Umat Hindu bersembahyang dalam rangkaian upacara Tawur Agung Panca Wali Krama di Pura Besakih, Karangasem, Bali, Rabu 6 Maret 2019. Ritual 10 tahun sekali untuk mengembalikan keharmonisan dan keseimbangan alam. (Foto : Antara).
Iklan terakota

Terakota.id-Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana alam terjadi pada awal 2021. Sampai 20 Januari 2021 terjadi 170 kejadian. Banjir menjadi kejadian terbanyak sebanyak 114 kasus, tanah longsor 30 kasus, puting beliung 18 kasus dan lima kasus gelombang pasang atau abrasi.

Bencana menelan korban jiwa 160 orang meninggal, 965 luka-luka dan satu orang hilang. Sebanyak 802.415 jiwa mengungsi. Selain korban jiwa, bencana juga menyebabkan 133 rumah rusak berat, 1.685 rumah rusak ringan, 60 rumah rusak sedang, dan 126.672 rumah terendam.

Masyarakat Bali memiliki kearifan lokal menghadapi bencana. Ditulis dalam Lontar Roga Sanghara Bhumi. Sebuah lontar berukuran 30 centimeter dan lebar tiga centimeter yang ditulis dalam aksara Kawi atau Jawa Kuno. Berisi nasihat-nasihat hubungan manusia dengan para dewa dan tata upacara penyucian bumi. Secara isi, naskah ini tergolong lontar tutur.

Roga Sanghara Bhumi berasal dari kata Roga dalam bahasa Sansekerta berarti penyakit. Sanghara dalam bahasa Sansekerta artinya kehancuran, khususnya kehancuran alam semesta pada akhir periode. Sedangkan kata Bhumi dalam bahasa Sansekerta berarti dunia, tanah, daratan, daratan, dan dasar, hutan. Jadi, Roga Sanghara Bhumi berarti kehancuran dunia atau bencana alam.

Penjelasan itu disampaikan dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, I Nyoman Suka Ardiyasa menulis artikel berjudul Mitigasi Spiritual dalam Naskah Lontar Roga Sanghara Bhumi di Jurnal Sanjiwani Volumen 10 Nomor 1 tahun 2019.

“Lontar Roga Sanghara Bhumi merupakan naskah tentang bencana alam yang terjadi di dunia,” tulis Ardiyasa. Lontar Roga Sanghara Bhumi berisi tanda-tanda bencana alam, fenomena alam seperti pertanda baik dan buruk, serta ramalan terhadap dampak gempa berdasarkan sasih atau bulan Bali.

Naskah ini beraksara dan bahasa Kawi dengan penjelasan berbahasa Indonesia. Tertuang ajaran Teologi yang berpusat pada ilmu tentang Tuhan, pengetahuan rohani dan kepercayaan pada Tuhan. Tri Hita Karana mengajarkan konsep agama Hindu yang menjadi falsafah hidup masyarakat Bali. Keseimbangan yang berkorelasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitar.

Bencana alam tanda ketidakharmonisan kehidupan manusia. Bencana alam terjadi disebabkan ulah manusia mencemari dunia. Para Dewa marah, Bhutakala diperintahkan membuat bencana. Dalam lontar ini, kekacauan yang terjadi di bumi karena posisi dewa digantikan oleh Bhuta.

Dalam kepercayaan Hindu, Tuhan dimanifestasikan dalam wujud para dewa yang berkuasa atas kehidupan manusia. Bhutakala menguasai alam bawah kehidupan atau sifat manusia. Tuhan sebagai pencipta. Tuhan pula berkehendak sesuai dengan yang terjadi di dunia. Manusia yang melakukan pencemaran, Tuhan akan rusak tatanan hidupnya melalui Bhutakala.

Masyarakat Hindu memiliki cara pandang sederhana menghadapi bencana alam. Keributan dan saling menyalahkan tak akan menghentikan bencana. Sebaliknya bencana menjadi refleksi masyarakat atas perilaku buruk yang dilakukan.

Sebagai upaya pensucian dan netralisir atas perilaku buruk yang telah dilakukan, masyarakat Hindu Bali melakukan upacara ritual. Upacara dilakukan sesuai dengan tingkatan, mulai dari rumah tangga, desa, kabupaten / kota, dan provinsi. Tata upacara penyucian bumi tertoreh dalam 92 lembar lontar dengan masing-masing terdiri dari empat baris. Ritual ini menjadi sarana ‘komunikasi’ mohon maaf kepada Tuhan. Tingkatannya ada tiga, prayascita, guru piduka, labuh gentuh.

Upacara Prayascita. Upacara penyucian bumi ke tingkat rendah. Misalnya menghilangkan cuntaka (menjijikkan) karena seseorang meninggal di rumah, makan daging sapi, dan sebagainya. Upacara Prayascita dilakukan untuk menyucikan semua bangunan, taman, dan penghuninya.

Upacara Guru Piduka berarti seremonial permintaan maaf kepada dewa karena bumi kotor oleh ulah manusia (cuntaka). Upaara Labuh Gentuh adalah upacara penyucian bumi yang lebih tinggi dari Prayascita.

Menurut Widhi Sastra yang terdapat dalam aksara Roga Sanghara Bhumi, masyarakat Bali mengadakan upacara Tawur Agung Panca Walikrama setiap lima tahun sekali. Upacara Panca Walikrama dilakukan di Pura Besakih. Masyarakat Bali percaya jika tidak melaksanakan upacara tersebut, Bhatara Putrajaya akan menyebarkan penyakit mematikan. Dunia dihancurkan dan terjadi kerusuhan dimana-mana.

Dalam upacara Tawur Agung Panca Walikrama  masyarakat Bali mempersembahkan jenis hasil bumi, beberapa jenis hewan dan unggas dalam upacara. Persembahan ditujukan kepada Dewa dan Bhutakala. Upacara ini menjadi penyucian rutin atas bumi yang sudah kotor selama lima tahun sebelumnya.

Umat Hindu mengambil sesajen usai persembahyangan dalam upacara Tawur Agung Panca Wali Krama di Pura Besakih, Karangasem, 6 Maret 2019. Ritual 10 tahun sekali untuk mengembalikan keharmonisan dan keseimbangan alam. (Foto : Antara)

Melalui upacara Tawur Agung Panca Walikrama diharapkan para dewa tidak marah dan memaafkan tingkah laku manusia yang mencemari bumi. Bumi menjadi bersih (wus kaparisuddha). Demikian pula Bhutakala tidak lagi mengganggu kehidupan manusia karena telah diberi  sesaji. Manusia akan mampu hidup tenang, damai, murah untuk kebutuhannya.

Dalam teks Roga Sanghara Bhumi juga ada tanda-tanda baik yang akan terjadi. Jika terjadi hujan yang airnya tampak kekuningan, Madewa Suddha. Kata “Madewa Sudhha” berarti Tuhan yang memurnikan dunia ini. Jika hujannya menyentuh tubuh manusia maka di sana akan mendapat keselamatan.

Jika terjadi hujan yang airnya berwarna keputih-putihan, desa tersebut memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Semua hama akan hilang. Kehadiran karya sastra mengingatkan manusia untuk waspada terhadap hal buruk dan hal baik yang dilakukan. Karya sastra selain menjadi hiburan juga sebagai bahan ajaran.