tak kembali muncul komentar sumbang bahwa TACB di Kota Malang “muspro” belaka seakan tak kotributif, lantaran telah “bolak-balik (berulang kali)” terjadi tragedi yang sama, yakni penghancuran CB.
Tentulah TACB saja tak bakal cukup untuk bisa menangani secara “total” kecagarbudayaan di Kota “Heritage”‘ Malang. Berbagai pihak terkait, baik Eksekutif, Legislatif, TACB, komunitas atau persona peduli CB, maupun pemilik CB untuk “sayuk saeko proyo” melestarikan CB di Kota “Heritage” Malang. Sementara itu, kita tunggu sejenak “kesungguhan dan totalitas” dari Sang Petinggi Kota Malang untuk realisasikan statemennya bahwa “bakal” lestarikan CB di Kota Malang. Semoga kasus pelestarian yang menimpai bangunan berindikasi CB di Jl. Ijen No. 6 akhir-akhir ini merupakan “contoh buruk” yang benar-benar terakhir .
Nuwun.
*Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi