
Terakota.id—Masyarakat Sumatera Utara mengusulkan Sanusi Pane sebagai pahlawan nasional. Proses pengajuan dimulai dengan Seminar Nasional Mengusung Sanusi Pane sebagai Pahlawan Nasional Sang Penggerak Bahasa Persatuan Indonesia Menengok Kembali Karya Terjemahan Sanusi Pane, 23 Februari 2021. Diselenggarakan Balai bahasa Sumatera Utara.
Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara, Maryanto menyatakan Sanusi Pane merupakan penggerak bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Tokoh nasional dari Sumatera Utaraini pula yang turut menggagas kelahiran Bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926). “Melembagakan bahasa yang baru dilahirkan,” ujar Maryanto dalam sambutannya yang juga disiarkan secara daring.
Sejarawan, Asvi Warman Adam menjelaskan empat aspek yang diusung untuk mengajukan gelar pahlawan nasional bagi Sanusi Pane. Yakni sumpah pemuda 1928, sastra, pendidikan, dan pers. “Pengusulan pahlawan biasanya lebih dari satu tahun,” katanya.
Menariknya, kata Asvi, belum ada adik-kakak yang menjadi pahlawan nasional. Sebelumnya adik kandung Sanusi Pane, Lafran Pane diangkat menjadi pahlawan nasional. Usulan diajukan dari Yogyakarta 2017.Lafran Pane merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sedangkan Sanusi Pane bergiat di bidang bahasa dan sastra. Sastrawan lain yang telah menyandang gelar pahlawan nasional antaranya Abdul Muis (1959), Muhamad Yamin (1973), Amir Hamzah (1975), Raja Ali Haji (2004). “Kongres Pemuda 1926 (pertama), Sanusi Pane menjadi pembantu umum. Salah satu anggota perumus selain M. Tabrani, Yamin, Jamaludin,” ujarnya.
Bahasa Indonesia menggantikan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia. Namun, ikrar belum disampaikan hingga akhir kongres. Sedangkan kiprah Sanusi Pane lainnya, pada Kongres Bahasa Indonesia 1938 yakni mengusulkan Institut Bahasa Indonesia dan Perguruan Tinggi Kesusasteraan. Tujuannya untuk melembagakan pengembangan bahasa Indonesia.
Selain itu Sanusi Pane menerjemahkan Ardjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa, terjemahan Dr Purbatjaraka dimuat di BKI pada 1926. Sanusi Pane juga menulis buku sejarah.

Sastrawan dan budayawan Abdul Hadi W. M. menganggap Sanusi Pane adalah tokoh teras sastrawan angkatan Pujangga Baru. Orientasi budaya dan sastra Sanusi Pane cendrungan sufisik atau mistal. Karya sufisik dibuat berdasar pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mencari kebenaran atau jalan tasawuf (cinta Tuhan).
“Pemahaman dan penafsiran diungkap dengan estetik sastra. Sajak ”Mencari” karya Sanusi Pane berisi tentang pencarian hakekat diri batin manusia,” katanya
Pujangga baru lahir pada 1930. Gerakan sastra era ini mendapatkan ilham dari romantisme Eropa dan sastra sufi atau mistikal Timur. Tokoh utamanya Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Armijn Pane.
Di Indonesia, gerakan romantik muncul bersama bangkitnya semangat kebangsaan dan kebudayaan Barat dan Timur. Barat modern, individualistis. Kebudayaan Timur nan religius dan spiritualistis. Kebudayaan Timur dan Barat nampak dalam karya dua penulis Pujangga Baru terkemuka, Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Keduanya berbeda pandangan, Sanusi Pane mengarah pada kebudayaan Timur.
Menelusur Jejak Sastra Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi Mandailing, 14 November 1905. Menggunakan kosakata Bahasa Indonesia dalam karya-karpendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan Sumatera Utara. Melanjutkan di MULO Padang dan Jakarta tahun 1922. Kemudian di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, selesai 1925. Sempat berkuliah di Rechtshogechool. 1929-1930 ke India, mempengaruhi pandangan kesusasteraannya.
Sanusi Pane menjadi guru di beberapa sekolah, Kweekschool Gunung Sahari di Jakarta, HIK Lembang, HIK Gebermemen Bandung, dan Sekolah Menengah Perguruan Rakyat Jakarta. Mulai 1931 hingga 1933 bergabung dengan redaksi majalah TImbul. Pada 1936 ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu Kebangunan di Jakarta. Tahun 1941 menjadi redaktur Balai Pustaka.
Beberapa ciptaan puisinya di antaranya, Pancaran Cinta (1926), Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927), Kumpulan Sajak (1927), Madah Kelana (1931). Ia juga mencipta naskah drama, Airlangga (berbahasa Belanda, 1928), Eenzame Garoedavlucht (Berbahasa Belanda, 1929), Kertajaya (1932), Sandhyakala Ning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940).
Menulis karya sejarah, di anataranya Sejarah Indonesia (1942), Bunga Rampai dari Hikayat Lama (1946), Indonesia Sepanjang Masa (1952). Sanusi Pane juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha Karya Mpu Purwa.
Pembina Komunitas Jawa Kuno Sutasoma Aang Pmbudi Nugroho menelaah terjemahan Sanusi Pane di naskah Arjuna Wiwaha. Sanusi Pane melakukan terjemahan etnografik. “Menerjemahkan dengan mempertahankan esensi dalam bentuk puisi dari aslinya berbahasa Jawa Kuno ke Bahasa Indonesia,” ujar Aang.
Terdapat 208 perbedaan naskah asli dengan karya terjemahan Sanusi Pane. Namun menurut Aang, Sanusi Pane tak mengubah substansi ceritanya.
