
Oleh: Saut Situmorang*
Terakota.Id–Aku punya pertanyaan: Kenapa ya gak setiap orang berani mengklaim diri “mengerti” Kedokteran, atau Ekonomi, lalu membuat tulisan yang “membahas” Kedokteran atau Ekonomi bahkan sampai mengklaim diri “pengamat Kedokteran atau Ekonomi” atau pengetahuan-pengetahuan lain seperti Hukum, dan Jurnalisme? Tapi kenapa hal seperti di atas tidak terjadi atas “Sastra”? Kenapa setiap orang di negeri ini, apalagi “penulis”, pasti akan merasa sudah “mengerti” Sastra dan berani membuat “opini” publik tentangnya?
Di Indonesia, seperti di negeri-negeri lain, Fakultas Sastra itu terdapat hampir di setiap universitas besarnya. Bahkan bisa dikatakan, secara melebih-lebihkan, bahwa “Sarjana Sastra” lebih banyak jumlahnya dibanding “Sarjana” lainnya. Maksudku adalah bahwa Sastra itu adalah sebuah Ilmu Pengetahuan (science, sains) sama seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum atau Linguistik. Makanya dipelajari secara sistematis di tempat yang disebut “Fakultas Sastra”.
Makanya mereka yang sudah tamat mempelajarinya secara sistematis begini disebut “Sarjana Sastra”. Bahkan tingkat kesarjanaan ilmu pengetahuan ini mencapai level Doktor, sama seperti ilmu pengetahuan lainnya itu. Dalam kata lain, sudah disadarikah di negeri ini bahwa Sastra itu adalah sebuah ilmu pengetahuan atau sains yang untuk memahaminya diperlukan sebuah studi yang sistematis dan lama atas sejarahnya, teorinya dan tentu saja jenis-jenis karya yang disebut Karya Sastra? Di sinilah persoalan besar terjadi.
Walaupun ada Fakultas Sastra dan banyak Sarjana Sastra bertebaran di negeri ini, tapi Sastra masih belum dianggap sebagai sebuah Ilmu Pengetahuan atau Sains seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum dan lainnya oleh masyarakat umum Indonesia! Bahkan, tragisnya oleh mereka yang menganggap dirinya Sastrawan! Setiap orang apalagi yang pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi walau non-Sastra akan merasa dirinya MAMPU bicara tentang Sastra, dan MENGERTI apa itu Sastra!
Maka parahlah kondisi pembicaraan tentang Sastra di negeri yang tak menghormati Sastra(wan) ini! Anarkisme pendapat atau interpretasi dianggap bukti demokrasi! Sesuatu yang tidak terjadi di Barat sana. Yang bukan “orang Sastra” tidak merasa ada yang aneh kalau dia ikut membicarakan Sastra walau ala pseudo-akademis, alias debat kusir.
Pembicaraan dan penafsiran yang terjadi pada umumnya sangat tergantung pada kata hati belaka, karena memang begitulah Sastra itu dianggap mereka: Sesuatu yang cuma berkaitan dengan “hati”, “perasaan”, bukan Ilmu Pengetahuan atau Sains tadi. Ketidaktahuan mereka atas Sejarah dan Teori Sastra secara umum tidak dianggap faktor penting yang harus mereka pertimbangkan dalam membicarakan Sastra!
Dan kita masih belum lagi membicarakan Sastra sebagai sebuah Seni, sama seperti seni-seni lain; Teater, Seni Rupa, Musik, Film, Fotografi, Tari dan lain-lain!
Seperti seni-seni lain, seni Sastra juga memiliki hukum-hukum, peraturan-peraturan, pakemnya tersendiri, khas yang menjadi hakekat Sastra. Ketidakpahaman atas Hukum-hukum Sastra inilah yang selalu membuat setiap “penulis” (yang sangat berambisius tentunya!) terheran-heran kok tulisannya tidak dianggap tulisan Sastra! Dengan seenaknya aja segelintir penulis “fiksi pop atau novel pop” mengklaim fiksi atau novelnya sebagai Sastra cuma karena tulisannya itu memiliki hal-hal yang MIRIP karya Sastra, seperti plot dan tokoh. Bagi mereka, cuma begitulah “Sastra” itu!
Kalau kita ambil perbandingan, kan tidak setiap yang dibuat pakai seluloid itu akan dianggap seni Film alias Sinema. Tidak setiap gerak yang “indah” itu Tari. Dan tidak setiap lukisan atau patung itu Seni Rupa. Tapi kok hal ini tidak dianggap berlaku buat Seni Sastra?!
Klimaks dari kondisi yang menyedihkan ini: Sekarang sudah menjadi trend di universitas negeri kita, seperti yang sudah terjadi pada universitas negeri yang elite kayak Universitas Indonesia (Jakarta) dan Universitas Gajah Mada (Jogja), mengganti nama “Fakultas Sastra” menjadi sekedar “Fakultas Ilmu Budaya”! “Sastra” sebagai Sains dan Seni bukan saja sudah tidak diakui lagi statusnya oleh mereka-mereka yang justru punya kewajiban akademis untuk membelanya bahkan dijatuhkan statusnya menjadi sekedar “Ilmu Budaya”!
Saya menduga popularitas “Cultural Studies” terutama Cultural Studies versi Amerika Serikat yang membuat hal ini bisa terjadi. Betapa menyedihkan bahwa “Cultural Studies” yang memang tidak mengakui keberadaan Seni itu dianggap lebih relevan bagi kehidupan akademis sebuah negeri Dunia Ketiga Pascakolonial kayak Indonesia ketimbang sebuah “ilmu pengetahuan eksklusif” seperti Sastra! Dunia akademis kita yang sudah “tidak benar-benar akademis” itu mutunya sekarang bahkan menjadi makin tidak akademis lagi dalam konteks pendidikan Sastra perguruan tinggi! Ironisnya, di dunia akademis Barat saja ilmu pengetahuan alias sains “Sastra” masih terus naik gengsinya dan dipelajari secara khusus sebagai sebuah “departemen atau jurusan” di bawah nama “Faculty of Arts”!

*Penyair, cerpenis, eseis, tinggal di Yogyakarta.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi