Pagelaran wayang krucil di Desa Gondowangi. (Foto : desagondowangi.com)
Iklan terakota

Oleh: Dhanny S. Sutopo *

Terakota.id–Tidak dipungkiri pada masyarakat desa cenderung masih kuat dengan tradisi dan budaya lokal yang dijalankan secara kolektif dibanding dengan masyarakat kota. Namun, sayangnya tradisi dan budaya lokal sebagai bagian dari semangat pembangunan desa merangkak mulai ditinggalkan. Desain pembangunan desa lebih disimbolkan dalam bentuk pembangunan fisik. Berupa sarana dan prasarana. Misalnya; jalan, jembatan, kantor dan balai desa, serta pembangunan-pembangunan fisik lainnya yang sejenis.

Kita bisa mafhum karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masih minim dengan ketersediaan sarana dan prasarana fisik tersebut. Berbeda dengan kota, dimana aspek   pembangunan fisik telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal ini yang menjadikan simbolisasi pembangunan desa cenderung ke arah pembangunan fisik, dan nampaknya telah menormalisasikan definisi pembangunan di kebanyakan desa di Indonesia.

Akibat kondisi tersebut, menu-menu pembangunan desa yang sifatnya non fisik seperti pembinaan dan pemberdayaan masyarakat bukan menjadi prioritas dalam pembangunan desa, atau malah justru terabaikan. Padahal, di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri[1] tentang pembangunan desa terdapat bidang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Hal itu secara jelas telah dinyatakan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan desa –dan tentang pembinaan adat, kesenian serta sosial budaya masyarakat juga ada di dalam sub-bidang pembinaan tersebut. Sejatinya untuk menjaga pembangunan desa tetap berkelanjutan, aspek-aspek non fisik itulah sebagai penopang keberlanjutannya.

Lantas pertanyaannya, adalah bagaimana nasib tradisi dan budaya lokal apabila dalam koridor pembangunan desa cenderung terabaikan? Demikian pula dengan kenyataan bahwa sesungguhnya pada masyarakat desa itulah justru ruang-ruang budaya termasuk juga tradisi masih hidup dan dihidupi oleh masyarakatnya hingga kini. Adalah sebuah tantangan terhadap situasi sekarang ini jika berbicara tentang tradisi dan budaya lokal masyarakat Indonesia sebagai bagian dari nilai-nilai kehidupan kita, kalau di tingkat desa saja kurang terperhatikan.

Belajar dari sebuah desa kecil di pegunungan Kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Tepatnya di Desa Sumurup, dimana di desa ini terkenal dengan seni, tradisi dan budaya Jaranan. Jaranan dengan beragam jenisnya adalah salah satu bentuk kesenian rakyat di Jawa Timur yang di dalamnya terdapat simbol-simbol budaya yang dihadirkan melalui peran penari, penabuh, sesaji, properti, busana, tata rias, dan bentuk pertunjukan yang memiliki makna dan mengandung nilai-nilai tertentu.

Demikian pula Jaranan yang terdapat di Desa Sumurup ini, adalah jenis Jaranan Senterewe yang lebih mengutamakan kreativitas , kekayaan dan kepadatan gerak disertai iringan yang riang dan dinamis. Jenis jaranan ini merupakan jaranan yang banyak digemari masyarakat desa ini dan juga di daerah Trenggalek dan Jawa Timur pada umumnya (tentang Jaranan lihat Clara van Groenendael, 2008). Diawali oleh pemuda kelompok jaranan yang tekun berkesenian, sekarang ini Jaranan Senterewe boleh dikatakan sudah menjadi simbolisasi dari kehidupan masyarakat di desa ini. Tidak hanya sebagai sebuah performa kesenian saja. Tetapi juga mampu memberikan andil yang besar pada pembangunan warga desa, dalam arti pembangunan manusianya melalui praktik berkebudayaan.

Sama halnya dengan Desa Gondowangi Kabupaten Malang Jawa Timur, yang didorong oleh inisiatif Kepala Desa untuk mengikat elemen warga masyarakat desa maka ditumbuhkan kembali adat ritual Bersih Desa (tentang Ritual Bersih Desa lihat Endraswara S., 2006). Dalam bentuk festival budaya yang melibatkan seluruh warga desa untuk berpartisipasi di dalamnya.

Kegiatan festival budaya Bersih Desa ini dikemas dengan pertunjukan-pertujukan kesenian seperti reyog, wayang krucil yang sudah mulai punah, jaranan dan bentuk-bentuk kesenian lainnya yang dijalankan oleh elemen warga selama seminggu penuh. Gegap gempita desa yang terlihat dari festival budaya ini ternyata mampu menumbuhkan semangat partisipasi warga. Karena Kepala Desa meyakini, bahwa untuk dapat membangun desa secara utuh perlu untuk membiasakan dulu warganya untuk bersatu dan bahu-membahu dalam satu kegiatan agar kebanggaan warga bisa tumbuh di dalamnya.

Artikel ini tidak terlalu fokus pada ulasan tentang kesenian Jaranan ataupun performa kebudayaan sebagai sebuah tradisi dan budaya lokal. Tetapi lebih melihat bagaimana praktik berkebudayaan tersebut ternyata mampu memberikan warna pada pembangunan masyarakat di desa. Noktah terpenting praktik kebudayaan dalam konteks pembangunan di dua desa tersebut, terafirmasi lewat antusiasme budaya dan bara lokalitas desa yang disebut Sayeg Saeko Kapti (se-iya se-kata). Inilah spirit membangun desa yang sesungguhnya, yang secara nyata dipraktikkan di kedua desa ini melalui elemen budaya lokal yang ada. Di kasus dua desa inilah mereka mampu mengartikulasikankan seni, tradisi dan budaya lokal dalam bingkai pembangunan desa.

Dalam keseharian warga Desa Sumurup, tradisi dan budaya jaranan terus dipupuk dan dihidupi oleh kelompok pemuda dan pemerintah desa. Latihan Jaranan adalah aktivitas kelompok-kelompok pemuda yang sering dilakukan pada sore atau malam hari. Proses ini mampu mempengaruhi kebiasaan para pemuda. Pemuda yang tidak produktif menjadi pemuda yang lebih produktif. Melihat dari sisi produktivitas pemuda ini, pemerintah desa juga tidak berpangku tangan. Karena pemuda kelompok Jaranan selalu mengkoordinasikan perihal kegiatannya dengan pihak pemerintah desa. Wujud nyata dari bentuk koordinasi ini adalah ketika ada semangat untuk memperkenalkan Desa Sumurup, yaitu dengan menggelar festival jaranan.

Tidak tanggung-tanggung, demi menarik perhatian masyarakat luas festival ini dilakukan di atas perbukitan di tengah hutan yang sepi. Nampaknya sangat tidak masuk akal melakukan kegiatan tersebut. Berbekal keyakinan bulat, akhirnya kegiatan dapat terselenggara dan sukses menghadirkan ribuan pengunjung ke desa ini. Melalui tindakan komunikatif dan koordinatif yang berjalan sangat baik antara pemuda kelompok jaranan dan pemerintah desa, pada akhirnya mampu mengkondisikan berbagai kepentingan pembangunan desa.

Sehingga berjalan dengan baik dalam menopang visi dan misi pembangunan Desa Sumurup. Dan selanjutnya, kebiasaan warga masyarakat dalam berkesenian Jaranan ini, pada akhirnya mampu menyusup ke berbagai ranah kehidupan warga desa. Baik itu ranah ekonomi maupun ranah sosial kemasyarakatan. Dan yang tidak kalah hebatnya adalah mampu menumbuhkan rasa kebanggaan masyarakat sebagai warga Desa Sumurup.

Di Desa Gondowangi, atas peran Kepala Desa yang berupaya menumbuhkan budaya lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan desa, Ritual Bersih Desa digagas dan dihidupkan kembali dengan berbagai rangkaian aktivitas budaya yang didalamnya tentunya berlangsung berbagai kegiatan sosial yang mengiringinya. Partisipasi warga yang dilalui sejak tahap persiapan hingga selesainya penyelenggaraan festifal budaya ini telah mampu melatih masyarakat untuk cakap dalam berkoordinasi antara satu kelompok warga dengan kelompok warga lainnya.

Tindakan aktif warga yang difasilitasi oleh pemerintah desa ternyata mampu membawa suasana kebersamaan yang sangat harmonis. Dan dengan kebersamaan itulah pemerintah desa menjadikannya sebagai modal sosial yang kuat untuk melakukan pembangunan desa tahap demi tahap untuk mencapai perkembangan desa ke arah yang lebih baik, lebih memakmurkan bagi seluruh warga desa. Semangat inilah yang digagas oleh pemerintah desa melalui peran yang dimainkan oleh Kepala Desa.

Antara dua desa ini memang berbeda karakter dalam proses mendorong pembangunan desa melalui ruang budaya yang ada di desa. Di satu sisi peran pemuda desa sangat menonjol dalam mendorong pembangunan desa dan disisi yang lain peran ini dimainkan oleh Kepala Desa yang memang sudah seharusnya menjalankan peran tersebut. Apapun yang dilakukan oleh dua eksponen desa dalam pembangunan desa, kesemuanya telah bertindak untuk merawat dan menyuburkan praktik-praktik budaya dan menjadikan cawan penumbuh akar yang kuat terhadap arah pembangunan desa yang ingin dituju dengan harapan pembangunan desa dapat tegak menjadi batang dan ranting yang kokoh pada setiap lininya.

Dan memang setelah lebih dari 70 tahun merdeka, pembangunan telah banyak memproduksi keberhasilan, namun ukuran keberhasilan itu lebih berdasarkan norma pemerintahan/negara, sehingga parameter yang bersumber dari lokalitas seperti spirit kebersamaan dalam praktik-praktik kebudayaan tak banyak mendapatkan ruang. Implikasinya, jarak antara pencapaian pembangunan dan kebutuhan masyarakat yang dilahirkan sering kali ‘jauh panggang dari api’.

Maka denyut spirit berkebudayaan setidaknya akan menghadirkan nilai-nilai lokal yang mampu menjadi akar untuk menumbuhkan keberlanjutan pembangunan desa yang tangguh. Ruang budaya mampu menumbuhkan, pertama, nilai partisipasi yang hadir secara utuh karena digerakkan dengan dorongan kebersamaan. Kebersamaan juga merupakan inti persaudaraan dimana nilai ini masih sangat kuat di masyarakat desa. Dari sini relasi pembangunan tidak menjadikan isolasi antar kelas yang berpotensi  menjadi gelanggang pertarungan. Oleh karena itu, nilai partisipasi seolah menjadi alarm pengingat bahwa pembangunan mesti menjadi pengungkit nilai kebersamaan dan bukan panggung persaingan.

Kedua, nilai toleransi pun tampil dari sini yang juga merupakan pangkal untuk meyakini bahwa sumber pembangunan adalah spiritualitas. Nilai toleransi sebagai mata air spiritualitas tertinggi, dan akan akan mengalirkan moralitas yang jernih dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Ketiga, nilai kerelaan mengontribusikan sumberdaya yang mempertautkan masyarakat desa dengan aktivitas praktik-praktik kebudayaan, tentunya akan menerbitkan potensi-potensi yang selama ini tersuruk dan mengendap.

Nilai inipun merupakan tangkai terpenting berhubungan dengan modal pembangunan desa dan sebagai mata rantai pembangunan (ekonomi) desa. Bila dipantulkan pada poros kebijakan saat ini dimana desa adalah altar baru pembangunan nasional, maka pengelolaan sumber daya ini dapat disematkan kepada semacam institusi koperasi atau  BUMDesa.

Keempat, nilai kerjasama yang dalam berapa aspek  diterjemahkan menjadi gotong royong. Nilai ini masih menjadi bahasa relasi antar manusia di desa. Harkatnya harus tetap dijaga kadar serta kualitasnya mesti dipertahankan, sebab modal sosial ini adalah sumber keabadian bangsa, bagaimana tidak modal itulah yang membuat desa tak tercerabut dalam kemalangan penyakit individualisme karena dijaga oleh nafas gotong royong.

Akumulasi dari nilai-nilai tersebut di atas dapat menjadi akar tunjang visi misi pembangunan desa. Upaya terus menyemai dan merawat ruang-ruang budaya di desa menjadi pangkal harapan. Dengan demikian, menempatkan desa sebagai sumbu pembangunan adalah sebuah keniscayaan. Sehingga puncak pembangunan nasional yang dimaknai sebagai adil dan makmur, merupakan agregasi dari praktik kehidupan serta nilai-nilai luhur budaya yang masih berjejak hingga kini di dalam masyarakat desa.

Foto : Dokumen Pribadi
  • Dhanny S. Sutopo, menyelesaikan pendidikan magister di Departemen Antropologi Universitas Indonesia 2003. Bekerja sebagai dosen dan peneliti di Jurusan Sosiologi dan Program Studi Antropologi di Universitas Brawijaya (UB) Malang. Selama 5 tahun terakhir karya-karya penelitian dan pengabdiannya lebih banyak berkutat dengan posisi budaya dalam upaya pembangunan pedesaan.

[1] Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 114 Tahun 2014  tentang Pedoman Pembangunan Desa.