Tarian Pakarena disajikan di Kota Malang. Lemah gemulai ketiga penari berbaju bodo sembari memainkan kipas. (Terakota/Imam Abu Hanifah).
Iklan terakota

Terakota.id–Sejak sore sejumlah pemuda sibuk berkutat dengan sebuah panggung di hlaman asrama Hasanudin, Jalan Simpang Dieng Utara Kota Malang, Sabtu 8 Desember 2018. Mereka adalah anggota Ikatan Kekeluargaan Pelajar/Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI) Cabang Malang.

Para mahasiswa angkatan 2018 tengah mempersiapkan sebuah acara bertajuk “Panggung Ekspresi.” Sebagian menata terpal, panggung dan tempat khusus berfoto atau photo booth berlatar tulisan, “menemukan pulang di tanah rantau”. Di depan panggung sebuah dekorasi kayu setengah menyilang, menjadi simbol bangunan rumah adat Sulawesi Selatan.

Sekretaris panitia Meisyara  tengah menyambut tamu undangan. Sedangkan Fasya dan Sarfadila sibuh memasak aneka kudapan. Yakni onde-onde, kudapan khas Makassar yang selintas mirip klepon. Onde-onde berisi gula merah dibalut adonan tepung serta parutan kelapa.

“Ini beras ketan dan tepung beras biasa,” kata Fasya menjelaskan komposisi adonan.

Sebuah teatrikan tersaji dalam panggung seni menemukan pulang di tanah rantau. (Terakota/Imam Abu Hanifah).

“Rifki, sini kau,” Ketua angkatan 2018 IKAMI Rochmat Anggie memanggil Rifki seraya memasangkan Patonro.  Patonro’ merupakan ikat kepala khas Sulawesi Selatan yang kerap dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dikenakan anak Karaeng di Kerajaan Bugis-Makassar.

Tak berselang lama acara pun dimulai. “Ku mentiro rokko mellombokna, Ku messaile langngan mentanetena, Lendu’ masannangna penaangku, Untiroi tu pare siririan,” nyanyi kelompok paduan suara menyanyikan lagu Te Mepare sebagai penampilan pembuka.

Para penonton menikmatinya, sebagian ikut bernyanyi. Kelima penyanyi membawakan dua lagu daerah, mereka mengenakan pakaian atau baju Bodo, To Mepare dan Marendeng Marampa. Baju Bodo dilengkapi kalung bunga. Kalung mencirikan kebangsaan  dan status seorang perempuan, apakah masih gadis atau sudah berkeluarga. Warna baju merah, hijau dan kuning pun memiliki arti tersendiri.

Siul seruling terdengar diselingi suara tabuhan gendang mengiringi tiga penari tampil di depan panggung. Mereka menyuguhkan tari Pakarena. Lemah gemulai ketiga penari berbaju bodo berwarna kuning,  kian apik selaras dengan gerakan sembari memainkan kipas.

Tarian ini ada sejak zaman Sultan PangaliPatta Raja dinobatkan sebagai Raja di Gantarang Lalang Bata pada abad 17. Penampilan malam itu kian lengkap dengan adanya pertujukan teatrikal dan pembacaan puisi.

Sembari menikmati saraba dan onde-onde yang tersaji di bosara atau nampan khas Sulawesi Selatan, peneliti sekaligus pemerhati budaya Sulawesi Selatan Ika Farihah Hentiho menceritakan dinamika perkembangan mahasiswa perantau Sulawesi Selatan. Selama di rantau mereka tetap mencintai budaya daerah asal.

Menurutnya saat ini terdapat perbedaan pola pikir yang cenderung lebih akademis. Namun Ika mengapresiasi acara rutin yang diselenggarakan IKAMI. “Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Mereka tak melupakan adat. Beda dari mahasiswa pulau lain,” kata dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang mengenal IKAMI sejak 2006.

Dalam sambutannya, Ika  menyarankan agar memprioritaskan tujuan awal mahasiswa perantau datang ke Malang. Yakni belajar dan tetap berinteraksi dengan mahasiswa lain dalam lingkup organisasi kedaerahan. “Teman-teman jangan merasa sendirian di Malang karena kita di IKAMI Sulsel akan selalu ada buat teman-teman”.

Formatur terpilih IKAMI Azwar Waris Basolle menjelaskan generasi muda saat ini kurang memahami perkembangan seni dan budaya daerah. Untuk itu, IKAMI Sulsel Cabang Malang mempertahankan  budaya daerah dengan cara mengkaji secara rutin. Termasuk membuka sanggar Hasanuddin untuk mewadahi segala minat terhadap budaya daerah Sulawesi Selatan.

“Kami giat menampilkan budaya daerah Sulawesi Selatan,” kata mahasiswa semester 7 ini. Ia berharap para anggota IKAMI terus melestarikan seni dan budaya daerah masing-masing.