Aneka jenis kriya bunga berbahan diapers bekas produksi Cantuka Kreatif. (Foto : dokumen Yuanita)
Iklan terakota

Terakota.id-Rumah Yunita Lestari Ningsih warga Ikan Tombro Tunjung Sekar, Lowokwaru, Kota Malang asri. Dinding rumah menempel media tanam untuk vertical garden atau taman vertikal. Aneka jenis tanaman hias, mempercantik rumah. Siapa sangka jika media tanam, taman vertikal tersebut berasal dari popok sekali pakai atau sampah diapers.

Yunita mendaur ulang diapers terpicu pengalaman pribadi sejak sembilan tahun silam. Sepekan setelah memiliki momongan, seorang pemilik tanah kosong di samping rumah protes. Lantaran tanah dipenuhi bekas diapers. Menggunung hingga sekitar dua gerobak. Tanah tersebut digali untuk ditanami pisang.

“Nak, jangan buang popok di sini. Akan ditanam pisang,” kata Yunita menirukan pemilik lahan. Sementara Yunita tak pernah membuang popok di samping lahan kosong. Dia teringat, saudaranya di belakang rumah punya anak usia 12 tahun. Dulu, popok bekas ditanam di lahan kosong tersebut. “Ternyata ditimbun bertahun-tahun, diapers tak hancur,” katanya.

Sementara sungai yang terletak sejauh 300-an meter dari rumah, juga ditemukan tumpukan diapers. Menggunung. Akhirnya, saban hari ia mencuci dan menyimpan diapers bekas pakai. Yunita memutar otak agar sampah diapers bisa bermanfaat. Akhirnya, muncul ide mengkreasikan diapers jadi aneka bunga. Kreasinya menghasilkan 26 jenis bunga. Kini, dia fokus mengolah diapers jadi aneka barang kreasi bernilai seni.

Proses pembuatan pot dan vas bunga berbahan diapers bekas produksi Cantuka Kreatif. (Foto : dokumen Yuanita)

Setiap bayi per hari, kaatanya, menghabiskan dua sampai tiga diapers. Balita menggunakan diapers sampai usia 3-5 tahun. Diapers dipilih karena praktis, tapi tidak memikirkan dampak terhadap lingkungan. Ia mengajak kader lingkungan mengumpulkan bekas diapers, setiap potong dibeli seharga Rp 200-Rp 300. Hasil penjualan ditabung, rata-rata setiap nasabah mengumpulkan Rp 700 ribu sampai Rp1,2 juta per tahun.

Setiap pekan Yunita mengumpulkan sekitar 4 ribu potong diapers bekas. Kemampuan mengolah sekitar 300 potong per hari. Bahan baku terus menumpuk. Caranya mudah, diapers dicuci bersih dari kotoran, direndam air dan ditergen, gel keluarkan, lantas dibilas dengan air mengalir agar bersih. Lalu rendam dengan desinfektan.

Sedangkan gel bisa menjadi media tanam bunga atau tanaman hias atau diolah menjadi bubur kertas dengan digodok selama tiga jam. Setelah menjadi bubur kertas, bisa dimanfaatkan menjadi aneka kerajinan.

Lapisan diapers berlembar-lembar disetrika hingga jadi lembaran sesuai kebutuhan. Kini, lembaran diapers ini bisa jadi aneka jenis bunga. Sedangkan, untuk kreasi menjadi pot, diapers yang bersih direndam dalam semen dan dicetak berbentuk aneka jenis pot. Termasuk vertical garden dan lapisan tembok artistik. Juga dibuat menjadi asbak. Sebuah asbak menghabiskan satu potong diapers dijual seharga Rp 10 ribu. Sedangkan vertical gadern per lembar sampai Rp 500 ribu.

Verical garden atau taman vertikal berbahan diapers bekas produksi Cantuka Kreatif. (Foto : dokumen Yuanita)

Ia juga tengah mengujicoba diapers bekas menjadi bahan baku kulit sintetis. Diolah menjadi tas maupun dompet. Diapers yang berbentuk lembaran disetrika dan direndam lalu sikat untuk menghilangkan lem. Lantas dilapisi cat water proof atau cat kayu sesuai keinginan. Bahan pengganti kulit sintetis ini setelah menjadi tas dan dompet dijual seharga Rp150 ribu dan Rp 75 ribu. Untuk membuatnya, Yunita bekerjasama dengan perajin tas.

“Tahan lama, awet. Ini tas saya tahan sampai lima tahun,” katanya. Sedangkan limbah potongan kecil bekas diapers disulap menjadi bantal dan guling. Dijual seharga Rp 15 ribu. Kelebihan batal guling bekas diapers awet dan bisa dicuci. Kriya yang diproduksi Yunita menggunakan merek Cantuka Kreatif, Yunita membuat aneka vertical garden, pot bunga dan bunga pajangan.

Omset penjualan setiap bulan mencapai Rp 6 juta sampai Rp 8 juta. Keuntungan sekitar 50 persen.

Diapers Kategori Residu

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur terdapat 800 ribu bayi usia 0-3 tahun. Jika setiap bayi gunakan popok rata-rata empat popok setiap hari, total sebanyak 3,2 juta popok dibuang setiap hari. Sekitar 1,2 juta popok dibuang ke aliran sungai.

Ketua Kajian ekologi dan konservasi lahan basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Prigi Arisandi mengapresiasi langkah Yunita. Namun,  sampah diapers merupakan kategori residu. Sesuai Undang Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Penanganan sampah residu, katanya, menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sampah residu, ujar Prigi, tak bisa diolah untuk daur ulang. Lantaran sampah itu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Secara teknis, katanya, diapers ditangani di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) dengan teknik sanitary landfill. “Seharusnya tak dimanfaatkan. Sampah residu secara lingkungan dan kesehatan bahaya,” katanya.

Yunita Lestari Ningsih mengajarkan kepada pemuda karang taruna dan kader posyandu mengolah diapes bekas menjadi aneka jenis kriya bernilai seni. (Foto : dokumen Yunita Lestari Ningsih).

Diapers tak bisa ditangani dengan cara open dumping, lantaran gel akan melubar menembus tanah dan mencemari air tanah dan sungai jadi harus ada perlakuan khusus. Dia menekankan prinsip kehati-hatian dalam menangani popok sekali pakai, tak boleh sembrono. “Pemerintah lalai, membiarkan sampah diapers,” kata Prigi.

Prigi meminta pemerintah mengevaluasi atau mengingatkan tak boleh mengolah diapers karena sesuai peraturan. Tak boleh. “Hasilnya, tak sebanding dengan dampak kesehatan dan lingkungan,” ujarnya.

Untuk menangani residu seperti diapers, Prigi meminta pemerintah menyediakan kontainer khusus menampungnya. Lantas ditangani di TPA.