Iklan terakota

Beralih Bertani Organik

Wisatawan memotret kebun apel di Kota Batu. (Terakota.id)

Sementara Pramono, 55 tahun, petani apel Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu memilih mendirikan kelompok tani makmur abadi (KTMA) untuk memberdayakan petani.
Tujuannya, untuk meningkatkan koordinasi antar petani dan berotong royong menyelesaikan persoalan budidaya tanaman apel. Bersama kelompok tani, ia menyerap dan mengembangkan teknologi pertanian. Sehingga produktifitas tanaman tetap terjaga meski usia tanaman mencapai 40 tahun sampai 50 tahun.

“Bertani apel turun temurun dari orang tua,” katanya. Sehingga, ia merawat tanaman sesuai pengalaman yang diturunkan orang tua. Namun, bersama kelompok tani semakin membuka cakrawalanya dengan menerapkan berbagai teknologi pertanian. Mereka secara otodidak mengembangkan pola tanam untuk menghasilkan buah apel yang bermutu.

Merawat apel, katanya, selama ini hanya berdasarkan pengalaman para petani. Apel merupakan tanaman sub tropis tetapi ditanam di daerah tropis. Tanaman apel mulai ditanam oleh warga Belanda pada 1930 an. Suhu udara Batu yang sejuk menjadi alasan untuk menanam apel. Apel jenis roombeauty menjadi varietas pertama yang ditanam di Batu.

“Tanaman apel ditanam di Batu kan menyalahi kodrat,” katanya. Sebab tanaman tersebut harus dirawat secara ekstra. Di daerah sub tropis, saat musim gugur daun tanaman apel rontok. Setelah daun berguguran, tumbuh bunga hingga berbuah. Sedangkan, di Batu daun dipaksakan gugur dengan cara perontokan.

Berbeda dengan negara sub tropis dimana apel berbuah setahun sekali. Sedangkan di Batu buah apel bisa berbuah sepanjang musim. Namun, tanaman apel di daerah tropis menyebabkan hama dan penyakit terus mengintai. Salah satunya, hama kutu trips yang menghisap cairan tanaman.

Jika dibiarkan menyebabkan tanaman mengering dan mati. Kutu tersebut menempel di tanaman dan daun, juga menyebabkan tanaman burikan. Hama tanaman ini menjadi ancaman petani apel, jika panik para petani menyemprot dengan pestisida dosis tinggi.

Setelah perontokan daun, Pramono menebar bubuk NPK setiap pohon rata-rata menghabiskan sebanyak 1 kilogram, lantas ditambah dengan pupuk kandang. Setiap musim ia menghabiskan dana sebesar Rp 50 juta-Rp 60 juta untuk pengadaan pupuk, pestisida dan ongkos pekerja.

Musim hujan menjadi masalah petani apel di Batu, lantaran matahari tak bersinar sehingga bunga apel tak bisa berfotosintesa. Persoalan ini diselesaikan para petani dengan menyemprot hormon. Hasilnya, cukup menggembirakan buah tumbuh normal. “Berawal dari coba-coba,” katanya.

Untuk memulihkan kesuburan tanah, mereka rutin menggerojok dengan pupuk organik meliputi kompos dan pupuk kandang. Mereka juga memiliki gudang untuk pengolahan pupuk organik. Setiap bulan menghasilkan sebanyak 40 ton pupuk untuk memenuhi kebutuhan anggota sebanyak 45 petani. “Tapi tak bisa organik total, tapi penggunaan pupuk kimia dan pestisida terkontrol,” katanya.

Mengenai ukuran apel yang terus menyusut, katanya, disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Selama ini justru apel berukuran besar lama diserap pasar karena harga lebih mahal. Sehingga petani memilih memproduksi buah apel berukuran sedang dan kecil. Ukuran apel, katanya,  ditentukan melalui proses penjarangan buah. Jika ingin buah apel berukuran besar
maka buah dirontokkan atau dilakukan penjarangan. Sehingga buah apel tumbuh besar dan berukuran seragam.

Selain itu, jarak tanah yang terlalu dekat menyebabkan pertumbuhan tanaman apel di Batu kurang maksimal. Jarak tanah idealnya 3 meter kali 3 meter, petani menanam 2 meter kali 1,5 meter bahkan ada yang menanam 1 meter kali 1 meter. Lantaran luas lahan petani terbatas, sejumlah petani ada yang hanya memiliki lahan seluas 1.000 meter persegi.

Sedangkan Pramono yang juga bendahara Kelompok Tani Makmur Abadi ini menanam 1.000 pohon di lahan seluas hektare. Rata-rata setiap pohon menghasilkan buah apel sebanyak 2 kwintal. Sementara selama ini ia tak melakukan peremajaan tanaman meski tanaman telah berusia 40 an tahun. “Hanya mengganti tanaman yang mati,” katanya.

Selama ini seluruh buah apel yang dihasilkan dijual ke tengkulak. Saat ini, petani menjual apel  seharga Rp 9 ribu-Rp 10 ribu per kilogram. Sejuah ini tak ada pengolahan pasca panen, tengkulak langsung membeli di kebun apel. Buah apel dimasukkan dalam keranjang dan diangkut truk dan pikap ke gudang penyimpanan milik tengkulak. Infrastruktur jalan
juga tergolong bagus tak ada kendala dalam distribusi buah apel.

Selanjutnya, tengkulak mencuci dan mengemas buah apel dalam peti. Lantas buah diangkut ke pasar tanpa menggunakan lemari pendingin. Petani, katanya, jarang yang terlibat dalam pengolahan buah apel. Ragam produk olahan apel dikerjakan industri kecil seperti minuman
sari apel, keripik apel, jenang apel dan cuka apel.

“Berbagi peran, petani cukup memproduksi apel,” katanya. Kelompok taninya, pernah mendapat bantuan alat penggoreng vakum untuk keripik apel dari pemerintah. Namun, alat tersebut tak bisa digunakan. Selain itu, petani tak memiliki tenaga untuk mengerjakan penggorengan.

2 KOMENTAR