Ilustrasu : maegansimsece
Iklan terakota

Terakota.idKetika saya dihubungi oleh Ustadz Dr. Abdul Ghofur, M.Pd. dari IAIN Madura yang meminta kesediaan saya untuk berbicara di kampusnya, saya cukup kaget. Dari lima pembicara yang direncanakan, ternyata saya adalah satu-satunya dari perguruan tinggi sekuler, selebihnya adalah para Ketua Program Studi (Kaprodi) Tadris Bahasa Indonesia di empat IAIN, termasuk Ustadz Moch. Hafid Effendy, M.Pd, Kaprodi Tadris Bahasa Indonesia IAIN Madura selaku tuan rumah.

Sekalipun saya seorang Muslim, namun selama ini kajian yang saya angkat lebih banyak berfokus pada sastra Kristiani, yakni pengaruh kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam khasanah sastra Indonesia. Mungkin jika paparan saya kurang memberi harapan kepada panitia penyelenggara, mohon untuk dimaklumi. Namun setidaknya saya berusaha untuk mengisi celah yang masih ada. Atau jika celah itu ternyata telah tertutupi pula, maka izinkan kehadiran saya laksana tahi lalat yang menempel di pipi. Kecil dan hitam, sehingga kontras dengan warna pipi, tetapi mungkin akan menambah manis bagi pemilik pipi tersebut.

Kali ini saya memeroleh kesempatan bertemu dan ngangsu kaweruh langsung kepada para Kyai dan Nyai dari empat perguruan tinggi agama Islam milik pemerintah ini. Kepada Ketua Panitia, Ustadz Abdul Wafi, M.Pd dan Ustadzah Eva Nikmatul Rabbianty, M.Pd selalu Kepala UPT Bahasa IAIN Madura, saya sampaikan banyak terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada saya untuk tampil di panggung para Kyai dan Nyai ini sekaligus diperkenankan menjadi santrinya.

Dalam kesempatan ini saya hanya sekadar menyampaikan pengantar sekilas untuk memantik diskusi dalam forum ini. Problematika yang saya kemukakan diharapkan memeroleh tanggapan dan solusi bersama guna memajukan kebudayaan kita, budaya Indonesia, sebagai warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Contoh-contoh kasus hendaklah muncul dalam diskusi ini, yang saya yakin masing-masing dari kita semua memiliki pengalaman yang berbeda-beda.

Dari banyak pengalaman sebelumnya ketika ngobrol bersama dengan para Kyai dan Nyai di perguruan tinggi yang berbasis agama, saya memeroleh kesan bahwa banyak di antara mereka justru memiliki pemikiran yang lebih terbuka dibandingkan dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari perguruan tinggi sekuler. Semangat multikulturalisme tidak hanya berhenti di slogan, namun benar-benar dikobarkan dalam kehidupan nyata. Toleransi yang secara eksplisit diajarkan oleh Kitab Suci Al-Quran benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya bahkan menemukan ada perguruan tinggi yang berlatar belakang pesantren di Jawa Timur yang mengusung slogan “Kampus untuk Semua,” dan setelah saya amati ternyata bukanlah slogan kosong tanpa makna. Di perguruan tinggi itu malahan terdapat mahasiswa dari kelompok minoritas yang selama ini menjadi bulan-bulanan kaum mayoritas, namun yang bersangkutan justru diberi ruang untuk berekpresi.

Mereka setidaknya diberi kesempatan menulis karya ilmiah tentang pandangan teologis keyakinan yang dianutnya. Di kampus itu, mereka tidak mengalami diskriminasi apa pun, tetapi justru menjadi sumber bagi sejumlah pertanyaan dari mahasiswa sejawatnya dan dosen yang ingin tahu tentang madhab yang dianutnya.

Mencermati gejala semacam ini, saya sangat optimis bahwa kajian sastra yang berbasis multikulturalisme akan tumbuh dan berkembang sangat baik justru di perguruan tinggi agama Islam. Pondok pesantren selama ini adalah salah satu basis pelestarian sastra lisan di Nusantara.

Sumber-sumber sastra lisan yang berkembang di pesantren itu tidak hanya berasal dari agama dan budaya negeri asal agama Islam saja, namun telah mengalami perjumpaan dalam waktu yang cukup lama dengan budaya setempat, bahkan aneka ragam budaya lainnya juga turut memberi warna, sehingga tampil lebih memesona.

