
Terakota.id–Proses kreatif seniman Wing Sentot Wirawan, 53 tahun, berbeda dari seniman lainnya. Ide dan gagasan dalam bermusik dan teater ditempa di alam, melalui bersepeda keliling seluruh Negara di Asia Tenggara. Sejak bersepeda dari Mataram 6 Januari 2012, ia melihat alam, lingkungan dan geliat sosial. Terutama mengenai isu lingkungan hidup.
“Melalui perjalanan, dan berpetualang ini saya belajar mengelola ego,” kata seniman yang akrab disapa Wingsan. Dengan bersepeda ia berinteraksi dengan komunitas, masyarakat adat, dan lingkungan secara langsung. Sepanjang perjalanan ia merenung dan berproses.
Sepanjang perjalanan ia melihat keindahan alam, rindangnya pepohonan, menemukan buah-buahan. Melihat satwa seperti burung hantu, gagak dan bangau. Sekaligus melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Saat perjalanan dari Toraja ke Palu, ia menahan sakit perut. Sampai menjumpai sebuah sungai. Air bening mengalir. Tak tahan, ia buang air di sungai. “Tiba-tiba ada anak-anak SD berbaju pramuka melempari saya dengan batu. Mereka tertawa,” katanya.
Kejadian itu memicunaya menciptakan sebuah lagu berjudul V. Ide baginya adalah sebuah siklus yang terus berulang. Sehingga proses kreatif berjalan dan mengalir dengan membaca fenomena alam yang ada. “Sementara esensi di depan mata sering diabaikan,” ujarnya.

Di perjalanan, katanya, ia menemui sawah yang terhampar padi yang mulai menguning. Rumpuk padi seperti berombak, disapu angin. Saat pagi hari, embun menempel di ujung daun tanaman padi seperti bulan. Wingsan teringat dewi sri.
“Lahirlah lagu berjudul menarilah sri,” kata Wingsan. Bermusik baginya merupakan usahanya mengingat Tuhan. Musik pada zaman dulu, katanya, tak difungsikan untuk kepentingan ekonomi. Mencari keuntungan. Tetapi secara kodrati. Seperti saat panen, para petani bersuka cita dengan menari, dan memukul alat bertani.
“Itu merupakan bagian penghormatan terhadap tanaman, alam, Tuhan. Sebagai ungkapan terima kasih.” Seperti pohon, katanya, yang telah memberi bunga rampai untuk terina kasih telah memberi kesejukan.
“Fungsi beralih untuk ekonomi. Kebudayaan mengalami pergeseran,” katanya.
Bagi Wingsan hidupnya terus mengalir begitu saja. Seperti aktivitasnya berkesenian dan bersepeda juga muncul begitu saja. Saat bertemu temannya bernama Arif yang tengah bersepeda ke Bandung pada 2006. Ia menantang Arif untuk mengayuh sepeda ke Aceh.
Lantas ia memodifikasi sebuah sepeda klasik atau sepeda kebo, yang bagian belakang sebelah kanan dan kiri ditempel tas sekolah. Awalnya, mereka berdua bersepeda namun Arif batal tak melanjutkan perjalanan. Sementara Wingsan berhasil mencapai titik nol Indonesia di Aceh.
Sekembalinya dari Aceh, ia bercita-cita untuk meneruskan perjalanan ke Papua. Sehingga dibutuhkan sepeda yang cocok untuk perjalanan jauh. Lantas bekas SMP di Lombok Timur ini membuat proposal ke Dinas Perhubungan setempat untuk perjalanan bersepeda ke Merauke.

Wingsan menerima uang tunai Rp 2,5 juta untuk membeli sepeda gunung dan peralatan dan perlengkapan selama perjalanan. Beli sepeda. Sepanjang perjalanan ia berkomunikasi dengan para aktivis lingkungan hidup. “Saya selalu mampir ke Kantor Walhi di seluruh Indonesia.”
Musisi yang juga pecinta alam ini juga menyuarakan isu tambang dan kerusakan lingkungan. Mengenai eksploitasi sumber daya alam, katanya, tujuan awalnya untuk memuliakan manusia. Semua hasil alam semesta digunakan untuk kepentingan manusia. Namun, ternyata alam semesta tak diberdayakan. Bahkan kadang melampaui ambang batas.
“Sehingga tak seimbang. Alam itu esensinya keseimbangan.” Semua bahan mineral yang ditambang harus disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Agar ada keseimbangan. Semua dikelola secara seimbang, ujarnya, agar alam tak terganggu. Tambang apakah dihentikan atau tidak? Tergantung senyampang untuk hajat hidup orang banyak dan terjaga keseimbangan.
“Harus dikelola agar keseimbangan tak terganggu. Jangan demi kepuasan, kepuasan siapa?” Selama ini Wingsan mendukung kampanye lingkungan terutama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Lagu yang diciptakannya dituangkan dalam album berjudul Tabebuya. Tabebuya, katanya, merupakan pohon pelindung asal Brazil yang menjadi pohon pelindung di jalan. “Bunganya mirip sakura,” katanya.
Selain itu, Tabe merupakan salam untuk menyapa orang di jalan. Sedangkan Buya bagi masyarakat Minang merupakan sebutan untuk orang ahli agama. Lagu-lagu yang diciptakannya merupakan pesan untuk lingkungan dan memahami sirkulasi hidup.
Kini, ia tengah merancang untuk melanjutkan perjalanan ke Australia. Namun lantaran biaya hidup di Australia mahal dan banyak kendala yang harus dihadapi. Seperti sepanjang jalan sulit air bersih dan banyak lalat. Sehingga ia memutuskan untuk bersepeda ke daratan Eropa.
“Orang Australia juga asal usulnya dari Eropa,” katanya.

Jalan, baca dan makan