Terakota.id–Sebaiknya, masyarakat berhenti menyudutkan pemerintah soal asap di beberapa kota di Indonesia. Soal asap bukan urusan pemerintah, tetapi masalah masyarakat sendiri. Salahnya masyarakat. Mengapa masyarakat masih senang membuang sampah sembarangan? Â Mengapa orang desa juga masih suka membakar sampah? Itu tentu menimbulkan polusi.
Nah, beberapa waktu lalu terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau (49,226 ha), Kalimantan Tengah (44.769 ha), Kalimantan Barat (25.900 ha), Sumatera Selatan (11.826 ha), dan Jambi (11.002). Jadi, jangan salahkan pemerintah soal kebakaran hutan, apalagi menyalahkan individu presiden. Masak presiden membakar hutan dan lahan?
Sebagai kepala pemerintahan, bukankah soal asap pak presiden juga sudah datang ke lokasi kebakaran? Beberapa waktu lalu, ia datang ke desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau. Ini tentu bagus. Masyarakat tidak perlu “Baper”.
Saat di lokasi kejadian tentu saja presiden foto-foto “khas milik presiden”. Termasuk khas rekayasa foto sebagaimana yang pernah dilakukan. Dalam foto itu, pak presiden memakai baju putih berjalan sendiri. Lalu sepatunya kotor. Bahkan di media sosial diperlihatkan sepatu sebelum dan sesudah dipakai. Jika itu dianggap pencitraan, sebagaimana yang sudah terjadi, biar saja. Jangan diprotes. Masyarakat kok senangnya protes?
Tapi nasi sudah jadi bubur. Saat foto-foto itu diunggah di media sosial dan berita online, para netizen agak riuh dan sibuk dengan andalan mereka, yakni komentar. Banyak komentar bahwa presiden sedang melakukan pencitraan sebagaimana biasanya. Ada yang bilang narasinya sejak dahulu sama;Â menampilkan kesendirian, peduli, dan kesederhanaan. Ada yang usul yang penting apa yang dilakukan untuk mengatasi kabut asap itu dan usaha preventif lainnya, bukan pencitraan semata. Soal janji? Lupakan. Nah, netizen seperti ini juga perlu diberitahu, tak perlu mengkritik langkah presiden tersebut.
Lupakan Janji
Ada berita yang mengupas bahwa Jokowi sudah pernah berjanji pada tahun 2015. Soal asap ini juga. Bahkan berjanji akan memecat Kapolda dan Pangdam jika tidak bisa menegakkan hukum terkait Karhutla. Tentu tak semudah memecat sebagaimana diucapkan, bukan? Telanjur janji? Lupakan.
Saat Rapat Koordinasi Nasional Karhutla tahun 2019, Joko Widodo (Jokowi) kembali mengulangi instruksi untuk mencopot Kapolda dan Pangdam jika tidak mampu mengatasinya. Itu dilakukan awal Agustus 2019. Ancaman dan janji terus terulang, Karhutla jalan terus.
Siapa yang riuh? Sekali lagi para netizen. Ada yang mengatakan itu narasi lama yang terus diputar. Ada yang bilang pencitraan lagi. Ada yang mengungkap kebijakan lip service. Pokoknya serba menyudutkan presiden. Pembela presien bilang, “Masak urusan presiden hanya mengatasi soal asap saja?”. Padahal yang dilakukan presiden seabreg.
Ini belum mengurusi soal “dipaksakannya” mobil Esemka menjadi mobil nasional, utang yang semakin membengkak, pindah ibukota yang sebenarnya juga untuk kepentingan “pengembang”, dan ketergantungan lain yang semakin kuat bangsa ini pada bangsa asing. Semangat Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari) yang digaungkan Bung Karno (presiden I RI) seolah hilang ditelan bumi.
Sebaiknya para netizen mengekang diri. Urusan presiden bukan soal asap saja. Sudah mending presiden berkunjung ke lokasi kebakaran, meskipun narasinya sama dengan yang dulu-dulu. Ia juga sudah ikut jamaah sholat istisqa (minta hujan). Masalahnya, hal ini lebih riuh atau sengaja diriuhkan dengan melupakan narasi “kerja kerja kerja” yang pernah digemakan.
Selamanya netizen itu selalu menang. Biarlah presiden bekerja dengan pencitraan. Barangkali itu yang penting untuk dilakukan saat ini. Janji biarlah tinggal janji karena mengucapkan janji itu tidak sulit dilakukan oleh elite politik. Mengapa pula masyarakat sibuk protes revisi UU KPK segala? Kalau memang pemerintah dan DPR menghendaki, masyarakat bisa apa?
Ada yang mengatakan, bukankah DPR itu wakil rakyat? Tentu saja. Tetapi itu hanya ada dalam teks dokumen tertulis. Dalam kegiatannya sehari-hari hal demikian tidaklah mudah dilakukan. DPR tetap mewakili dirinya sendiri, hanya saat untuk menjadi DPR membutuhkan suara rakyat. Rakyat sendiri saja yang salah. Mau-maunya dibohongi untuk memilih anggota DPR jika pada akhirnya aspirasinya tidak diperhatikan?
Panggung Monoton
Betapa gelisahnya presiden jika terus dikritik. Sampai-sampai ada yang bilang perlu merevisi UU KUHP (meskipun presiden meminta diundur pengesahannya dan bukan meminta dicabut). Paling tidak dalam revisi ini, masyarakat perlu hati-hati jika dianggap “menghina” presiden. Mereka akan berurusan dengan negara. Sementara negaralah yang biasanya mempunyai hak penuh dalam menafsir kekuasaan hukum.
Coba dilihat dalam Pasal 218 Revisi KUHP. Ketahuan menyerang kehormatan presiden akan dipidana 3-6 bulan. Jika menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar umum berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden bisa dihkum 4-6 bulan juga. Jadi hati-hatilah.
Kenapa? Daripada berususan dengan hukum dan dipenjara? Sebab saat ini ada kecenderungan kekuasaan dikembalikan untuk mengumpul, konstan, tak terbagi berada di tangan eksekutif.
Saya jadi ingat zaman Orde Baru (Orba), segala tafsir politik ada pada negara. Jika masyarakat dituduh melakukan tindakan subversif ia akan kena sanksi tegas, bahkan tanpa proses hukum. Jika ia dianggap menghina presiden, tak ada tempat lain kecuali  dipenjara.
Media yang macam-macam dengan menyebarkan kritik dan dituduh “menghina” serta  dianggap menurunkan wibawa presiden secara sepihak akan dianggap sebagai “ancaman. Muaranya, berurusan dengan hukum pula.
Saya pernah menulis buku skripsi yang kemudian dibukukan berjudul Pers dalam Lipatan Kekuasaan, Tragedi Pers Tiga Zaman  (2003). Buku itu  merekem bagaimana ancaman, tekanan, paksaan negara pada pers Indonesia sampai pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bahkan semua pembatalan SIUPP (1986-1994) diputus di luar pengadilan. Pembatalan SIUPP Sinar Harapan, Prioritas, Monitor,Tempo, Editor, DeTiK karena soal; meresahkan, kabar bohong, adu domba, mengancam stabilitas (Nurudin, 2003:49).
Semua kegiatan pers itu dianggap “mengancam” stabilitas negara. Soal seperti apa  “makhluk” stabilitas nasional ini, tafsirnya ada pada pemerintah.  Jadi, kritik waktu itu akan ditanggapi sebagai ancaman dan rongrongan. Kekuasaan harus mengumpul jadi satu, konstan dan tidak terbagi-bagi.
Saya tidak menyamakan era aat ini dengan era Orba. Tidak. Saya tentu tidak berani. Semua era ada keunikan sendiri-sendiri. Ada kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Tetapi, mencoba alergi dengan kritik dengan menganggap segala perbedaan pendapat sebagai hal yang harus “disingkirkan” membuat saya jadi ingat skripsi saya itu (1996).
Tentu saat ini tak ada keinginan pemerintah untuk membuat kekuasaan itu konstan, tak terbagi dan mengumpul jadi satu di tangan elite politik. Kalau ada kecenderungan, tentu saya tidak bisa serta merta menyamakannya dengan era Orba, bukan? Masyarakat perlu diingatkan dan tidak usah “Baper” bagaimana pemerintah menangani persoalan masyarakat dan negara ini. Biarlah sejarah nanti mencatatnya.
Presiden dan elite politik yang mendukungnya tugasnya sangat banyak. Saking banyaknya sampai tidak sempat mengurusi kepentingan rakyatnya. Mereka jangan kita disibukkan dengan soal asap, Karhutla, revisi KUHP, revisi UU KPK, urusan mobil nasional Esemka, dan janji-janji lain yang belum terpenuhi.
Masyarakat perlu mengekang diri, “daripada-daripada”. Hanya, sebuah cerita itu punya narasi yang terus berubah. Karena zaman juga terus berubah. Tidak ada zaman itu statis. Jika tidak berubah dan terkesan monoton, maka penonton sebuah drama akan bosan lalu meninggalkan panggung dengan mengumpat.