Pesantren-pesantren, di Jawa Timur khususnya yang saya tahu, selalu mengedepankan pendidikannya dengan berbasis pada kultur budaya setempat. Alumni pesantren akan dijamin memiliki unggah-ungguh sebagai orang Jawa dan orang Madura yang menjunjung tinggi sopan santun dan penuh toleransi. Unggah-ungguh ketimuran yang selalu dijaga di dalam tubuh pondok pesantren itu sangat selaras dengan ajaran agama.

Pesantren telah menjadi teladan bagi implementasi Islam sebagai rahmatan lil alamin. Jika ada alumni pesantren yang akhirnya terlibat dalam gerakan intoleran atau bahkan menjadi teroris, sebenarnya sangat mencoreng citra pesantren yang selama ini merupakan institusi yang selalu membangun inklusivitas dalam beragama.

Sebagaimana tema yang ditetapkan oleh panitia dalam diskusi ini adalah “Menggali Potensi Kesusasteraan Indonesia” maka berkenaan dengan itu, sampai saat ini saya masih istiqomah untuk selalu mengatakan bahwa tidak relevan jika kita mengontraskan antara lokal dan impor, asli dan tidak asli.

Dalam konteks sastra Indonesia dikotomi tersebut tidak akan pernah menemukan relevansinya, sehingga perbuatan tersebut hanyalah upaya sia-sia belaka. Dibandingkan berbicara tentang lokal dan asing, saya lebih suka bicara tentang dulu dan kini bila menyangkut upaya menggali sastra Indonesia.

Jika kemudian saya berbicara tentang lokal dan asing, maka apa yang menjadi konteksnya adalah persoalan di mana sastra tersebut diciptakan, namun sama sekali tidak hendak merujuk pada budaya apa sastra itu ditulis. Jika kita ingin menggali sastra kita, hendaknya kita tidak terjebak untuk memilah mana yang lokal dan mana yang asing.

Sangat sering ketika kita mengatakan sesuatu itu adalah bernuansa lokal, setelah diselidiki secara mendalam ternyata berasal dari asing juga. Karena kultur yang dimaksud telah hidup dan berkembang cukup lama di wilayah tersebut, maka banyak orang yang menyangka bahwa hal tersebut adalah budaya asli wilayah itu.

Agama-agama besar yang berkembang di Indonesia saja tidak lahir di bumi Nusantara. Kita yang beragama Yahudi, Kristiani, dan Islam, pasti merasa berhutang budi terhadap para nabi yang lahir di Timur Tengah. Begitu pula penganut agama Hindu dan Budha, mereka mewarisi hikmat-hikmat para nabi dan resi yang berasal dari tanah Hindustan.

Setiap agama yang masuk ke Nusantara, sekaligus membawa kebudayaan di mana agama itu lahir, karena para penyebar mula-mula agama itu berasal dari sana. Mereka tidak hanya membawa agamanya ke tanah air kita, namun mereka juga bergumul dengan aneka ragam budaya setempat, dan terjadilah saling asah satu sama lainnya.

Pada zaman kejayaan Hindu-Budha di Nusantara, misalnya, kebudayaan macam apa yang tidak dipengaruhi oleh kedua agama tersebut. Sastra, arsitektur, sistem politik, dan unsur-unsur budaya lainnya, semuanya mendapatkan pengaruh, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Setelah Islam masuk ke wilayah Nusantara dan menjadi agama mayoritas, warisan budaya Hindu-Budha tidak serta merta hanya menjadi peninggalan sejarah dan menjadi sekadar tontonan belaka, namun kemudian mengalami perjumpaan dengan budaya baru dan memeroleh bentunya dalam wadah baru pula.

Bukankah kita mengenal tulisan juga kerena masuknya agama-agama besar itu. Agama-agama di dunia ini yang memeroleh pengikut besar dan menyebar ke seluruh dunia adalah agama-agama yang berasal dari bangsa-bangsa yang telah mengenal tulisan. Banyak teks-teks keagamaan dulunya adalah tuturan lisan yang diwariskan secara turun-temurun.

Begitu bangsa tersebut mengenal tulisan, maka ucapan-ucapan suci tersebut kemudian dituliskan. Penulisannya memerlukan waktu yang cukup lama, dan bahkan ada beberapa versi, karena antara satu orang dengan orang lain memiliki perbedaan dalam kemampuan mengingat, di samping masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda atas tuturan lisan yang berkembang pada masyarakat saat itu.

Dalam perkembangannya tulisan-tulisan yang terkumpul tersebut kemudian dikanonkan. Mereka yang tidak berpegang pada kanon resmi dianggap telah keluar dari lingkaran orang-orang beriman. Dalam perjalanannya, pengucilan dalam kelompok tidak hanya menimpa mereka yang memegang teguh ajaran di luar kanon resmi, namun perbedaan penafsiran terhadap teks-teks kanonik pun menjadi masalah yang besar. Jarak waktu yang makin jauh antara umat dan para nabi/resi membuat penafsiran kian beragam.

