
Oleh : Athoillah*
Terakota.id-–Pagi, bangun tidur, perut terasa gak enak. Kanan dan kiri. Rasanya keras. Agak sakit. Tidak seperti biasanya. Wah, Covid sudah bikin ulah? Saya ingat, sehari sebelumnya, Saya buka youtube, ikut tutorial olahraga dalam rumah. Push up, plank, loncat-loncat, dan lain-lain. Saya yakin itu penyebabnya. Saya -istilah Jawa- njarem di bagian perut. Saya ingat betul, beberapa gerakan di youtube memang bertujuan melatih otot perut.
Walaupun lari dan loncat ditempat, kaki Saya aman-aman saja. Saya lumayan terbiasa semi joging, 3-5 kilometer. Kaki Saya sudah terlatih. Tapi perut? Jangankan terlatih, justru sepertinya saya terlalu memanjakannya dengan makan dan minum enak. Njarem ini memberi saya pelajaran, saya kurang adil ada kaki dan perut.
Selain perut yang njarem, tak ada keluhan lain yang saya rasakan. Status saya tetap OTG, orang tanpa gejala. Virus ini sepertinya tidak banyak berulah di dalam tubuh. Mungkin dia juga sedang isolasi mandiri di dalam. Entah apa yang dia lakukan. Mungkin tidur-tiduran, menulis status, atau mungkin sedang zoom meeting. Entah.
Virus yang masuk dalam tubuh ini sepertinya virus yang kalem. Santuy. Tak banyak ulah. Mungkin dia jenis virus baik-baik yang “terpaksa” nyelonong masuk. Kalau bisa ditanya, mungkin dia akan jawab sambil melas : “maaf pak, Saya cuma jalankan tugas”.
Dia dan saya sama. Sama-sama makhluk Tuhan. Bedanya, dia kecil banget. Tak terlihat. Untuk melihatnya harus pakai alat khusus. Sementara saya, besar, eh.. maksud aaya mudah terlihat. Tak perlu pake alat. Secara fisik, harusnya aaya lah yang bisa mengintimidasi dia.
Dalam hati saya bilang, “kamu di sini dulu gak apa-apa. Namanya juga tugas. Tapi kalo gak betah, pulang lebih cepat gak apa-apa. Tak perlu repot pamit segala. Siapa tau saya lagi repot nyetrika. TTDJ”.

Tapi tak semua seperti saya. Saya mendapat cerita, ada banyak pasien dengan gejala. Bermacam-macam bentuknya. Batuk, sesak, panas, hilang penciuman dan lain sebagainya. Mungkin yang masuk virus yang nakal. Kecil, tapi nakal. Istilah Jawanya tambeng, mbethik.
Saya baca disalah satu situs, lima tips menghadapi anak nakal. Salah satu tips nya adalah : jangan terlalu sering memberi toleransi. Jadi, kalau Virus ini semakin mbethik, berilah sanksi. Bentuknya konsumsi vitamin, olahraga, jangan stres dan kalau ada gejala, minum obat. Biar virus mbethik ini kembali tertib, woles dan akhirnya menjadi sahabat kita. Saya dengar, jika virus ini bisa kita “takhlukkan”, dia akan memberi kita imun alami. Entah, ini benar apa tidak.
Jadi bagi yang positif, tetap semangat. Kita punya teman baru. Kalau dia nakal, slentik aja. Kalau masih nakal, tenggelamkan!. Begitu kata bu Susi.
***
Pagi hari Saya ikut diskusi zoom. Narasumbernya dari konsulat jenderal Amerika. Seorang diplomat muda. Diskusi tentang sistem pemilu di negaranya. Saya menjadi moderator. Saya minta ijin untuk panggil diplomat itu dengan panggilan mas. Dia setuju, senang. Saya punya teman baru, mas diplomat.
Dia bilang akan ke tempat saya setelah pandemi usai. Saya bilang kalau kesini, dia harus mencoba nasi kikil, pecel dan soto dok. Semuanya enak. Adanya di kota saya, di Amerika gak ada. Dia harus coba.
Diskusi berjalan baik. Lancar. Peserta sangat antusias. Banyak pertanyaan. Sistem pemilu yang berbeda, membuat diskusi semakin menarik. Selesai diskusi, istri saya datang bawa makanan. Juga beri tahu kalau menu setiap harinya berbeda-beda, besok lodeh, daging dan telor dadar ya.
Nah, ini kesempatan. Ini yang saya tunggu. Saya akan membuat sambal tomat andalan Saya. Pasti cocok dengan telor dadar ini. Alhamdulillah, akhirnya rencana saya bikin sambal tomat bisa saya laksanakan. Masuk..
Sore hari, ada pesan WA masuk. Sepertinya dipagar ada yang mencurigakan. Wah, apa ya? Saya keluar. Ada bungkusan kresek. Saya buka, isinya roti. Alhamdulillah. Kamsia..
Malam hari, ada WA masuk. Nanya alamat. Saya pikir mau apa. Taunya ada teman kirim pulse oximeter, lewat gosend. Katanya itu alat utk memeriksa oksigen darah. Maturnuwun..
***
Banyak yang bertanya kok bisa saya tetap bersemangat dalam masa isolasi ini? Saya juga gak tahu alasannya kenapa. Saya juga tidak tahu alasan kenapa saya harus kehilangan semangat.
Saya menjalani isolasi ini dengan biasa saja. Tidak takut, juga tidak terlalu berani. Sepertinya jika semakin takut, Kita akan kehilangan ketenangan dan tak bisa berfikir jernih. Terlalu berani juga akan menggampangkan, lalu ceroboh. Dua-duanya tidak tepat menurut Saya.
Zaman dulu, saya sering berhadapan dengan preman, juga polisi dan tentara. Mungkin itu melatih saya untuk tidak mudah takut. Covid ini, jauh tidak ada apa-apanya dibanding waktu perut saya kena tendang sepatu dalmas, waktu itu, sekian puluh tahun lalu. Saya masih ingat, rasanya makjleb.
Saya tak marah pada bapak dan mas Dalmas itu. Jika ditanya, saya yakin mereka akan menjawab,”maaf, Saya sedang jalankan tugas”.
*Ketua KPU Jombang, penyintas Covid-19
**Tulisan ini sebagaimana diunggah di akun Facebook pribadi penulis. Nantikan tulisan berikutnya saat masa isolasi mandiri di rumah.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi