
Oleh: Wahyu Eka Styawan dan Talbyahya Herdiputra (Aliansi Selamatkan Malang Raya)
Pengantar
Terakota.ID–-Sejak akhir tahun 2021, khalayak publik Kota Malang seolah dikejutkan dengan kejadian yang sebelumnya tak pernah terjadi. Genangan air mengepung hampir di seluruh wilayah Kota Malang. Di beberapa titik, genangan air justru mengambil wujud lain yang lebih membahayakan. Berkedalaman lebih dari 2 meter, banjir mengancam kehidupan berbagai macam manusia, tak peduli jenis kelamin dan usianya, tak peduli kondisinya yang sedang sakit ataupun sehat, tak peduli manusia yang sedang mengandung, yang mungkin di masa depan, manusia lain yang sedang dikandungnya menjadi sebaik-baiknya pemimpin yang tidak saja baik kepada sesamanya, tetapi juga kepada alam semesta.
Dari tahun ke tahun, kekhawatiran masyarakat Kota Malang akan dampak banjir yang cepat atau lambat menghantam keseharian hidupnya semakin tinggi. Terutama bagi masyarakat miskin yang terpaksa bermukim di wilayah pinggiran sungai. Hari ke hari mereka lewati dengan kecemasan, sembari menghitung-hitung kemungkinan yang akan mereka tempuh bilamana terjadi hal yang dicemaskan itu.
Melihat kondisi masyarakatnya yang seperti itu, Pemerintah Kota Malang sebenarnya tidaklah berdiam diri. Banyak program yang dicanangkan untuk mengatasi masalah banjir yang menahun ini. Mulai dari membangun drainase baru, maupun menormalisasi yang sudah ada. Di tahun ini, Pemerintah Kota Malang bahkan merencanakan pembuatan masterplan drainase. Dengan menggunakan anggaran yang disiapkan sebesar Rp 2,5 Miliar, Pemerintah Kota Malang melalui Dinas PUPR bekerja sama dengan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya untuk memetakan jalur drainase. Hal ini dilakukan karena ternyata selama ini terdapat sepanjang 287 Km jalur drainase yang tidak berfungsi.
Meskipun begitu, usaha yang dilakukan Pemerintah Kota Malang mesti dikritisi. Sebab, nyatanya selama ini banjir terus saja terjadi, dan dampaknya terus saja mengancam kehidupan masyarakat Kota Malang. Ada beberapa hal yang harus dibenahi, dan juga dicurigai. Mengapa upaya Pemerintah Kota Malang selama bertahun-tahun tidak pernah membuahkan hasil? Padahal, upaya yang dilakukan mengambil alokasi anggaran yang tidak sedikit. Benarkah upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Malang telah tepat sasaran untuk mengatasi banjir ini? Ataukah ternyata sedari awal Pemerintah Kota Malang salah mengambil langkah, yang entah disengaja atau tidak, untuk menghindari akar permasalahan penyebab banjir.
Dalam hal ini, Aliansi Selamatkan Malang Raya membuat beberapa catatan sebagai kritik atas upaya pengentasan banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang. Catatan ini berisikan masalah-masalah beserta jabarannya, dan juga rekomendasi yang bisa diambil Pemerintah Kota Malang.
Siklus Banjir Menahun
Sepanjang tahun, mulai dari bulan-bulan awal hingga di penghujung tahunnya, serangan genangan di hampir seluruh wilayah Kota Malang selalu saja terjadi. Ketika hujan sedikit, selalu ada genangan air yang muncul. Di musim penghujan, dimana hujan turun dalam intensitas yang lebih tinggi, genangan ini menambah kedalamannya, cukup dalam dan deras hingga bisa merendam rumah dan menyeret mobil. Selain itu, dampak lanjutan dari derasnya banjir juga mengambil wujud yang lain.

Di wilayah pemukiman pinggir sungai, ancaman terjadinya longsor akibat arus banjir yang menggerus tanah dan plengsengan mengakibatkan banyak rumah yang hancur. Contohnya, akibat banjir kiriman dari Kota Batu pada tanggal 4 November 2021 lalu, sepanjang 25 meter plengsengan di Jl. Muharto Gg. 5 RT. 05 RW. 06 longsor mengakibatkan 2 rumah terancam ambrol. Selain di Kel. Kotalama, Kel. Jodipan, Kel. Jatimulyo, Kel. Rampal Celaket, Kel Samaan, dan Kel. Tanjungrejo juga mengalami dampaknya. Tercatat sebanyak kurang lebih 150 unit rumah terdampak dan 7 rumah roboh atau hanyut. Akibatnya, 400 orang harus mengungsi dari huniannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang mencatat kecenderungan peningkatan intensitas banjir yang terjadi dalam kurun waktu sejak tahun 2016 hingga 2020 (lihat Gambar 1). Tentu jika dikalkulasikan dengan angka intensitas banjir di tahun 2021 dan tahun 2022 jumlahnya akan semakin besar. Banjir yang terjadi pada 14 Maret 2022 saja telah mengambil 26 titik berbeda. Paling parah terjadi di wilayah kampung Teluk Bayur yang merendam sedikitnya 73 rumah.
Gambar 1: Grafik Intensitas Banjir Kota Malang
Dari angka-angka tersebut, terdapat beberapa titik yang mengalami banjir secara berulang. Ali Mulyanto, Kepala BPBD Kota Malang mengatakan bahwa terdapat 18 titik banjir yang rutin terjadi. Ia berpendapat bahwa tata guna lahan, kurang berfungsinya sungai, drainase, dan saluran air menjadi penyebab utama. Selain itu, banjir disebutkan terjadi akibat intensitas hujan yang semakin meninggi. Tetapi, jika melihat data yang terkumpul dari 3 stasiun klimatologi di Kota Malang, curah hujan yang terjadi sejak tahun 2014 justru terjadi secara fluktuatif (lihat Tabel 1). Di tahun-tahun tertentu justru terjadi pengurangan curah hujan secara signifikan.
Tabel 1 Intensitas Curah Hujan di Kota Malang. Diolah Peneliti dari BPS
Berdasarkan data tersebut, sebenarnya ada beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi secara bersamaan dan menjadi penyebab banjir menahun di Kota Malang. Pertama, terkait dengan bencana iklim. Secara global, bencana iklim mengakibatkan berbagai masalah turunan, yang salah satunya adalah ketidakpastian iklim. Fluktuasi curah hujan di atas menggambarkan ketidakpastian itu. Di waktu-waktu tertentu, hujan bisa datang dengan tiba-tiba dan intensitas curahan yang tinggi.
Pada waktu yang lain, intensitasnya bisa menurun secara signifikan. Kedua, terkait dengan upaya Pemerintah Kota Malang dalam menanggapi permasalahan banjir ini. Kebijakan Pemerintah Kota Malang yang diambil untuk ini tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Fokus pembangunan, pengembangan, dan perbaikan drainase perlu dikritisi lebih lanjut. Selain itu, selama ini Pemerintah Kota Malang juga kurang memperhatikan kawasan resapan berupa Ruang Terbuka Hijau. Pun juga dengan alih fungsi lahan yang terjadi, ataupun perencanaan tata ruang yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.
Bencana Iklim dan Beban Pada Warga
Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam catatan pengantar, secara keseluruhan Kota Malang termasuk wilayah rentan terhadap bencana hidrometeorologis yang merupakan perpaduan dari natural disaster (bencana alam) dan man made disaster (bencana karena ulah manusia) mendorong perpaduan antara natural hazard (bahaya alami, karena faktor alam seperti iklim) dan anthropocene risk (resiko yang ditimbulkan karena faktor manusia, seperti penataan, pemanfaatan dan kebijakan yang tidak sesuai kondisi yang akhirnya mendorong resiko bencana).[1]
Di mana resiko potensi bencana meningkat seiring dengan naiknya ancaman dan faktor keterancaman. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian yang didapatkan dari pengumpulan berita seputar bencana di Kota Malang, saat kita memasuki laman mesin pencari google dengan keyword ‘bencana di Kota Malang, maka yang tersaji adalah bencana seputar banjir, longsor, genangan dll. Paling tidak kondisi tersebut menunjukkan bahwa kota malang memang benar-benar rentan dalam hal bencana.

