
Oleh : Athoillah*
Terakota.id—Ya. Saya OTG. Bukan On The Go, salah satu jenis USB itu, tapi Orang Tanpa Gejala, suatu istilah populer untuk menyebut orang dengan virus Covid-19 dalam tubuhnya namun tidak merasakan gejala apapun. Benar. Saya positif Covid tanpa gejala, Senin, 30 November 2020.
Saya dinyatakan positif berdasarkan hasil pemeriksaan swab test yang saya ikuti di kantor, sehari sebelumnya. Pemeriksaan ini dilakukan untuk seluruh personil di kantor. Dari seluruh personil, Alhamdulillah, semua negatif, kecuali Saya, positif.
Reaksi Saya saat diberi tahu Saya positif? Tertawa. Ya, Saya tertawa. Dalam keseharian, Saya memang suka tertawa. Bagi sebagian orang, tertawa Saya kadang terdengar cukup keras. Dan Saya tak mampu mengurangi volumenya. Entah kenapa. Tertawa keras itu keluar begitu saja. Ada rasa takut? Tidak. Kalau “cuma” Covid, tidak akan membuat Saya takut. Saya cukup percaya diri menghadapinya.
Setelah Saya diberi tahu Saya positif, Saya bingung : apa yang harus Saya lakukan? Saya tidak punya cukup informasi mengenai langkah-langkah awal yang harus dilakukan oleh orang yang dinyatakan positif covid. Saya hanya tahu bahwa harus isolasi. Tapi bagaimana melakukannya? Dimana? Apa yang harus dilakukan sebelum isolasi? Dan lain sebagainya.
Saya benar-benar tidak memiliki pengetahuan soal ini. TV, portal online, share info WA dan lain sebagainya, tidak pernah membahas soal ini. Jika boleh usul ke pemerintah, mungkin perlu untuk membuat panduan sederhana soal ini, lalu sosialisasi seluas-luasnya. Kalo dulu ada pelatihan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), mungkin sekarang perlu pelatihan P3KC, Pertolongan Pertama Pada Kasus Covid. Ini penting untuk membantu orang atau keluarga yang dinyatakan positif agar tidak bingung dan melangkah secara benar.
Saat itu, yang ada di pikiran saya tiga hal : pertama keluarga Saya (anak istri yang tinggal serumah), kedua tetangga dan ketiga kantor. Untuk anak-istri, Saya harus segera tahu apakah mereka juga positif Covid atau tidak. Jika iya, mereka juga harus ikut isolasi (entah dimana).

Jika tidak, mereka harus segera pindah, untuk sementara tinggal ditempat lain. Pikiran Saya terus berjalan. Jika anak istri Saya juga positif, maka Saya memiliki tanggungjawab jika ada teman-teman main anak Saya yang ikut tertular. Tanggungjawab itu setidaknya Saya membiayai pemeriksaan, juga pengobatan jika diperlukan.
Tetangga juga menjadi salah satu yang Saya pikirkan : Apakah Saya harus menutupi atau justru memberi tahu? Jika memberi tahu, kira-kira bagaimana reaksinya? Apakah tetangga keberatan jika misalnya Saya isolasi dirumah? Soal kantor, sebagai pimpinan, bersama pimpinan yang lain, tentu Saya harus mengambil keputusan dan langkah-langkah agar semuanya berjalan terkendali dan tidak menimbulkan masalah baru.
Saya beruntung karena Saya memiliki akses ke banyak orang (hal yang mungkin tidak semua orang miliki). Saya menghubungi rumah sakit, dinas kesehatan, teman yang kebetulan dokter dan lain sebagainya. Dari mereka Saya tahu bahwa OTG Covid-19 seperti Saya memang harus isolasi. Isolasi bisa dilakukan mandiri. Tidak perlu di RS.
Ok. Satu masalah terjawab. Isolasi mandiri. Tapi dimana? Rumah yang saya tempati? Rumah mertua? Hotel? Sewa rumah? Atau dimana? Saya putuskan Saya isolasi di rumah saya sendiri. Rumah mertua tidak dipilih karena walaupun disana ada 2 rumah tapi ada mertua yang sudah sepuh. Sewa hotel juga tidak karena selain akan membosankan (Saya tidak bisa membayangkan tinggal di ruangan 3×3 atau 4×4 selama berhari-hari tanpa interaksi dengan orang lain), juga ada pertimbangan lain : terlalu lama d hotel tidak baik untuk kesehatan keuangan, hehehe…
Keluarga Negatif
Tapi untuk isolasi, harus diputuskan lebih dulu apakah anak-istri Saya juga harus isolasi atau tidak? Mereka harus diperiksa untuk mencari tahu apakah mereka OTG Covid atau tidak.
Urusan periksa ini juga jadi masalah : bagaimana cara berangkat ke RS? Istri Saya tidak bisa menyetir, anak-anak Saya masih kecil. Jadi harus ada yang mengantar. Lalu, siapa yang mengantar? Apa Saya boleh mengantar ke RS? Atau naik Grab? Kalo naik grab, bagaimana jika anak istri Saya juga positif, tentu berpotensi menularkan ke sopir. Tentu, itu bukan pilihan yang tepat.
Saya putuskan Saya yang antar. Entah, itu tindakan yang tepat atau tidak. Entahlah. Sebelum berangkat ke RS, Saya minta istri Saya menyiapkan pakaian, buku-buku dan sebagainya. Rencananya : jika hasil pemeriksaan negatif, langsung Saya antar ke rumah mertua. Jadi tidak bolak balik.
Di mobil, saya sendiri di depan. Anak dan istri Saya di belakang. Semua pakai masker. Sampai di RS, mereka turun dan Saya tetap di mobil. Istri Saya kirim foto saat anak laki-laki Saya diambil cairan d hidungnya. Terlihat meringis. Anak perempuan Saya menangis.Hasilnya, Alhamdulillah, negatif.
Saya antar ketiganya ke rumah mertua. Di sana, saya tak ikut turun. Tak juga membantu menurunkan barang-barang dari mobil. Setelah semua turun, Saya langsung jalan. Tak usah salaman. Balik ke rumah. Di jalan, Saya sempatkan kirim WA ke grup kantor : sebentar lagi kita rapat daring ya. Semua setuju.

