Sandi dan Surat Cinta dari Seorang Ayah

Iklan terakota

Terakota.id–Masih ingat Sandi? Anak kecil yang sempat jadi buah bibir beberapa tahun lalu. video yang merekam kelihaiannya merokok, kefasihannya mengumpat dan berbicara jorok dibagikan dan ditonton banyak orang. Sungguh dia anak yang lucu. Suaranya menggemaskan. Tubuhnya gendut. Pipinya mengembang mirip bakpao. Sebentar, Sandi yang saya maksud di sini bukan Sandiaga Uno, calon wakil presiden yang mendampingi Pak Prabowo. Kalau dia sih bukan lagi lucu dan menggemaskan, tapi, ah biarlah.

Saya tidak tahu bagaimana kabar Sandi kecil saat ini. Semoga ia bahagia dan ceria bermain bersama sebayanya. Dan kelak tidak berubah wujud menjadi cebong atau kampret. Jangan sampai lingkungan dan orang dewasa yang tak bertanggung jawab menghempaskannya dalam musibah untuk kedua kali.  Bagaimana tidak, masa balitanya dulu telah dirusak dengan mencekokkan tabiat-tabiat ganjil yang sedikitpun tak cocok bagi anak seusianya.

Sandi tak salah. Ia bahkan tidak benar-benar mengerti apa yang diucapkan dan dilakukan. Sandi adalah korban. Ia hanya menirukan begitu saja apa yang sudah diajarkan oleh lingkungannya. Tentu Anda tahu, anak-anak adalah peniru yang baik. Meski tak bersalah, Sandi harus menanggungnya. Ia harus menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Saiful Anwar. Di beberapa tulisan dan video ia bahkan dijuluki balita bejat, Sandi wedhus, preman balita, dan julukan minor lainnya.

Sangat mungkin masih banyak lagi balita yang menderita “lingkungan tak sehat” di luar Sandi. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang kerap disebut: anak setan, anak iblis, atau anak nakal. Kalaupun tidak disebut begitu, mereka biasanya dikatakan dewasa belum waktunya. Padahal, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, atau bahkan kita sendiri lah yang telah berkontribusi membuat mereka seperti itu.

Mereka akrab menonton Cintaku Tumbuh di Kandang Wedhus dibanding tontonan bermutu khas anak-anak. Kita lebih sering mengajarkan lagu cucak rowo dowo manuke tinimbang lagu anak-anak kepada mereka. Mereka juga lebih akrab mendengarkan Bojo Ketikung dibanding Balonku Ada Lima.

Saya pernah memperhatikan seorang anak kecil bersama ibunya di kereta dari Semarang menuju Surabaya. Tempat duduk kami bersebelahan. Mata kecil itu lekat memandang layar gawai yang disangga kedua tangannya. Dari bibir mungilnya, bait-bait lagu dangdut koplo mengalun. Beradu dengan detak-detak roda kereta. Berulang kali tangan ibunya mengelus kepalanya. Bangga. Sembari sesekali menimpali lagu yang dinyanyikan anaknya.

Kurang lebih pemandangan seperti itulah yang dimaksud Iksan Skuter, solois asal Malang. Ia pernah mengutarakan kegelisahannya dalam satu obrolan di kedai kopinya. Iksan mengeluhkan dunia musik anak-anak yang dijajah lagu-lagu orang dewasa. Menurutnya, miris melihat anak-anak lebih fasih melantunkan lagu orang dewasa daripada lagu anak-anak.


Lagu ciptaan Iksan Skuter berjudul di bawah langit yang sama (soundtrack film animasi Boboiboy)

Padahal secara psikologis, belum tentu lirik lagu orang dewasa itu sesuai dengan pekembangan alam pikir seorang anak. Tapi sebagai musisi Iksan tidak tinggal diam dan berhenti sebatas menggerutu mirip politisi senayan. Iksan menciptakan lagu khusus dipersembahkan untuk anak-anak. Ia telah merilisnya: Album “Kecil itu Indah” (berisi 8 lagu anak); lagu Di Bawah Langit yang Sama (mengisi lagu film animasi, BoboiBoy); dan musik klip berjudul “Terima Kasih Petani.”

Sebenarnya, Saya kembali ingat Sandi setelah rampung membaca surat cinta seorang bapak kepada putrinya. Lebih tepatnya surat-surat yang dibukukan dan berjudul “Love Letters from a Father”. Hamid Basyaib menuliskannya sebagai hadiah ulang tahun ke-10 putrinya, Alma Shopia.

24 Cerita untuk Gadis Cilik

Buku yang terbit tahun 2018 ini, berisi 24 cerita yang menarik disertai ilustrasi yang ramah terhadap dunia anak. Anak-anak perlu dihidupi dengan bacaan. Kreatifitas dan imajinasi mereka butuh disirami dengan cerita-cerita yang bermutu. Agar kelak mereka tumbuh menjadi pribadi yang tak mudah dibodohi dan membodohi.

Melalui buku ini, seolah Hamid Basyaib sedang memberi wejangan kepada putrinya. Tidak dengan cara membentak-bentak atau menghukumnya. Namun, dengan menyuguhkan 24 cerita yang memuat beragam pesan. Tentu ini cara yang bagus. Saya berharap suatu saat bisa menirunya.

Dalam cerita Joy, Ikan, dan Flamingo yang diadaptasi dari cerita A Joy Story, film animasi yang memenangkan hadiah Oscar 2017, Hamid Basyaib mengajak Alma memikirkan betapa pentingnya tolong menolong. Joy adalah seeokor anjing yang dibawa Pak Endut memancing. Tanpa sepengetahuan Pak Endut, ia memberikan cacing-cacing umpan kepada flamingo yang sedang mencarikan makan tiga anaknya yang masih kecil. Flamingo itu pun membalas kebaikan Joy. Ia terbang membawa ikan-ikan dengan mulutnya dan menjatuhkannya di perahu Joy.

Kelompok burung flamengo tengah memburu ikan di pantai. ( Foto sun-sentinel.com),

Hamid Basyaib juga menghadirkan kisah seorang anak yang punya andil luar biasa bagi dunia literasi. Anak itu bernama Maria Keller, ia berasal dari Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat. Ia seorang kutu buku yang mendapati bahwa tidak semua anak di tempat-tempat lain bisa membaca buku seperti dirinya. Meskipun anak-anak itu ingin dan suka membaca. Kesenjangan akses terhadap bacaan ini mendorong Maria Keller, ketika itu masih berusia 8 tahun, untuk berbuat lebih kepada anak-anak lain.

Dengan dibantu ibunya, gadis kecil itu kemudian mendirikan organisasi amal, Read Indeed. Organisasi itu mengumpulkan buku-buku dan menyalurkannya lagi. Tidak sampai 10 tahun, Maria telah berhasil menyalurkan satu juta buku. Kini, organisasi yang lahir dari kegelisahan seorang gadis kecil itu telah membesar dan telah menyalurkan lebih dari dua juta buku ke 45 negara bagian di Amerika dan 16 negara asing. Maria sendiri sekarang sudah menjadi mahasiswa. Sedang organisasinya terus berkembang dan dipasrahkan kepada adiknya.

Selain kedua cerita tersebut, masih terdapat 22 cerita lain yang tak kalah menginspirasi. Kita pasti tidak asing dengan nama J. K. Rowling yang sukses menulis serial Harry Potter. Dalam buku ini, Hamid Basyaib menghadirkan kerja keras dan kegagalan seorang J. K Rowling sebelum akhirnya berhasil mencapai kesuksesan.

Siapa sangka Harry Potter yang laris manis: berkali-kali cetak ulang di berbagai negara dan difilmkan, awalnya ditolak dan tidak diminati. Pun, siapa sangka kelahiran serial Harry Potter mirip seperti sinetron: Lahir dari seorang janda miskin (nyaris tak punya uang) dengan seorang bayi, dan hanya mampu membeli secangkir kopi sebagai teman menuliskan Harry Potter di kedai kopi seberang tempat tinggalnya.

Anak-anak butuh lebih banyak lagi bacaan semacam ini. Alma Shopia beruntung punya ayah yang peduli akan bacaan anaknya. Ayah yang mampu menarasikan dan mengemas secara bagus pikiran-pikiran yang hendak ia dialogkan dengan gadis usia 10 tahun. Ayah yang mengenal alam pikir anak-anak sehingga tidak asal mencekokkan sesuatu ke dalam dunia anaknya.

Namun, tak semua anak dalam situasi dan kondisi seberuntung Alma, berasal dari keluarga berkecukupan dan berada di lingkungan yang memeluknya. Banyak anak-anak lebih mirip dengan apa yang pernah dialami oleh Sandi. Bahkan mungkin lebih parah. Mereka dipaksa turut menanggung kesenjangan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan tentu juga kesenjangan pengetahuan.

Tak jarang mereka berasal dari masyarakat yang dikalahkan dan dimarjinalkan. Dan ironisnya, dalam kondisi tak setara seperti itu, mereka pada akhirnya akan diajak berkompetisi atas nama kebebasan dan keterbukaan. Bukan kah itu sebenar-benar kedunguan?

Selamat Membaca.