Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 karya Johan Fabricius. (Foto : komunitasbambu)
Iklan terakota

Terakota.idJohan Fabricius (lahir di Bandung, 1899 dan meninggal di Jerman pada 1981) adalah seorang penulis, jurnalis, dan pengelana berkebangsaan Belanda. Dia menulis De Zwaluwen van Klappanoenggal (1979) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 (terbit pada 2008).

Mayor Jantje, tokoh utamanya, adalah keturunan Mardijkers yang kaya-raya. Kaum Mardijkers sendiri, menurut Wikipedia, adalah kelompok bekas budak atau tawanan perang asal Asia dan Afrika yang dibebaskan, setelah mereka memenuhi syarat-syarat tertentu, tentu saja, di Hindia Belanda. Kebanyakan kaum Mardijkers tinggal di seputaran Batavia, dan sebagian di Ambon, Maluku.

Mayor Jantje merupakan novel biografis dari seorang tokoh yang hidup pada akhir abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19. Gelar Mayor yang disandangnya tidak memberi pemiliknya kuasa militer, karena gelar itu sebatas simbol kultural dan historis. Di masa lalu, nenek moyang Mayor Jantje dan kaum Mardijkers memang merupakan kaum pejuang dan prajurit tangguh (menjadi semacam tentara bayaran pemerintah Hindia Belanda), tetapi pada masa-masa sesudahnya kedudukan militer itu lebih merupakan atribut pertunjukan dan budaya.

Berbagai parade dan arak-arakan diselenggarakan untuk mempertontonkan sisa-sisa kejayaan mereka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan senjata mereka. Mungkin agak mirip dengan parade prajurit di kraton Yogyakarta pada waktu gerebeg. Namun, mereka telah “dikandangkan”, terlepas dari fakta bahwa pemerintah kolonial tetap membolehkan mereka untuk ‘menyandang’ atribut-atribut militer titular mereka.

Bergeser ke ekonomi

Menyadari kemerosotan di bidang militer tersebut, bergeserlah kaum Mardijkers kepada bidang ekonomi. Mayor Jantje, seperti halnya kaum Mardijkers lain yang telah kehilangan kekuasaan militer mereka yang praktis, berusaha merambah bidang lain itu dan dia berhasil menguasai sumber-sumber alam yang memberinya kekuasaan dan kekayaan ekonomis.

Jantje membeli dan memiliki tanah luas yang kaya di Citrap dan Cipanas serta sumber kekayaan yang seolah menjadi tambang emas tiada habis baginya dan keluarganya, yaitu Klappanunggal. Yang disebut terakhir ini menghasilkan sarang burung walet yang menjadikannya orang terkaya di Batavia pada abad ke-19.

Kekayaan yang ditumpuknya bahkan membuat gaji para pegawai kolonial, termasuk gaji pegawai-pegawai yang berdarah totok sekalipun tampak seperti gurem berhadapan dengan gajah. Dengan kekayaannya yang seolah tanpa batas itu, Mayor Jantje mampu menggelar pesta-pesta seronok setiap akhir pekan dan membiayai karyawan dan membeli budak dalam jumlah yang menjadikannya bak raja setempat.

Rumah tinggalnya di Citrap, dengan vila-vila yang pintunya selalu terbuka bagi siapa saja, senantiasa semarak dengan pesta, dansa, minuman dan makanan lezat, serta gelak tawa. Juga oleh meriahnya tanjidor dan riuhnya gerak penari-penari yang erotis.

Namun demikian, kehidupan pribadi Mayor Jantje, khususnya di hari tuanya, tidak terlihat seindah pencapaian ekonominya. Dia menikah setidaknya dua kali dengan hanya memiliki satu putri dan beberapa anak angkat. Setelah sang istri yang amat dicintainya meninggal dunia, di usia tuanya, dia sempat jatuh hati pada seorang gadis yang adalah putri dari seorang pegawai kolonial yang jeratan utangnya ia bantu angkat.

Gadis tersebut sepantaran dengan putrinya sendiri. Sayangnya, gadis itu tidak membalas kasihnya dan itu membuat Sang Mayor patah hati untuk yang penghabisan kalinya. Kemalangan besar yang menimpanya sesudahnya dalam rupa bunuh diri dari ayah sang gadis tersebut di vila Sang Mayor semakin membebani hari-hari tua nan sepi Mayor Jantje. Dia lantas memilih untuk menghabiskan hari-harinya yang sepi di kamarnya sambil mengisap madat dan terbuai dalam kemabukan. Dan olehnya, Mayor Jantje pun terseret pada kematian.

Premis-premis fundamental Marxisme dan yang dilanggar oleh Mayor Jantje

Penguasaan atas sumber-sumber ekonomi oleh Mayor Jantje sekilas tampak sebagai sebuah contoh yang amat pas dari bagaimana orang mempraktikkan premis-premis dasar Marxisme. Sebagai sebuah sistem berpikir, Marxisme menyatakan bahwa kekuatan nyata yang mendasari pengalaman manusia dan membangun struktur masyarakat manusia adalah sistem-sistem ekonomi.

Bagi Marxisme klasik, merebut dan mempertahankan kekuasaan ekonomi merupakan motif di balik semua aktivitas sosial dan politis, termasuk di dalamnya pendidikan, filsafat, agama, pemerintahan, seni, ilmu pengetahuan, teknologi, serta media. Ekstremnya, tidak peduli seberapa tinggi pendidikan anda, seberapa dalam pemahaman filsafat anda, atau sensitivitas seni anda, atau kesalehan religius anda, atau apa pun, kalau anda tidak mempunyai uang dan kedudukan yang membuat uang tertarik dan berkumpul di bawah telapak anda, anda sebenarnya tidak begitu berharga.

Ekonomi adalah basis yang di atasnya suprastruktur realitas sosial/politik/ideologis dibangun. Kekuatan ekonomi, karenanya, selalu mencakup kekuatan sosial dan politis pula. Itulah mengapa banyak kaum Marxis dewasa ini menyebut-nyebut soal kelas sosioekonomi, alih-alih kelas ekonomi, ketika berbicara mengenai struktur kelas (Tyson 2006, hlm. 53-4).

Penguasaan dan kejayaan ekonomi, demikian tesis Karl Marx, meskipun terdengar sangat reduksionis dan simplisistik serta telah direvisi oleh para pemikir Marxis dari masa kemudian seperti Gramsci atau Jameson adalah determinan modal sosial, yang membuat seseorang berkedudukan dan dihormati dan pada gilirannya mendatangkan lebih banyak uang atau kekayaan ekonomis.

Sayangnya, atau untungnya, seperti dikoreksi oleh para pemikir Marxis dari masa yang lebih belakangan, kelas sosial tidak semata-mata ditentukan oleh faktor penguasaan ekonomi. Ada faktor politis, faktor budaya, dan bahkan faktor historis dan usia. ‘Hanya’ ketika faktor-faktor tersebut secara ‘positif’ berkorelasi, saling mendukung, barulah pemiliknya menjadi pemenang mutlak dari sebuah kontestasi sosial.

Dengan kata lain, menjadi kaya secara ekonomis, tetapi ‘miskin’ secara historis dan politis, ditambah sudah berusia tua dan sakit-sakitan atau memiliki gangguan kepribadian megalomaniak, seperti diidap oleh Mayor Jantje, sungguh bukan sesuatu yang membuat seseorang beruntung; meski juga tidak lantas menjadikannya semalang seorang yang miskin, tak berkuasa, tua, penyakitan, dst. Mayor Jantje memang menduduki posisi sosial tinggi karena kekuatan ekonominya, tetapi dia toh tetap tidak mampu menundukkan hati gadis pujaannya. Dia ‘menang’ karena kekayaannya, tetapi itu bukan kemenangan yang mutlak.

Kasus Mayor Jantje adalah sebuah contoh yang tipikal dari patahnya sebuah teori yang berpretensi menjelaskan totalitas pengalaman manusia. Jantje memang kaya-raya, murah hati, dan royal, tetapi pada waktu yang sama dia “hanyalah” seorang mayor dalam tataran simbolis dan kultural, dan juga dia sudah lanjut usia dan tidak segagah dulu lagi. Karena faktor-faktor yang terakhir Inilah, penguasaan ekonomi belaka tidak membuatnya mampu menaklukkan hati gadis muda pujaannya, misalnya. Dengan agak simplisistis bisa dikatakan, premis dasar Marxisme patah.