Dilihat dari sisi waktu, dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah dan Hindustan, wilayah Nusantara memiliki jarak yang cukup jauh dalam penegenalannya terhadap tulisan. Bangsa Sumeria telah mengenal tulisan sejak 4.000 tahun yang lalu. Tulisan-tulisan yang berkembang di Hindustan juga diperkirakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari penemuan bangsa Sumeria tersebut.

Menengok kembali ke masa lalu, kita akan melihat bahwa apa yang dinamakan dengan sastra adalah identik dengan pedoman hidup, ilmu pengetahuan yang tinggi. Setidaknya hal tersebut bisa kita jumpai manaka kita membaca serat dan kidung yang ditulis pada masa Hindu-Budha.

Pada zaman tertentu kreteria yang dipersyaratkan bagi calon pemimpin adalah penguasaannya terhadap sastra. Raja yang bijak adalah raja yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bersastra. Seorang perempuan juga dikatakan sebagai perempuan mulia jika ia menguasai sastra. Sastra mengemban fungsinya sebagai pedoman hidup.

Dalam masa yang sangat panjang, sastra kita telah menjalin relasi yang harmonis dengan agama. Keduanya tidak pernah dipertentangkan. Sastra Indonesia adalah kuali adukan, yang mengemban tugas sebagai pemelihara pertemuan kebudayaan dari pelbagai arah di muka bumi ini. Pertemuan Barat dan Timur itu membentuk kebudayaan Indonesia.

Manakala orang menonton wayang kulit misalnya, mereka tidak akan memertanyakan tentang muatan kultur Hindu yang ada dalam ceritanya, sekalipun cerita wayang bersumber dari dua kitab yang sangat kental dengan ajaran Hindu, yakni Ramayana dan Mahabharata. Wayang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia yang telah melepaskan konteksnya dari agama tertentu. Wayang telah menjadi milik bersama.

Sebegitu pengaruh Ramayana dan Mahabarata itu telah melekat dalam budaya Nusantara, ketika televisi mengimpor film itu dari negeri asal kedua epos itu, publik menyambutnya dengan sangat antusias. Bintang-bintang film India yang berperan dalam film tersebut mendapat sambutan yang luar biasa di tanah air.

Mengapa warisan sastra lisan kita sedari awal kok tidak banyak yang terdokumentasikan? Salah satunya adalah sekali pun pasca era Nusantara yang belum mengenal tulisan kemudian beralih ke era tulisan, hanya sedikit mereka yang kemudian mengalihkan cerita-cerita lisan itu menjadi tulisan. Dengan demikian kelisanan kita mengalami masa yang sangat panjang, apalagi ditambah dengan budaya kita yang memang masih sangat berorientasi lisan hingga kini.

Orang lebih suka menyimak dibandingkan dengan membaca. Rendahnya minat baca secara otomatis mengakibatkan rendahnya mengekspresikan gagasan melalui tulisan. Ketika kita mengunggah video misalnya, pasti akan memeroleh viewer lebih banyak dibandingkan dengan unggahan artikel kita.

Beberapa roman dan novel yang kemudian diangkat ke layar kaca dulunya hanya populer sebatas judulnya. Contoh kasus, ketika roman Siti Nurbaya disinetronkan, maka mayoritas publik baru tahu jalan ceritanya secara utuh, lantaran ketika di sekolah dulu mereka hanya diajari tentang sinopsis roman tersebut yang dimuat dalam buku paket pelajaran bahasa Indonesia.

Jika kita ingin sastra masih menjadi milik publik seluas-luasnya, maka yang harus kita lakukan adalah menciptakan ruang-ruang bagi tumbuh-kembangnya kajian sastra yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Kajian-kajian terhadap sastra lisan sebenarnya telah marak dilakukan oleh para akademisi sastra, namun demikian hanya bisa dinikmati oleh sesama akademisi saja, lantaran hanya diterbitkan di jurnal ilmiah.

Karya-karya para akademisi itu perlu dinikmati oleh publik yang lebih luas, yakni menerbitkannya di media masa, sekapi pun godaannya adalah pada nilai kredit poinnya sangat rendah jika dibandingkan dengan tulisan di jurnal ilmiah. Kenaikan pangkat itu penting, namun pewarisan nilai-nilai luhur bagi generasi mendatang jauh lebih penting lagi.

 

*Tulisan ini pernah disampaikan sebagai pengantar presentasinya dalam Lecture Talk Series-9 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Senin, 5 April 2021