
Oleh: Sugeng Winarno *
Terakota.id–Saya saksikan aksi sosok berpengaruh itu di Youtube. Di Intagram wajahnya juga super familiar. Hampir setiap hari sang sosok berpengaruh itu mengunggah videonya. Mereka menyebut dirinya sebagai pembuat konten video blog atau biasa disebur Vlogger. Ada juga yang menyebut para sosok dengan penggemar sangat banyak ini dengan julukan Youtuber. Ada pula yang menamainya sebagai pembuat konten (content creator) media sosial (medsos).
Kaum berpengaruh dengan jumlah pengikut (follower) jutaan ini memang luar biasa. Lewat video yang diunggahnya, jumlah penonton dan subscriber videonya bisa mencapai puluhan juta orang. Bahkan tak jarang diantara para pengikutnya itu selalu menunggu-nunggu video baru yang dibuat oleh para idola mereka itu. Para follower tak sekadar memberi tanda jempol sebagai tanda suka, namun beragam komentar bernada pujian juga ditulis sang pengikut.
Awalnya, sang sosok idola itu bukan siapa-siapa. Dia bukan orang terkenal, juga bukan orang yang punya power. Berkat unggahan video kreatif yang dibuatnya di medsos, tiba-tiba orang biasa itu menjadi sosok terkenal, digandrungi banyak penggemar dan jadi orang yang berpengaruh. Para Vlogger, Youtuber, atau content creator itu kini telah jadi orang berpengaruh (influencer).
Influencer Gaya Baru
Saat ini, untuk menjadi orang yang berpengaruh tak harus orang yang pandai atau kaya. Seorang berpengaruh zaman sekarang tak mesti seorang profesor, seorang ulama, ustad, kiai, atau pemimpin pondok pesantren atau sekolah dengan jumlah siswa yang banyak. Untuk menjadi influencer tak perlu lagi harus orang yang tua secara usia dan pengalaman. Influencer gaya baru bisa siapa saja, dari kalangan mana saja, dan berusia berapapun.
Kalau zaman dulu orang mengenal Kiai Haji Zainudin MZ, yang terkenal sebagai da’i sejuta umat. Kisaran jumlah pengikutnya dalam hitungan juta. Untuk sampai pada titik itu, sang kiai merintisnya dalam waktu yang tak singkat. Lewat ceramah di masjid dan kelompok-kelompok pengajian kecil dijalani sang ustad sebelum jadi terkenal. Sang ustad menempuh jalan ceramah konvensional dari majelis taklim yang satu ke yang lain, sebelum akhirnya bisa terkenal dan bisa ceramah di radio dan televisi.
Begitu rumit dan panjangnya proses untuk menjadi orang yang punya pengaruh, jadi idola, dan mampu digandrungi banyak orang. Cara-cara yang ditempuh orang berpengaruh zaman dulu kini berlaku. Untuk jadi orang dengan pengikut jutaan tak perlu waktu yang lama. Tak perlu pula punya ilmu agama, atau ilmu umum dan kemampuan akademik yang tinggi. Sang influencer gaya baru cukup dengan memanfaatkan keperkasaan teknologi internet dan medsos.
Tom Nichols (2017) dalam bukunya yang berjudul “The Death of Expertise” atau sudah diterjemahkan menjadi “Matinya Kepakaran” menyatakan bahwa sekarang adalah masa dimana tak ada lagi sang pakar. Kenapa begitu? Karena saat ini semua orang bisa jadi pakar, bisa jadi ahli dalam waktu singkat. Hal ini terjadi karena beragam ilmu pengetahuan telah tersedia di internet. Ketika orang ingin mencari informasi atau pengetahuan tertentu, orang larinya ke Google. “Mbah Google” menjadi jawaban atas segala ketidaktahuan.
Padahal tak semua yang tersaji di internet dapat dipercaya. Tak semua informasi dan pengetahuan di dunia maya itu dapat dipercaya. Tom Nichol menyebut bahwa 90 persen semua hal yang tersaji di dunia maya adalah sampah. Orang bebas mengunggah apapun di internet sehingga ruang publik dibanjiri dengan informasi tak penting dan dari pemikiran setengah matang.
Akurasi dan kredibilitas informasi dan pengetahuan di internet dipertanyakan. Kalau para influencer dunia maya itu banyak merujuk internet, maka kredibilitas dan akurasi para influencer tersebut juga tak cukup bisa dipertanggungjawabkan. Karena bisa saja sesuatu yang disampaikan dan dicontohkan sang influencer kepada para pengemarnya belum tentu sesuatu yang benar dan layak untuk diikuti. Disinilah bahayanya.
Pesan Untuk Para Influencer
Pengaruh sang influencer memang besar. Mereka sangat perkasa memengaruhi followers atau subscriber-nya. Mereka menjadi semacam role model dalam banyak hal bagi pengikutnya. Mereka jadi rujukan dan panutan walau aslinya mereka bukan kiai, ulama, guru, atau orang tua mereka. Kemampuan sang influencer untuk menyuntikkan apa saja pada penggemarnya sangat besar.
Mengingat begitu powerfull-nya sang influencer, maka perlu tanggungjawab moral bagi mereka untuk tak gampang menularkan sesuatu yang buruk. Segala konten yang diunggah sang influencer harus dipikirkan akan dampak negatif dan positifnya. Seperti layaknya orang berpengaruh di dunia nyata, para influencer dunia maya ini sangat perkasa menjadi panutan, terutama bagi kaum muda atau generasi milenial.
Seorang influencer seperti Atta Halilintar atau Ria Ricis pengaruhnya sangat luas. Atta dan Ricis bahkan telah dinobatkan sebagai orang berpengaruh se-Asia dengan jumlah subscriber lebih 12 juta untuk Atta dan lebih 11 juta untuk Ricis. Dua sosok influencer tanah air ini tak hanya jadi orang berpengaruh bagi remaja Indonesia namun juga para milenial se-Asia. Apapun yang dilakukan sang influencer tak jarang jadi panutan dan jadi trending di kalangan penggemarnya.
Melalui unggahan video dan konten kreatifnya, sang influencer juga dapat meraup uang ratusan juta. Hingga tak heran kalau tak sedikit orang berusaha jadi layaknya sang influencer kenamaan. Sehingga saat ini menjadi Vlogger, Youtuber, atau Conten Creator adalah impian banyak remaja. Namun sayang, tak semua yang mendadak jadi influencer itu mampu menyajikan konten yang bagus yang bermanfaat bagi para viewers-nya.
Negeri ini memang butuh orang-orang kreatif dalam segala bidang. Lahirnya internet telah memasilitasi lahirnya para kreator dan inovator. Lewat sentuhan internet dan medsos juga melahirkan para influencer. Sosok berpengaruh gaya baru yang mampu jadi panutan banyak orang ini sangat mungkin mampu merubah keadaan. Maka, segala hal kebaikan untuk membuat negeri ini lebih bagus juga jadi tanggungjawab para influencer dunia maya, seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang berpengaruh di alam nyata.

*) Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang