
Terakota.id–Berambut putih, bercelana selutut dan kemeja kotak berwarna merah dan putih, senyum mengembang di bibir Romo Franz Magnis Suseno. Bersepatu gunung dan kedua tangan mengenakan kaos tangan tebal, tangannya memegang batu gunung. Ia berpose di sebuah dinding Gunung Alpen, Eropa pada 7 Juli 2009.
“Saya jarang berfoto saat mendaki,” katanya di Universitas Muhammadiyah Malang, Kamis 7 Februari 2019.
Tak ketinggalan punggungnya memanggul sebuah tas gunung. Rohaniawan sekaligus budayawan yang bernama lengkap Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis ini kerap mendaki gunung. Sejumlah gunung telah taklukkan, tak jarang ia mendaki gunung seorang diri.
“Mendaki Gunung Gede 20 kali, setengahnya mendaki sendirian,” ujarnya. Ia mengisahkan suka mendaki gunung sejak mengenyam pendidikan Ilmu Kerohanian, di Jerman pada 1957. Sekolah kerohanian tersebut dekat dengan pegunungan. Sehingga rohaniawan Katolik yang berstatus warga Negara Indonesia sejak 1977 ini ketagihan mendaki gunung.
Setelah berganti kewarganegaraan ia menambah Suseno di belakang namanya. Romo Magnis mengaku tak sengaja mendaki gunung sendirian. Ia mendaki gunung karena bersamaan ada acara yang dekat dengan lokasi gunung. “Saya mendaki sendirian ke gunung Gede, Merbabu, Merapi. Gede, Lawu, dan Welirang,” katanya.
Dulu, katanya, ia setiap tahun mendaki ke Gunung Gede. Pertama kali mendaki Gunung Gede sendirian pada medio 1992-1993 saat ia menjabat sebagai Ketua STF Driyarkara. Senat Mahasiswa saat itu, katanya, menggelar pelatihan di atas Gunung Gede. Para mahasiswa berangkat magrib, sedangkan ia tengah ada acara yang sama saat itu. Romo Magnis memilih mendaki sendirian pukul 24.00 WIB.
“Saya berhasil melewati mereka, ternyata mereka belum sampai di atas,” katanya.

Romo Magnis menyukai mendaki gunung untuk menghindari kepadatan manusia di perkotaan. Sehingga ia memilih sendirian dan menyepi. Menghindari dari hiruk pikuk dan keriuhan di perkotaan. “Naik gunung sepi, sendirian. Alam begitu indah,” ujarnya.
Di Gunung Gede misalnya, saat bulan purnama ia melihat keindahan bulan purnama. Cahaya rembulan melintasi dedaunan. Saat pagi, sekitar pukul 05.00 WIB melihat ufuk di timur terang. “Mengasyikkan, berjam-jam naik gunung dan menikmati keindahan alam,” katanya.
Hampir jika ada acara di Yogyakarta, misalnya, ia menyempatkan mendaki Gunung Merapi. Romo Magnis mengaku sekitar 12 kali mendaki Gunung Merapi dan hapal jalur. Sekitar lima kali mendaki sendirian. Bahkan, ia mengaku bisa memandu para pendaki yang akan naik ke Gunung Merapi.
Disangka Hantu
Saat mendaki Gunung Gede, ia bertolak dari Sendang Raya pukul 02.00 dan sekitar pukul 08.00 berada di puncak. Gunung Gede meninggalkan kesan baginya. Termasuk kisah yang menggelikan. Saat mendaki melintasi sebuah hutan, ia melongok di atas terlihat rombongan pendaki dengan sorot senter.
“Mereka memangil-manggil, saya tak bisa menjawab. Hanya menarik nafas,” katanya. Saat melewati rombongan yang tengah beristirahat, ia terengah-rengah. Nafas tersengal-sengal. Ia mengatur nafas. Lantaran jalan cukup menanjak yang menguras tenaga.
“Saya datang dengan suara terengah-engah. He….he…he….Mereka takut, mengira ada roh,” ujarnya sambil terkekeh.
Kisah mendaki sendirian juga dilakoni saat berkunjung ke Malang, ia meminta diantar ke Tretes, Kabupaten Pasuruan. Lantas ia mendaki sendirian ke Welirang dan sempat beristirahat di gubuk tempat kuli panggul pencari belerang. Jalur di Gunung Welirang jelas, sehingga ia mendaki sendirian dan tak membutuhkan pemandu.

Untuk mendaki, ia selalu mempersiapkan diri. Mulai mempersiapkan fisik hingga bekal yang harus dibawa. Romo Magnis melatih kondisi fisik, dengan rutin berjoging. Saat mendaki, katanya, harus dalam keadaan fisik kuat.
Persiapan fisik untuk medan berat, ia akan berlatih secara intensif selama tiga bulan sebelumnya. Bahkan jika dibutuhkan menambah jarak dan internal training joging. Melatih agar kuat saat mendaki di medan yang berat.
Saat mendaki sendirian, rombongan pendaki melihat dengan heran dan kadang takut. Kadang mengira hantu. Berjalan malam hari, ia takut takut hantu namun ia sering menggali informasi binatang buas atau berbisa yang berbahaya. Agar bisa menghindari.
“Saya senang ada teman mendaki. Ke Gunung Semeru, Butak, Arjuna juga naik bersama-sama,” katanya. Jika tak ada teman, ia memilih mendaki sendirian. Romo Magnis juga pernah mendaki ke Gunung Raung, bersama tiga pemandu local asal Bondowoso.
Ia berjalan cukup lama, saat menginap di sebuah hutan ia membuka tenda. Tak sengaja seorang pemandu menendang api unggung. “Saya keluar tenda api membesar,” katanya.
Lantaran pohon pinus yang kering sehingga api semakin merembet. Sedangkan mereka bingung tak bisa memadamkan api. Romo Magnis memilih mengambil alih dengan memegang kayu. Ia memukul api di bagian paling atas. “Api dipukuli sampai mati,” katanya.
Sedangkan untuk bekal, tas ransel berisi pakaian secukupnya, air untuk kebutuhan diri yang cukup, dan bekal makanan yang memadai. Tak lupa, ia membawa bekal jas hujan jika saat musim penghujan. Ia kadang membawa tenda kecil seberat dua kilogram. “Tenda, cukup untuk dua orang.”
Kini, ia sudah berhenti mendaki. Sejak lututnya mengalami radang sendi lutu atau osteoarthritis. Radang dialami karena kebanyakan mendaki gunung. Ia sempat menghitung telah turun gunung sejauh 220 kilometer dengan bidang vertikal.
“Saat naik tak apa-apa, pas turun lutut terasa sakit,” katanya. Radang itu ia rasakan sejak 2003. Hingga akhirnya memutuskan berhenti mendaki gunung.

Jalan, baca dan makan
[…] Bahkan, meluber hingga ke jalanan. Di jalan poros dusun itu, masjid berdekatan dengan gedung gereja Katolik dan […]