Sampai di rumah, Saya menghubungi Dinas Kesehatan dan RS. Konsultasi lagi : bagaimana cara isolasi, apa yang boleh dan tidak boleh Saya lakukan, apakah kantor Saya harus tutup total atau bagaimana, dan sebagainya. Dinas Kesehatan juga mengajukan pertanyaan sebelum ini Saya kemana saja dan berinteraksi dengan siapa saja. Saya jawab apa adanya. Mereka, RS dan Dinas Kesehatan, merespon dengan sangat baik dan Saya merasa terlayani. Terima kasih ibu-bapak….
Selesai mendapat penjelasan, Saya mengirim pesan ke grup WA komplek. Saya harus memberi tahu tetangga mengenai kondisi Saya, apa yang sudah Saya lakukan dan apa yang akan Saya lakukan berikutnya. Semua Saya jelaskan. Pesan yang Saya kirim panjang. Harapan Saya, tetangga komplek perumahan Saya bisa memahami apa yang terjadi dan tidak menimbulkan masalah.
Saya lanjutkan dengan rapat kantor. Via zoom. Beberapa hal dibicarakan. Hasilnya : kegiatan kantor tetap berjalan, penyemprotan disinfektan, penunjukan Plh Ketua agar kegiatan tidak terganggu, segera melaporkan hasil swab dan sebagainya. Termasuk menyepakati agar Saya menyampaikan sendiri ke staf kantor mengenai kondisi Saya.
Selama saya rapat, grup WA bapak-bapak komplek perumahan saya rupanya sedang ramai. Mereka membalas pesan Saya. Isinya melegakan : semuanya memahami, mendukung dan mendoakan. Beberapa memberi saran-saran. Beberapa berkirim pesan secara pribadi (japri). Saya membalasnya dengan senang hati. Terima kasih para tetangga….
Saya lanjutkan dengan berkirim pesan ke grup kantor. Saya jelaskan jika saya positif, juga kebijakan-kebijakan terkait kegiatan kantor selama saya isolasi. Alhamdulillah, tanggapan staf baik.
Sampah
Salah satu hal sederhana namun penting dikelola dengan baik saat isolasi mandiri adalah sampah. Jika sembarangan membuang sampah dari dalam rumah isolasi, tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan. Tidak semata-mata soal sampahnya, tapi sangat mungkin menimbulkan kekhawatiran jika sampah-sampah itu bisa menjadi media penularan.
Saya tidak tahu apakah memang sampah bisa menjadi media penularan atau tidak, tapi jika ada orang (misalnya tetangga) yang khawatir, menurut Saya itu wajar. Toh, belum terdengar ada penjelasan yang lengkap soal ini dari pemerintah atau pihak-pihak yang lain lebih paham.
Soal ini Saya sepakat dengan istri bahwa sampah rumah selama Saya isolasi mandiri akan dibungkus plastik dan beberapa hari sekali akan diambil oleh istri Saya. Jadi tidak dibuang ditempat sampah depan rumah untuk diambil oleh petugas ambil sampah seperti biasa.

Ini juga saya sampaikan ke tentangga saya melalui pesan yang Saya kirim di grup komplek. Alhamdulillah, ide ini bisa diterima.
Setelah semua “skenario” anak-istri, tetangga dan kantor dibuat dan dijalankan, Habis magrib, barulah Saya memikirikan diri saya sendiri : selama isolasi, Saya mau lakukan apa?. 1-2 hari ke depan sudah ada beberapa kegiatan yang bisa aaya lakukan. Semuanya daring. Tapi bagaimanapun, kegiatan daring paling berjalan 2-4 jam. Setelah dan sebelum kegiatan itu lakukan apa?
Saya punya ide yang produktif : menyetrika pakaian! Ya. Pakaian yang sudah dicuci namun belum di setrika, numpuk. Saya bisa mengisi waktu masa isolasi Saya dengan menyelesaikan tugas ini.
Bismillah. Hari pertama sebagai OTG Saya jalani.
Rabu, 2 Desember 2020
**Tulisan ini sebagaimana diunggah di akun Facebook pribadi penulis. Nantikan tulisan berikutnya saat masa isolasi mandiri di rumah.
*Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jombang, bekas penyintas COVID-19

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi