Pelatihan Hak Reproduksi Perempuan dan Risiko Pernikahan Dini gelaran KPuK pada 26-27 September 2021. (Foto: KPuK)
Iklan terakota

Terakota.idPuluhan puan duduk dua deret berhadap-hadapan. Masing-masing memegang beberapa lembar diktat. Khidmat, mereka menyimak presentasi pemateri Ina Irawati, Project Manager Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan KPuK. Mereka tengah mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Perempuan untuk Pencegahan Pernikahan Dini di Singosari pada Sabtu, 23 Oktober 2021.

“Pelatihan kepemimpinan menjadi bagian dari program pengurangan pernikahan dini di Singosari. Meliputi Desa Toyomarto, Desa Gunungrejo yang menyumbang pernikahan dini terbesar,” ujar Project Manager KPuK, Ina Irawati.  KPuK menggandeng perwakilan perempuan dari kelompok dampingan dan stake holder penggerak perempuan area Singosari.

Pelatihan menjadi bagian Program Pencegahan Potensi Pernikahan Dini melalui Penguatan Kepemimpinan Perempuan dan Advokasi. KpuK adakan kerjasama dengan FSSP GAC Field Support Service Project Global Affairs Canada (FSSP GAC). Program digelar di Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karangploso di Desa Ngijo. Peserta aktif menyimak dan berdiskusi tentang kondisi pernikahan dini di Kecamatan Singosari.

Pegiat Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang Istiadah menjelaskan pernikahan dini berisiko tinggi terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial perempuan.  “Perempuan di bawah usia 15 tahun berisiko reproduksinya, jika hamil. Panggulnya masih belum siap melahirkan, harus operasi,” tutur Istiadah.

Ia menambahkan perempuan yang menikah dini lebih tinggi mengalami maternal murbidity rate dan maternal mortality rate. Maternal murbitidy merujuk pada kesakitan saat proses aktivitas reproduksi. Sementara maternal mortality merujuk pada tingkat kematian ibu

Kematian Ibu Melahirkan Masih Tinggi

Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebanyak 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan fokus untuk menurunkan angka kematian ibu.  Dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

RPJMN menargetkan pada 2024 AKI turun menjadi 183 per 100 ribu kelahiran hidup.  “Angka kematian perempuan di Indonesia masih tinggi. Meski kebijakan perlindungan ibu telah digalakkan sejak 2000,” kata Istiadah.

Istiadah mengapresiasi inisiasi pemerintah mengubah usia minimal perempuan menikah. Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengizinkan perempuan menikah di atas usia 16 tahun. Peraturan terbaru, Undang-Undang Nomor  16 Tahun 2019 mengubah usia minimal perempuan menikah di usia 19 tahun.

Namun, masih banyak perempuan menikah dini.  Sekitar 97 persen permohonan dispensasi pernikahan terpaksa dikabulkan. “Alasannya calon mempelai perempuan hamil yang tak diinginkan. Hamil sebelum menikah,” kata Istiadah memaparkan.

Itiadah mengimbau para puan untuk mengenali risiko pernikahan dini. Kondisi fisik perempuan berusia anak-anak yakni di bawah 19 tahun rentan mengalami penularan penyakit seksual dan kanker leher rahim.

Remaja binaan RKP KPuK petakan analisis kondisi ekonomi dan sosial kasus pernikahan dini di daerahnya. Sumber – Facebook Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan. (Foto: KPuK)

Istiada menjelaskan pasca melahirkan, Ibu kerap mengalami perubahan suasana hati. Dilansir dari laman hellosehat.com, baby blues dialami sekitar 80 persen ibu baru, atau 4 dari 5 orang. Perasaan haru, cemas, mudah tersinggung, hingga khawatir silih berganti mendera ibu.

Istiadah mengisahkan dirinya juga pernah mengalami baby blues setelah melahirkan anak kedua. “Rasanya campur aduk, sedih. Saya sampai menyurati suami, mellow. Beruntung suami dan keluarga mendukung, lebih ringan menjalaninya,” papar Istiadah.

Ia mengaku khawatir, dengan kondisi ibu dari pernikahan dini yang mengalami problem struktural. Gejala baby blues, menurutnya lebih berat dihadapi ibu. Bayang-bayang kemiskinan, kondisi ekonomi nan gonjang-ganjing, hingga maraknya kekerasan dalam rumah tangga menghantui.

“Beberapa kasus baby blues memicu denial (penolakan) ibu terhadap bayinya. Kondisi ini mempengaruhi jalinan hubungan antara ibu dan anak, berdampak pada psikis anak,” kata Istiadah.

Ulurkan Tangan, Cegah Pernikahan Dini

Istiadah mengajak perempuan produktif usia 15 hingga 64 tahun berkontribusi menjadi bonus demografi, Bukan menjadi beban Negara. “Untuk mencapai titik bonus demografi, perempuan perlu berada di kondisi sehat jasmani-rohani, kuat spiritualitas, dan memegang teguh akidah serta akhak,” ujarnya menambahkan.

Pernikahan menurutnya bukan permainan yang bisa dicoba-coba. Pernikahan perlu dijalankan oleh perempuan yang siap mental. Siap menanggalkan kehidupan pribadi, lantas melanjutkan hidup bersama pasangan, keluarga besar, bermasyarakat.

“Gedung, seragam, katering dipersiapkan matang-matang sebelum pernikahan. Ada nggak keluarga yang mengecek kesiapan anak?” tanya Istiadah kepada peserta.

Melihat realita maraknya problematika pernikahan dini, Istiadah mengajak para puan galakkan kampanye mencegah pernikahan dini.  “Ulurkan tangan jika bisa, minimal urun rembug lisan. Seperti yang ditasbihkan kitab suci Al Qur’an,”kata Istiadah.

Ia menambahkan menikah di dalam Al Qur’an merupakan perjanjian nan agung. Janji suci di hadapan Allah.“Perempuan seyogiyanya telah dewasa dan siap membangun rumah tangga kala memutuskan menikah,” pungkasnya.

Kiprah Perempuan di Akar Rumput

Ketua Tim Penggerak PKK Desa Toyomarto, Anik Azizah menyatakan selama pandemi kegiatan PKK terhenti. Ia mengakui kader PKK minim kapasitas pengetahuan untuk menyosialisasi pencegahan pernikahan dini. “Bagaimana kami sebagai penggerak PKK dapat berkontribusi kepada masyarakat?,” tanya Anik.

Menanggapi keluh kesah Anik, Istiadah menyarankan kader PKK melakukan pendataan dan analisis potensi pernikahan dini di wilayahnya. Selanjutnya, penggerak PKK dapat menggandeng organisasi penggerak perempuan seperti KPuK untuk gerakan sosialisasi bersama.

Pegiat perempuan tengah mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Perempuan untuk Pencegahan Pernikahan Dini pada Sabtu, 23 Oktober 2021. (Terakota/ Eka Wulan).

KPuK hingga kini membina tiga Rumah Kepemimpinan Perempuan (RKP). Meliputi RKP Aisyah Desa Gunungrejo, RKP Bawono Amerta Desa Toyomarto Kecamatan Singosari dan RKP Pancarona Asa di Desa Ngijo, Karangploso.

RKP mewadahi pegiat akar rumput dalam sosialisasikan isu pernikahan dini. Pegiat RKP Aisyah Desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari Yuliati, menyatakan masyarakat perlu sosialisasi pencegahan pernikahan dini.  “Pernikahan dini di Desa Gunung Rejo dibilang tinggi. Sebeb kebanyakan perempuan menikah usia 16-17 tahun. Paling muda menikah usia 13 tahun,” kata Yuliati.

Beberapa factor penyebab pernikahan dini. Faktor utama yakni tradisi, dengan pelabelan perawan tua. Perempuan yang belum menikah di atas usia 17 tahun dianggap perawan tua. Dampaknya orang tua berlomba-lomba secepatnya menikahkan anaknya. Faktor lainnya ekonomi, beberapa orang tua ingin melepaskan tanggungan anak dengan cara menikahkan anak perempuannya.

“Harapan orang tua  menikahkan anaknya di usia dini, agar anak dinafkahi suami,” kata Yuliati. Pergaulan anak dan remaja yang melakukan seks berisiko turut mendukung kehamilan tak diinginkan (KTD). Menikahkan anak yang hamil diluar pernikahan masih menjadi solusi yang ditempuh masyarakat kebanyakan.

Menghadapi kondisi seperti ini, Yuliati menggelar sosialisasi tentang reproduksi, hingga pencegahan pernikahan dini. Sosialisasi sebulan sekali kala pertemuan RKP, diselenggarakan di rumah anggota. Sekaligus anjangsana.

“Sasaran sosialisasi anak, orang tua dan Pemerintah Desa (Pemdes), materi masih dicampur. Belum ada sosialisasi khusus pada orang tua,” kata Yuliati.

RKP Aisyah dibentuk September 2021 mencakup dua dusun, terdiri atas 22 RT dan 6 RW di Desa Gunungrejo. Yuliati berharap RKP dapat memberi sumbangsih kepada masyarakat. “Harapannya pernikahan dini berkurang. Apalagi sejak 2019, anak perempuan di Gunung Rejo makin banyak yang melanjutkan pendidikan SMP dan SMA,” ujar Yuliati.

Yuliati menganggap potensi perempuan yang bisa digali ketika menunda pernikahan hingga benar-benar siap. Sehingga, angka perceraian juga tinggi. Ada perempuan menikah usia 13 tahun, kini bercerai. “Anaknya yang sudah pengen nikah, dulu sempat daftar SMP tidak dilanjutkan. Sekarang bercerai, kembali ke orang tua,” kata Yuliati.

Ia menyayangkan perempuan menjanda di usia muda. Pendidikan SD minim akses pekerja dan berpenghasilan.  Alhasil keluarga justru kembali menanggung anak yang sebelumnya diharapkannya mampu berdikari dari pernikahannya.  “Dibutuhkan inovasi kegiatan RKP dan jalinan kerjasama berbagai pihak untuk sosialisasi pernikahan dini. Selanjutnya perlu upaya pemberdayaan perempuan,” kata Yuliati.