Ross Tapsell : Media Baru Melahirkan Politik Baru

Pengajar di Australian National University (ANU) Ross Tapsell memberikan kuliah tamu di Universitas Negeri Malang. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Pengajar Australian National University (ANU) Ross Tapsell menyuguhkan gambar Presiden Soeharto dan logo TVRI saat kuliah umum di hadapan mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, Senin 4 Maret 2019. Menurutnya, televisi yang dilahirkan era Presiden Sukarno pada 1962 itu menjadi alat penting penguasa Orde Baru. Mulai 1965, TVRI menjadi alat Soeharto menyampaikan pesan-pesannya.

“TVRI menjadi legitimasi pembangunan. Setiap malam Soeharto berpidato di TVRI. Memberi pesan Soeharto adalah bapak pembangunan,” kata Ross kepada ratusan mahasiswa dan pengajar Bahasa Indonesia  di aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Padahal, saat mendirikan TVRI Presiden Sukarno bercita-cita TVRI berfungsi sebagai penyampai pesan kebhinekaan. Menyatukan Indonesia sebagai Negara kepulauan.

Orde Baru, katanya, mengucurkan banyak uang untuk TVRI. Sebagai media yang hanya menyampaikan pesan satu arah dan tak ada interaksi, televisi menyihir penonton. Televisi menjadi penting, kata Ross, untuk pemerintahan yang otoritarian. “Televisi penting bagi orde baru saat itu,” katanya.

Ross mengutip pernyataan Indonesianis Benedict Anderson yang menyebut surat kabar memiliki makna penting untuk kemerdekaan. Surat kabar berbahasa Indonesia efektif untuk menyampaikan pesan dan menjadi alat perjuangan. “Tanpa surat kabar berbahasa Indonesia, tak akan ada Indonesia,” kata Ross menirukan Ben Anderson.

Pada 1971 TVRI bersiaran, jumlah pemilik pesawat televisi sekitar 200 ribu unit. Namun pada 1980 telah berhasil menjangkau 82 persen penduduk Indonesia. Selanjutnya teknologi berkembang, hadir televisi satelit. Warga Jakarta bisa mengakses televisi dari Thailand, Malaysia dan drama Korea dengan televisi satelit.

“Pemerintah menganggap kehadiran televisi satelit menjadi masalah karena pemerintah tak bisa mengontrol pemirsa,” ujarnya. Selanjutnya pemerintah membuka lahirnya izin stasiun televisi swasta. Lahirlah RCTI dan SCTV. Namun ada aturan tak tertulis, pemilik media harus menjadi teman keluarga Soeharto. Para pengusaha seperti Abu Rizal Bakrie, dan Peter Sondakh mendirikan televisi.

Dampaknya orang kaya lebih kaya dan menempati posisi penting di politik. Terjadi oligarki.  Saat perubahan rezim melahirkan oligarki baru. Pada 1990 teknologi internet menjadi bagian penting dalam berdemokrasi. Internet memiliki peranan penting bagi aktivis pro demokrasi sehingga melahirkan reformasi.

“Komunikasi para aktivis menggunakan internet.  Tak mudah dipantau atau dimata-matai,” katanya. Ketika ada media baru, katanya, ada politik baru. Surat kabar melahirkan kemerdekaan, televisi hadir saat pemerintahan otoritarian, televisi satelit melahirkan oligarki, dan internet hadir mengubah iklim demokrasi dan perubahan politik.

“Bagaimana sekarang?,” tanya Ross. 

Buku kuasa media di Indonesia : kaum oligarki, warga dan revolusi digital karya Ross Tapsell.

Dampaknya, media besar menjadi lebih besar karena madia baru.  Pada era konvergensi atau menggabungkan media televisi, online atau daring dan cetak. Pemilik media menjadi lebih besar dan memiliki posisi penting dalam politik dan dekat dengan kekuasaan. “Pemilik media lebih kaya sekarang dibanding 10 tahun lalu,” kata Ross.

Lantaran pengusaha menggabungkan media dengan biaya rendah namun menghasilkan keuntungan yang berlipat. Harry Tanoesoedibyo dengan Media Nusantara Citra Grup memiliki beragam media. Erick Tohir dengan kelompok Mahaka juga mulai mendekati kekuasaan dengan menjadi Ketua tim pemenangan calon Presiden Joko Widodo- Kiai Haji Ma;ruf Amien.

Sedangkan Chairul Tanjung juga sama mendekati kekuasaan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Digitalisasi melahirkan konsentrasi kepemilikan media, media besar menjadi semakin besar, dan orang kaya semakin kaya. Delapan kelompok media besar melakukan pemusatan kepemilikan.

“Era digital juga melahirkan konter oligarki,” katanya. Jika seseorang tak suka dengan kebijakan pemerintah bisa menyampaikan keluhan di media sosial. Lahirlah situs kawal pemilu untuk memantau proses pemilihan umum. Di Papua, kata Ross, melahirkan tabloid Jubi untuk mengontrol kekuasaan.

Penulis buku Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital ini menyebutkan generasi milenial juga bersikap. Mereka yang tak suka politik, mencegah korupsi dan tak suka birokrasi berjalan lambat melakukan konter oligarki. Mereka memanfaatkan media digital untuk melakukan aksi. Kebanyakan merupakan kelas menengah.

Saat zaman digital seperti sekarang, katanya, berita di media sulit untuk mendukung sistem demokrasi. Era post truth, lebih banyak emosi daripada fakta dan kebijakan. Di dunia maya, buzzer, cyber trooper, mencari panggung dengan memanfaatkan emosi publik di ruang digital.

Pengajar di Australian National University (ANU) Ross Tapsell memberikan kuliah tamu di Universitas Negeri Malang. (Terakota/Eko Widianto).

“Demokrasi kita lelah. Lelah dengan kebisingan di dunia digital. Saling serang. Itu juga jadi masalah di Amerika.”  Sejak 2009, Ross yang sempat bekerja di surat kabar berbahasa inggris The Jakarta Post di Jakarta. Serta liputan di Malaysia dan Filipina ini melakukan riset mengenai model bisnis keuangan media.

Menurutnya, sistem demokrasi di Indonesia bagus dan kuat sampai 2009. Sedangkan saat sistem demokrasi di Indonesia menurun.  Kondisi yang sama juga terjadi di sejumlah Negara termasuk Amerika.

Ia mengingatkan jika kemasan menjadi hal penting, sedangkan publik tak terlalu peduli dengan pesan. Terutama di televisi, juga terjadi pada debat calon presiden Amerika pertama Jhon F Kennedy melawan Richard Nixon pada 1960.

JFK tampil dengan pakaian rapi dan gaya yang santai. Sedangkan Nixon terlihat tua dan tak menarik. Sedangkan pesan yang disampaikan Nixon bagus, namun warga Amerika justru hanya melihat penampilan JFK dan memilihnya. Sedangkan pesan yang disampaikan tak dihiraukan. Kondisi yang sama juga bakal terjadi di Indonesia.

Sehingga saat Pemilu seperti sekarang, pelaku didukung gerakan literasi digital. Lantaran banyak yang hanya memperoleh informasi di Facebook. Pengguna media sosial malas melihat dan mengecek fakta. Terutama orang tua yang pertama kali atau awal mengakses Facebook. Mereka langsung percaya dengan informasi yang berseliweran. Orang tua meneruskaninformasi tersebut melalui aplikasi perpesanan.

“Tak ada cek fakta, data dan informasi. Mudah termakan hoaks,” katanya.

Kondisi media di Amerika sama, lembaga penyiaran publik lemah. Sama dengan TVRI yang tak banyak ditonton dan lemah . Penonton TVRI hanya sekitar 1,4 persen. Pemerintah juga tak banyak menyalurkan dana ke Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tersebut. Berbeda dengan Inggris yang memiliki BBC dan Australia dengan ABC.

Media tersebut sangat dipercaya publik. Menghadirkan multi platform dan pemerintah memberikan biaya besar untuk mendanai LPP. Selain itu, pengusaha media Rupert Murdock tak tertarik dan tergiur kekuasaan. Meski dia memiliki jaringan media yang tersebar di Australia, Inggris dan Amerika.

Sementara di Indonesia pengusaha media tergiur jabatan dan terjun dalam politik praktis. Mereka mendirikan partai politik atau menjadi pimpinan partai politik untuk merebut kekuasaan di pemerintahan.