Saatnya Bicara Politik!

saatnya-bicara-politik
Iklan terakota

Terakota.id-“Mau dibaca secara apa Korona sekarang? Politik, sains, kebudayaan, filsafat, sastra, keagamaan, kemanusiaan?” Petruk angkat bicara, ketika keluarga Punakawan usai makan siang. Mereka masih WFH. Jadi pada kumpul di rumah saja. Kalaupun terjadi percakapan, tetap saja mereka menerapkan jurus “physical distancing”. Musim Korona belum usai. Semua orang sebaiknya “sembunyi”, “ndelik” di rumah masing-masing.

“Semuanya boleh, tapi sebaiknya yang terakhir itu, dibaca secara kemanusiaan!” Kiai Semar manggut-manggut. Dia melanjutkan, “Pertimbangannya sederhana. Kalau kita batasi pembicaraannya di ruang lingkup politik, maka kita khawatir yang akan muncul kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu! Maka, yang paling bijak dan aman, bicarakan dari sudut pandang kemanusiaan!”

Bagong menyembur, “tidak Romo! Kita, tak terelakkan bicara politik! Kemanusiaan itu juga politik! Kita harus bicara politik, cuma spektrumnya kita perluas: politik kemanusiaan! Sekali lagi, politik kemanusiaan! Bukan politik kepentingan!”

Semua terhenyak dengan kata-kata Bagong. Agak terdiam sebentar, tapi lantas Gareng menyambar, “Kok tumben kamu sekarang tambah pintar, Gong!”

“Pintarnya di mana?” sahut Petruk, “Politik ya politik. Politik itu kepentingan. Tidak mungkin politik itu ditarik-tarik ke kemanusiaan. Itu absurd!”

“Absurd gimana? Politik itu mulia! Puncak dari politik itu, kemanusiaan!” Bagong menyahut dengan mengangkat tangan kanannya, seperti orang yang sedang demo.

“Itu kan jargon, harapan: bahwa puncak dari politik itu kemanusiaan, atau berpolitik untuk kemanusiaan, apapun saja, tetaplah “kemanusiaan” itu sekadar dijadikan dalih! Dalih untuk mendapat dukungan, insentif! Karena, memang demikianlah politik!” sahut Petruk.

Gareng mulai ragu-ragu. Semula dia cocok dengan pendapat Bagong. Tapi, pendapat Petruk bagus juga: dalam politik, kemanusiaan, seringkali sekadar dijadikan dalih! Kata kuncinya dalih! Dalih pembenar! Legitimasi! Dan, lantas Gareng berujar, “Saya setuju Petruk! Tapi, atas pendapat Bagong, saya setuju juga. Dan, kalau dirumuskan jelas dalam politik, kemanusiaan, seringkali sekadar dijadikan dalih! Ingat, ada kata seringkalinya!”

“Dalam masalah Korona ini,” sahut Bagong, “kita harus membuat kata “seringkali” itu. Jadi kita akan mengatakan begini: dalam politik, kemanusiaan adalah yang utama! Maka, para pemimpin, para politisi, semuanya saja harus fokus menghadapi masalah pandemi ini bersama-sama. Tak boleh lambat, semua harus bergerak cepat! Cepat dan selamat! Karena yang diutamakan ialah menyelamatkan nyawa manusia! Realokasi, realokasikan anggaran! Refokus, fokuskan semua ke penanganan Korona!”

“Absurd! Jargonistik! Sudah berapa besar jumlah rakyat yang terbuai oleh politisi populis yang suka mengklaim ini itu! Sudah berapa besar jumlah rakyat yang terbuai oleh politisi populis yang suka mengklaim bahwa tindakannya demi kemanusiaan? Padahal, hmmm, gombal! Politik, tetap saja politik! Tak bisa politik ditarik ke ranah kemuliaan! Tetap saja politik itu rendahan!” kata Petruk.

Romo Kiai Semar senyum-senyum saja melihat perkembangan keadaan. Perkembangan percakapan. Ini semua dipicu oleh tema yang baik yang dilontarkan oleh Petruk. Tapi, dia tak mengira, Bagong yang biasanya cuma “pating clebung” alias sekadar omong dulu mikir belakangan, kali ini tidak! “Bagus juga pendapat Bagong,” batin Semar.

“Jadi, bagaimana ini Kang Gareng, yang tegaslah, apa setuju pendapat Bagong atau Petruk? Semua sudah jelas. Argumen sama-sama kuat, kendati masih kuat argumen saya! Jangan bikin pendapat tengah-tengah, wong masalahnya sudah jelas: dalam politik, kemanusiaan itu dalih atau orientasi? Kalau saya, jelas politik mulia sejak awal menjadikan kemanusiaan sebagai orientasi!” ujar Bagong.

“Omong kosong!” sahut Petruk, “Apakah kemanusiaan, keadilan, kemakmuran, bla-bla-bla, itu semua cuma dalih! Dalam politik nomor satu tetap saja dukungan! Pamrih! Maka dari itu kalimat “politik kemanusiaan” itu kontradiksi interminis belaka!” sahut Petruk.

“Sekarang begini saja,” kata Gareng, “kita akhiri perdebatan kita ini, dengan meminta pendapat Romo Kiai Semar! Pripun, bagaimana Rom?”

Romo Kiai Semar berdehem. Setelah minum air putih hangat, dia angkat bicara.

“Marilah kita tidak mencurigai politik! Mari kita murnikan makna atau hakikat politik! Saya setuju Bagong untuk kali ini, kendatipun saya juga bisa memaklumi pendapat Petruk dalam batas tertentu, bahwa kemuliaan politik bisa dibajak dengan mudah sewaktu-waktu oleh siapa saja! Maksudnya begini: secara filsafati, jelas semua sepakat, politik itu mulia! Politik itu, hakikatnya, adiluhung! Hanya lantas, di tengah jalan dia dibajak oleh orang-orang yang mengerdilkan hakikat politik seperti itu! Politik dikerdilkan oleh dalih-dalih yang sesungguhnya sekadar alat pemikat! Politik dinodai oleh Ken Arokisme dan semacamnya! Tapi, hakikat politik tetap mulia: politik ialah kemanusiaan! Maka, mari kita bicara di maqom ini: politik kemanusiaan, dengan kemanusiaan sebagai yang utama! Jangan mengail di air keruh di masa darurat ini, lebih baik mari kita tafsirkan secara rinci hakikat gotong royong untuk kepentingan praktis kita hari-hari ini! Politik, kemanusiaan, gotong royong …”

Hrrr, hrrr, terdengar suara dengkur. Semua menoleh ke Bagong!

Hmmm, dijelaskan panjang lebar kok malah tidur!” lanjut Semar, tapi dia segera maklum karena akhir-akhir ini memang begitulah Bagong, cepat tertidur kalau dengar orang omong panjang lebar. Mungkin seperti sedang didongengi.

“Apa ini karena dampak WFH ya? Makan tidur makan tidur! Gong, bangun!” teriak Gareng. Dan Bagong pun terlonjak, sambil berteriak, “Hidup kemanusiaan! Kemanusiaan!”

Romo Kiai Semar geleng-geleng kepala.***