
Oleh: Sugeng Winarno *
Terakota.id–“Riyoyo gak nggoreng kopi, ngedep mejo gak ono jajane” (Hari Raya tak menggoreng kopi, melihat meja tak ada kuenya). Inilah salah satu parikan khas Jawa Timuran untuk melukiskan suasana prihatin saat lebaran Idul Fitri. Prihatin kenapa? Ya, karena lebaran tak punya uang, sampai-sampai tak mampu beli biji kopi untuk di goreng. Aneka jajanan lebaran juga tak bisa terbeli, karena uang tak ada. Memprihatinkan.

Parikan Riyoyo Gak Nggoreng Kopi ini tak hanya untuk melukiskan gimana pedihnya lebaran gak punya uang, namun biasanya juga untuk menggambarkan situasi lebaran yang tak bisa pulang kampung, berkumpul dengan keluarga besar. Saat lebaran bisa jadi masih dalam tugas bekerja, sedang sakit dan tak bisa bepergian, dan beragam situasi yang tak memungkinkan seseorang bisa pulang mudik saat lebaran.
Di saat banyak orang sedang hiruk pikuk melakoni tradisi mudik lebaran, sejumlah orang tak menjalaninya. Mereka dipaksa oleh keadaan harus bertugas menjadi pilot pesawat, sopir bus, masinis kereta, nahkoda kapal, ataupun sopir travel. Ada juga yang tak bisa mudik karena harus tugas jaga di rumah sakit, merawat pasien, menjadi petugas pemadam kebakaran, satpam, hingga polisi yang sedang sibuk mengatur lalu lintas.
Riyoyo (Lebaran) dan Kopi
Pada zaman dulu, tak semua orang bisa minum kopi seperti sekarang. Kopi termasuk dalam minuman yang kurang populer. Kopi masih menjadi minuman kelas tertentu, belum memasyarakat seperti saat ini. Dulu, saat lebaran, kopi disajikan menemani hidangan berupa kue-kue dan cemilan lebaran. Kopi, kue, dan lebaran menjadi paduan yang klop menemani kehangatan silaturahmi lebaran.
Berlebaran, bertemu, dan berkumpul dengan sanak keluarga serasa belum lengkap kalau tak ada kopi. Kopi menjadi minuman yang benar-benar ngangeni, sulit dipisahkan dengan lebaran. Kopi dengan beragam jenis dan aromanya itu seakan menjadi “obat bius” yang bisa bikin suasana lebaran tak mudah terlupa. Ngobrol, ketemu keluarga dan teman lama bisa makin gayeng bila ditemani secangkir kopi.
Dulu kopi seperti barang mewah. Kopi hanya di proses secara tradisional. Mulai menanam, merawat, memanen, menggoreng, dan menumbuknya dilakukan secara tradisional. Saat lebaran, di sejumlah daerah, perilaku menggoreng kopi dilakukan secara turun temurun hingga menjadi tradisi. Ya, lebaran nggoreng kopi untuk disuguhkan pada tamu-tamu yang datang. Tradisi nggoreng kopi biasanya dilakukan seminggu sebelum lebaran tiba.

Namun tak semua orang bisa menggoreng kopi. Kopi menjadi salah satu barang yang tak mudah di dapat dengan harga yang terjangkau saat itu. Tak semua orang bisa menyajikan minuman kopi di meja-meja tamu mereka. Tak semua bisa menggoreng biji kopi yang asli. Banyak orang mencampuri biji kopi dengan beras ketan atau jagung. Selain untuk alasan aroma dan citarasa kopi, mencampur dengan bahan lain dilakukan untuk menyiasati agar kopi bisa tetap bisa disajikan dengan uang yang pas-pasan.
Bagi orang yang tak mampu menghadirkan kopi saat lebaran, bisa dipastikan mereka berada pada situasi sulit. Mereka tak mampu membeli kopi karena tak punya uang. Kelompok orang yang termasuk golongan ini biasa mengatakan pada setiap tamunya “Riyoyo gak nggoreng kopi”. Keadaanya cukup sulit, hingga para tamu harap memaklumi keadaan itu. Keadaan semakin miris ketika di meja tamu juga tak tersedia kue lebaran. Hingga penderitaan mereka lengkap “Riyoyo gak nggoreng kopi, ngedep mejo gak ono jajane”.
Kopi dan Cafe
Untuk bisa nyruput kopi sekarang tak serumit zaman dulu. Bahwa untuk menikmatinya orang tak perlu bersusah payah harus menggorengnya sendiri. Kopi cepat saji (instan) dengan meragam merk telah tersedia dengan harga yang sangat terjangkau. Tak hanya itu, café yang menjual kopi dengan beragam konsep kini telah tumbuh bak jamur di musim hujan. Dimana ada potensi kerumunan massa, di sekitar situ pasti kita bisa jumpai café.
Kopi dan café kini telah menjadi tradisi baru. Ketika orang suntuk bekerja di kantor, mahasiswa yang ingin rehat dan mencari suasana baru, para pasangan muda mudi yang lagi membangun chemistry, biasanya datang ke café. Tak hanya itu, bagi para pebisnis, tak jarang deal-deal bisnis berawal dari minum kopi bareng di sebuah café. Bahkan tak jarang perbincangan politik yang rumit juga digelar sejumlah orang di café-café.

Bagi mayoritas anak muda, café telah menjadi bagian dari gaya hidup. Beragam produk kopi olahan lokal maupun manca telah masuk ke tanah air. Kopi tak sekedar menjadi perumpamaan lewat parikan Jawatimuran waktu itu, kini kopi dan aktivitas ngopi telah menjadi sarana diplomasi, deal bisnis, dan forum yang super serius. Café dan kopi juga telah menjadi tempat dan teman membincang gosip artis, nobar sepak bola, nonton kampanye politik, dan beragam aktivitas lain.
Kopi juga telah memunculkan beragam komunitas pecinta kopi. Banyak komunitas mulai penggemar, penikmat, pebisnis, pelestari kopi tumbuh di sejumlah daerah di Indonesia. Pendampingan pada petani-petani kopi juga banyak dilakukan sejumlah pihak. Kini kopi telah menjadi komoditas yang sangat diperhitungkan di tanah air. Ini sangat menjanjikan karena negeri ini sangat kaya dengan varian kopi terbaik.
Selamat bersilaturahmi bersama keluarga, sanak saudara, teman dekat saat sekolah, atau teman dunia maya yang ingin bertatap muka. Selamat menikmati lebaran dengan hidangan kue dan minum kopi di ruang-ruang tamu atau di café-café pilihan anda.
Anda yang bisa melakukan itu termasuk orang yang beruntung. Saat lebaran ini banyak saudara-saudara kita yang tak bisa pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga. Turut prihatin pada mereka yang tak bisa nyruput kopi dan menikmati lebaran bareng keluarga.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon maaf lahir batin. (*)

*) Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang