Terakota.id— Bangku kayu berderet di pelataran Kafe Pustaka basah setelah seharian diguyur hujan. Tak menyurutkan perayaan peluncuran buku Wahyu Menulis Puisi, Minggu malam 16 Maret 2019. Rindang pohon berjajar di sekeliling kafe yang terletak di samping Perpustakaan Universitas Negeri Malang meneduhkan.
Buku berisi sekitar 210 puisi karya Wahyu Prasetya dikumpulkan sejak 1990-2000-an. Buku puisi setebal 352 halaman, diterbitkan Pelangi Sastra. Menerbitkan buku Wahyu Prasetya tak bisa dinilai dari penjualan atau ditakar secara ekonomi semata. Penerbitan buku ini bagian dari kerja kebudayaan dan dokumentasi sastra.
“Menerbitkan
buku puisi Wahyu Menulis Puisiseperti
membangkitkan Wahyu Prasetya dari alam kuburnya,” kata pimpinan Penerbit Pelangi
Sastra, Denny Mizhar saat peluncuran buku. Membawa arus kesusastraan Indonesia kembali, katanya, untuk dibaca kembali. Antusias, seluruh ruangan kafe
Pustaka penuh pengunjung. Mereka antusias menyimak.
Bahkan, sebagian terpaksa
berdiri tak mendapat tempat
duduk.
Seorang perempuan berkacamata dan berjilbab
hijau beranjak dari kursi
di deretan terdepan. Perempuan bernama Dewi Latief, merupakan istri mendiang Wahyu
Prasetya. Suara menggemakan kenangan yang dilalui bersama Wahyu.
Di mata Dewi, Wahyu Prasetya merupakan penyair yang produktif. Menghabiskan waktu malam berhari-hari, berbulan-bulan, di depan mesin ketik. Tak jarang Wahyu memasukkan Dewi ke dalam puisi yang ditulis. Antara lain puisi “Ketika Kamu Mencuci Piring” atau “Syair Iseng Mengupas Telur Rebus.”
Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto karib dipanggil Wahyu Prasetya atau Pungky. Ia penyair kelahiran Malang 5 Februari 1957. Meninggal Rabu 14 Februari 2018 di usia 61 tahun. Wahyu seakan bisa mengendus malaikat maut yang mengintainya. Pada 5 Februari 2018, Wahyu menulis puisi “Doa Kuburan”:
“lebih terisak dari kesenyapan kamboja/ harum napas rumputan dan sisa hujan/ akulah tanah yang merembang dalam bayangan/ saat zikir digenapkan, 99 jalan hening dilanjutkan Tuhan/ rerimbunan manusia yang diam/ dan hamparan amal mereka yang kini membeku/ hanya akar dan serangga. Kudengar wiridnya/ aku permisi. Mengulur langkah dari sepi/ kembalikanlah amal dan keikhlasan bagiku/ yang terbaring dalam doa segala musim/ akulah tanah yang kini dilambungkan/ berjalan pada kota pada desa Tuhan, jumpa kita dimana?
“Bersyukur diberi kesempatan mendampingi Wahyu. Sampai nafas terakhir, saya ada di sampingnya. Saya bangga menjadi istri seorang penyair,” kata Dewi berucap. Perempuan rajin mengarsipkan jejak kepenulisan Wahyu mulai awal sampai hari akhir Wahyu.
Dari Mabuk Vodka hingga Mabuk Ilahi
Peluncuran buku disambut orasi kesusastraan Djoko Saryono dan Bambang Widiatmoko. Djoko Saryono mengenal Wahyu pada 1993-1994, sebelum bertolak ke Jerman. Puisi Wahyu pada masa awal, kata Guru Besar Sastra Universitas Negeri Malang, merupakan puisi yang kosmopolit, bias perkotaan, kritis, dan puisi mabuk”. Wahyu dulunya memang dikenal sebagai penyair yang mirip dewa mabuk, tak bisa jauh dari botol dan anggur,” kata Djoko.
Bahkan, menurut penuturan istrinya, Wahyu pada medio 1997/1998 sempat mengalami overdosis. Darah keluar dari hidung dan telinga. Wahyu terkapar 1,5 tahun ketika pada masa sulit. Wahyu Prasetya lahir dari keluarga berada. Bisa saja ia hidup dalam kemapanan dengan mengelola hotel Serayu peninggalan orang tuanya di Malang.
Tapi, Wahyu yang dikenal sebagai penyair keras kepala dan berhati dingin itu memilih menjual hotel peninggalan orang tuanya dan merantau ke Jakarta. Lalu, Ia menjalani hidupnya sebagai penyair. Dewi menanyakan keputusan Wahyu: memilih menjadi penyair. Yang berarti bakal melakoni hidup susah, sulit dapat duit, dan honor puisi tidak bakal cukup menghidupi tungku rumah tangga. Wahyu pun cuma membalasnya sembari tertawa.
“Kamu yang sabar, kalau kuat menjadi istri penyair itu nanti masuk surga,” kata Dewi menirukan ucapan Wahyu, mengenang.
Hidup berjalan bak falsafah Jawa, cakra manggilingan. Di atas lintasan waktu roda hidup terus berputar. Dan setiap punggung memanggul takdir sejarahnya masing-masing. Begitu pun terjadi pada Wahyu Prasetya. Ia berhijrah lahir batin. Hijrah yang penuh penghayatan. Berbeda dengan hijrah hari ini yang justru menyebabkan dunia makin pengap dan mengerikan akibat kedangkalan cara berfikir sekaligus kecupetan perasaan.
Wahyu meninggalkan botol minuman dan menghapus tato di tubuhnya. Menurut Djoko, Wahyu mirip kepompong. Dalam waktu yang lama dia menghilang dari orbit kesusastraan. Wahyu menarik diri dari pergaulan dengan para penyair. Dia tidak lagi ada di acara-acara sastra. Dia juga tidak muncul dalam bentuk publikasi karya.
“Dia tidak ngisruh lagi. Dia menjalani hidup azketis lalu muncul kembali sebagai kupu-kupu yang indah. Buku Literature dari Hutan jenar di masa-masa akhir hayatnya, menggambarkan kemabukan Ilahiah. Dari mabuk vodka ke mabuk Allah,” kata Djoko, penyair yang telah banyak menulis buku, kumpulan puisi Arung Cinta misalnya.
Sahabat Wahyu, Bambang Widiatmoko menuturkan Wahyu sering bertandang ke rumahnya di Yogyakarta. Sebaliknya, Bambang kerap berkunjung ke rumah Wahyu di Malang. Pertemanan keduanya dimulai melalui perjumpaan karya di majalah Semangat atas andil penyair Ragil Suwarna Pragolapati. Lantas, atas dorongan Ragil keduanya menerbitkan kumpulan karya berdua berjudul Nafas Telanjang dalam bentuk buku. Bukan dalam bentuk stensilan. Mencetak karya dalam bentuk stensilan saat itu lebih populer dibandingkan dalam bentuk buku.
Pertimbangan biaya dan kerumitan penerbitan buku menjadi alasan. Keduanya juga akrab karena memulai proses kepenyairan di tahun yang hampir bersamaan. Wahyu mengawali menulis pada 1978 dan Bambang pada tahun 1979. Esainya berjudul Membaca Wahyu, terbit di Magelang Ekspres edisi 16 Maret 2019, Bambang mengatakan bahwa sejak 1980-an perkenalan keduanya tidak sebatas surat menyurat. Namun juga tatap muka.
“Saya menyertakan puisi Wahyu Prasetya dan Tengsoe Tjahjono yang kala itu dikenal sebagai penyair muda Malang dalam antologi puisi Pendapa Tamansiswa: Sebuah Episode (1982). Perjumpaan menjadi lebih akrab saat pada tahun 1982 Danarto dan redaktur lainnya memilih Wahyu Prasetya, Irawan Sandhya Wiraatmaja, Heryus Saputra, dan saya ditetapkan sebagai penulis puisi terbaik majalah Zaman tahun 1982,” kenang Bambang dalam esainya.
Bambang Widiatmoko mengisahkan Wahyu menghilang dari jagat sastra sejak 1990-an sampai sekitar 2015. Keduanya juga lepas kontak. Sebenarnya, Bambang dan teman-temannya mencari keberadaan Wahyu. Namun, hasilnya nihil.
Setelah marak media sosial, Wahyu muncul dengan nama facebook Haji Eyang. Wahyu bekerja di pertambangan di pedalaman Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Ketika dapat sinyal, Wahyu segera menghubungi teman-temannya melalui facebook.“Karena akrab saya termasuk dihubungi pertama. Saya diminta membantu mempublikasikan karya-karyanya. Lalu, saya kirim ke Horison dan dimuat. Karena puisi-puisinya memang bagus,” kata Bambang.
Seperti dugaan Bambang Widiatmoko, meski menghilang lama Wahyu tidak berhenti menulis. Ia terus berkarya, tapi rehat dari publikasi. Terbukti setelah mereka bisa saling kontak, puisi Wahyu tetap mengalir deras. Atas bantuan teman-teman Pelangi Sastra, beberapa puisi Wahyu kemudian juga muncul di koran lokal Malang, Radar Malang dan Malang Pos.
Nama Wahyu Tak Dicatat dalam Apa dan Siapa Penyair Indonesia
Jejak kepenyairan Wahyu tercetak kuat dan mustahil dilupakan begitu saja. Belasan tahun “pertapaannya” tak lantas menjadikannya orang tak dikenal di dunia sastra. Medio 1980 hingga 1990 puisi-puisi Wahyu bak air bah yang tak dapat dibendung. Puisi-puisinya menghiasi media nasional maupun lokal. Beberapa buku kumpulan puisinya terbit. Baik dalam bentuk karya tunggal ataupun karya bersama, juga dalam bentuk buku atau stensilan.
Kala itu, menurut Bambang, selain Nafas Telanjang (1980) Wahyu sudah menerbitkan empat antologi bersama penyair lainnya: “Dinding”, “Nyanyian Tulang”, “Lakon”, dan “Tonggak-Tonggak.” Di tahun 1982, Wahyu juga menerbitkan puisinya berjudul Pintu dalam bentuk stensilan setebal 44 halaman.
Wahyu yang dianggap moncer diundang untuk mengikuti Forum Penyair Indonesia 1987 oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Menurut Bambang, nama Wahyu masuk dalam deretan 10 nama yang diperhitungkan dalam forum itu. Sehingga, nama Wahyu semakin dikenal.
“Pada tahun yang sama (1987) sajak-sajak Wahyu Prasetya dimuat dalam Tonggak, Antologi Puisi Indonesia Modern 4 penerbit PT. Gramedia. Dalam buku itu dimuat karya penyair kelahiran tahun 1948 sampai 1962. Antara lain Hamid Jabbar, F. Rahardi, Daman Moenir, Korrie Layun Rampan, Yudhistira ANM Massardi, Eka Budianta, Afrizal Malna,” tulis Bambang dalam esainya. Ada 10 puisi Wahyu yang dimuat dalam buku itu.
Anda tentu tak asing dengan nama Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro. Ia sosok penyair bertangan dingin yang berkontribusi besar membidani lahirnya banyak penyair. Persada Studi Klub (PSK), yang menjadi kawah candradimukanya para penyair muda Jogja tahun 70-an, juga lahir dari inisiatifnya. Bisa dikatakan ia adalah guru bagi penyair seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santoso, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito.
Dan Umbu Landu Paranggi yang namanya telah melegenda itu, pernah berkirim surat secara pribadi kepada Wahyu Prasetya. Ia memuji sekaligus menaruh harapan pada diri Wahyu. Umbu berharap Wahyu dapat menjadi tumpuan untuk mengatasai degradasi kepenyairan yang dihadapi Jawa Timur kala itu. Entah degradasi seperti apa yang dimaksud Umbu. Bisa jadi, degradasi itu salah satunya ditandai dengan taktik Dahlan Iskan yang disebut Umbu telah mengkarbit seniman dalam acara Festival Seni Surabaya.
“Perlunya posisimu di Jawa Timur sebagai penyair yang kokoh amat diperlukan untuk memotivasi perkembangan sastra Jawa Timur. IDK Raka, Oka Mahendra, Oka Rusmini, kerap mendiskusikan sajak-sajakmu. Populer juga kau, diancuk,” tulis Umbu.
Bagi Umbu Landu, Wahyu Prasetya penyair muda yang fenomenal pada kurun 1980-1990an. Namanya sejajar dengan Afrizal Malna. Bahkan, secara personal umbu lebih sreg dengan gaya dan bentuk sajak-sajak Wahyu dibandingkan dengan sintaksis lirisme yang absurd dari Afrizal. Umbu juga menyarankan pada anak-anak Bali, termasuk Oka Rusmini, untuk mempelajari dan menyelami tanpa harus mengekor sajak-sajak Wahyu.
“Aku Percaya kau akan menjadi penyair besar di abad baru. Diancuk, aku berdoa. Hyang Sawastu…,” tutup Umbu Landu Paranggi. Surat Umbu dilampirkan di halaman belakang buku Wahyu Menulis Puisi
Namun, tetap dapat dipungkiri, belasan tahun absennya Wahyu Prasetya berakibat terjadinya keterputusan arus informasi yang membuat namanya luput disebut. Nama Wahyu, menurut Denny Mizhar, tidak masuk dalam buku Pesta Penyair Jawa Timur. Selain itu, Bambang juga kecewa ketika mendapati nama Wahyu tidak ada di dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia, terbitan Yayasan Hari Puisi Indonesia di tahun 2017.
Peluncuran buku Wahyu Menulis Puisi malam itu, ditutup dengan mendaras puisi-puisi Wahyu. Penyair Malang yang juga berkawan akrab dengan Wahyu, Tengsoe Tjahjono, mengawali pembacaan puisi. Lalu, dilanjutkan oleh penyair-peyair lainnya. Potong tumpeng, do’a, musik dari Desa Kota dan Ragil Kubumi, juga pembacaan puisi larut dalam satu nafas merayakan kelahiran kembali Wahyu Prasetya sebagai puisi-puisi.
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] suasana kehidupan sastra Surabaya pada tahun 2000-an. Masing-masing penyair (dan bisa jadi komunitas mereka masing-masing) memperjuangkan ideologi estetika dan puitika mereka, […]