Kondisi ini dapat dibaca dalam tabel di bawah, bahwa menurut kompilasi angka bencana dari Badan Pusat Statistik Kota Malang mengungkapkan peningkatan angka bencana sejak tiga tahun terakhir, terhitung dari tahun 2018-2020. Bencana yang kami catat akan lebih berkutat di seputar krisis iklim, di antaranya yakni banjir, cuaca ekstrem dan longsor. Dari catatan BPS didapatkan angka jumlah bencana yang inkonsisten, dari tahun 2018 terjadi bencana iklim ini kurang lebih 116 kejadian, lalu di tahun 2019 sempat mengalami penurunan menjadi 73 kejadian bencana dan terakhir di tahun 2020 meningkat tajam menjadi 111 kejadian. Tetapi ada angka yang pasti pada jumlah kejadian banjir di Kota Malang, di mana setiap tahunnya mengalami peningkatan cukup signifikan dari 19 kejadian pada tahun 2018 lalu meningkat menjadi 14 kejadian di tahun 2019 dan meningkat tajam menjadi 34 kejadian di tahun 2020.
Tabel 2. Jumlah bencana iklim diolah dari data BPS Kota Malang
Titik kritis bencana iklim di Kota Malang hampir terjadi dan rata di seluruh kecamatan yakni, Kedungkandang, Sukun, Klojen, Blimbing dan Lowokwaru. Kecamatan dengan ancaman longsor tinggi ada di tiga wilayah yakni Kedungkandang, Sukun dan Blimbing, sementara untuk wilayah dengan angka ancaman tinggi terhadap cuaca ekstrem yakni Klojen dan wilayah dengan tingkat keterancaman banjir cukup tinggi meliputi dua kecamatan yakni Blimbing dan Lowokwaru.
Tetapi bagaimana dengan kejadian di tahun 2021 dan 2022 ini? Sebagaimana tangkapan dari hasil assessment lapangan Aliansi Selamatkan Malang Raya dengan metode pencatatan serta observasi langsung secara cepat menunjukan ada tren peningkatan jumlah bencana, ancaman dan peningkatan keterancaman. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan sementara, menemukan jumlah banjir di Kota Malang mengalami penurunan dari segi kuantitas namun terjadi peningkatan luasan kejadian banjir dan daya rusaknya, total di tahun 2021 terdapat kurang lebih hampir 17 kejadian banjir, di mana tidak hanya di Blimbing dan Lowokwaru namun meluas hingga wilayah Sukun. Lalu untuk di tahun 2022 ini dari Januari hingga Maret kurang lebih sudah ada 18 kejadian banjir yang terjadi di Lowokwaru, Blimbing dan Sukun. Secara keseluruhan angka-angka yang disebutkan dalam catatan ini paling tidak menunjukkan telah terjadi peningkatan potensi resiko bencana iklim di Kota Malang.
Bencana Iklim Membawa Korban
Selain membahas jumlah kejadian bencana, ada beberapa temuan yang menunjukkan kejadian bencana meningkatakn kerentanan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang terpapar bencana mengalami kerugian secara langsung dan tidak langsung. Memakai pendekatan Total Economic Value (TEV) atau penekanan pada faktor loss and damage terutama pada komunitas ada dua instrumen yang dapat digunakan untuk membaca kerugian masyarakat terhadap paparan bencana dan bagaimana peningkatan beban mereka dalam menghadapi bencana, yakni memakai pendekatan use value (nilai penggunaan) di mana ada dua instrumen yakni direct use value atau nilai penggunaan secara langsung dan indirect use value atau nilai penggunaan tidak langsung.[2]
Jika membaca dari direct use value di mana korban banjir, longsor dan dampak cuaca ekstrem seperti angin kencang, pohon tumbang dll, mereka mengalami kerugian kehilangan akses terhadap air bersih. Selain itu mereka juga terganggu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-sehari. Seperti yang terjadi pada saat kejadian banjir, terakhir warga di wilayah Klojen dan Lowokwaru mereka mengeluhkan pasokan air bersih yang disupplai dari PDAM berubah kualitasnya menjadi lebih keruh. Sebab kekeruhan air PDAM tak lain diakibatkan oleh banjir yang terjadi di sepanjang tahun 2022 ini, paling tidak faktor banjir berdampak pada penurunan kualitas air PDAM.
Penurunan kualitas air ini diakibatkan oleh banjir di Kota Malang dan juga banjir yang melanda Sumber Wendit, Pakis, Kabupaten Malang. Sebelumnya sebagai imbas dari banjir bandang di hulu DAS Brantas, Kota Batu, beberapa wilayah di Kota Malang juga kesulitan mengakses air bersih. Tidak hanya air bersih, warga pun kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mereka tidak dapat bekerja hingga 1-2 bulan pasca kejadian, khususnya pada pekerja di sektor UMKM.
Sementara jika memakai penilaian indirect use value, bahwasanya bencana iklim seperti banjir dan longsor meningkatkan kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat. Seperti perkiraan angka kerugian dari aneka bencana di Kota Malang tahun 2018, BPBD Kota Malang mencatatkan total kerugian mencapai 6,2 miliar rupiah. Lalu sepanjang Januari 2021, BPBD Kota Malang mengungkapkan jika 40 kejadian bencana di Kota Malang, terutama banjir dan longsor telah mengakibatkan kerugian hingga mencapai 400 juta rupiah.
Sementara dampak banjir bandang dari Hulu DAS Brantas menyasar 600 KK atau kurang lebih 1.050 warga dan menyebabkan kurang lebih 400 warga Kota Malang harus menjadi pengungsi. Total kerugian ini masih angka yang tersaji dari media, belum menyeluruh. Asumsi yang didapatkan melihat intensitas bencana iklim yang semakin sering dan daya rusaknya semakin luas, perkiraan angka korban dan kerugian dapat lebih besar lagi.
Penting untuk digarisbawahi bahwa bencana iklim bukan sebuah peristiwa yang terjadi secara lokal saja, tetapi sebuah peristiwa interkoneksi dan multidimensional jika mengacu pada ringkasan dari UNFCCC. Peristiwa beban bencana yang terjadi di Kota Malang juga turut dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di wilayah lainnya, seperti Kota Batu dan Kabupaten Malang, perlu diketahui Kota Malang dilewati aliran DAS Brantas yang berhulu di Kota Batu.
Selain itu kebutuhan akses air bersih di Kota Malang juga sangat bergantung pada Kota Batu dan Kabupaten Malang, yang artinya jika sumber air di wilayah tersebut rusak atau kawasannya rusak, maka Kota Malang adalah wilayah yang paling terdampak. Maka dari itu persoalan bencana iklim di Kota Malang selain dikarenakan kerusakan di wilayah hulu, beban kerusakannya juga sangat dipengaruhi oleh kacaunya tata ruang di Kota Malang yang semakin mempertinggi potensi resiko bencana. Seperti hilangnya kawasan resapan dan tangkapan air untuk dijadikan peruntukan lain, seperti kawasan sempadan sungai di wilayah lowokwaru yang beberapa fungsinya berubah untuk properti, hotel dan apartemen.
Daftar Pustaka:
[1] Dominey-Howes, D. (2018). Hazards and disasters in the Anthropocene: some critical reflections for the future. Geoscience Letters, 5(1), 1-15.
[2] Plottu, E., & Plottu, B. (2007). The concept of Total Economic Value of environment: A reconsideration within a hierarchical rationality. Ecological economics, 61(1), 52-61.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi