Ilustrasi (http://www.ininews24.com)
Iklan terakota

Oleh: Geger Riyanto*

Terakota.id–Pembangunan infrastruktur? Lima dari lima seniman yang saya jumpai mencibirnya. Kebijakan Jokowi, menurut mereka, dalam bahasa mereka masing-masing tentunya, tak mengindahkan manusianya, tersita ke permukaan, serta mengabaikan jiwa bangsa. Dan lama bergaul dengan para seniman, saya bisa menjamin, lima dari lima seniman yang belum saya jumpai pun akan berpandangan serupa.

Tapi, Jokowi atau bukan, ada keseragaman ganjil di antara para seniman dalam mengimajinasikan makhluk yang disebut pejabat. Pejabat acap dengan sendirinya lekat dengan pragmatisme, kering. Kedalaman jiwa mereka rendah. Kekuasaan, objek yang mereka gumuli dan menjadi perebutan sehari-hari mereka, pasalnya, membutakan mereka dari nilai-nilai yang lebih hakiki. Mereka hanya berkutat pada apa yang nampak, terobsesi dengan kepuasan banal, serta mengutamakan diri sendiri.

Dan bukan kali ini saja para seniman mengkritik RI-1 karena ketumpulan sensibilitas estetiknya. Masih ingat bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono, RI-1 sebelumnya, beberapa kali menangis di depan publik? Salah satunya ketika ia mendengar kisah korban lumpur Lapindo? Seorang budayawan mengomentarinya dengan mengibaratkan SBY dengan tokoh Tom dari film kartun Tom dan Jerry. Tom pada satu waktu dikerjai Jerry dan buntutnya terbakar. Tom menyadari api menjalari tubuhnya tetapi hanya setelah ia terbakar habis. Kemampuan merasanya mati dan ini merupakan resep untuk film komedi.

Lantas, apakah resep agar para pejabat memperoleh naluri estetiknya lagi? Agar kebebalan rasa mereka terkikis? Mereka harus membaca karya-karya para pujangga, katanya. Mereka harus melek dengan kesenian yang selama ini ditelantarkannya. Menonton pertunjukan-pertunjukan teater yang menjadi penanda zamannya. Mencicipi dan mengapresiasi lukisan yang menggegarkan para kritikus untuk waktu yang lama.

Tetapi, percayalah, asumsi di atas baru asumsi belaka (dan asumsi yang pongah). Pertama, tentu saja, karena kepekaan artistik bukanlah panacea (obat mujarab, Red.) untuk semua keruwetan hidup—lebih-lebih keruwetan politik. Apakah Anda masih percaya Aung San Suu Kyi, yang menjadi patron untuk ajang kesenian spektakuler di Myanmar, merupakan politisi teladan selepas Anda menyaksikan kebisuannya terhadap persekusi orang-orang Rohingya? Apakah Anda yakin Nazi, yang menggunakan pameran lukisan untuk mempromosikan supremasi ras Jerman, merupakan partai yang patut dicontoh?

Kedua, tak sedikit di antara para pejabat terpilih kita yang nyatanya mempunyai sensibilitas estetik yang mengagumkan. Hanya saja, kepekaan mereka tidak dapat dibatasi dalam definisi seni tinggi yang picik. Contoh utamanya? Bapak Joko Widodo sendiri. Siapa-siapa yang menuding pembangunan infrastruktur kering-kerontang boleh jadi belum pernah mencermati foto-foto Bapak Presiden mengawal proyek infrastruktur di berbagai daerah. Bapak Presiden kita bukan sosok yang paling gagah dan berwibawa, memang. Tetapi, kala ia berdiri mengawasi proyek-proyek strategisnya, sosoknya yang kurus dan tirus tidak kalah dengan pejabat paling karismatik sekalipun.

Cermati foto-foto berikut:

Jokowi mengawasi pembangunan Waduk Gondang Karanganyar
(Sumber: http://beritatrendmasakini.blogspot.co.id)
Jokowi bersama Menteri Basuki di jalan tol lintas Sumatera
(Sumber: presidenri.go.id)
Jokowi bersama Menteri Basuki di jalan tol lintas Sumatera
(Sumber: republika.co.id)

Di luar lingkaran pencibir Bapak Presiden, yang setia menuduhnya terobsesi pencitraan, foto-foto ini mempunyai daya magisnya tersendiri. Ia mengisyaratkan bahwa pembangunan memang benar-benar tengah bergulir. Presiden tengah bekerja secara nyata membangun negara ini. Dan bila Anda tidak percaya keampuhan gambar-gambar ini, Anda perlu merapal kembali gelar yang disandang Bapak Presiden saat ini: Bapak Infrastruktur Indonesia. Foto-foto pembangunan, yang marak di berbagai ruang publik, diedarkan oleh para warganet dengan inisiatifnya sendiri, adalah foto-foto semacam ini. Penerimaan publik atas kepresidenan Jokowi? Menurut rata-rata jajak pendapat, sangat tinggi.

Tentu, kita tak bisa menampik bahwa kegagahan Bapak Presiden mencuat berkat sudut pengambilan foto yang tepat. Tetapi, siapa pun fotografernya, mereka akan mengakui bahwa bangunan-bangunan megah dan modern dalam konstruksi di belakang sosok Jokowi adalah penentunya. Ikon kemajuan sebuah negara dalam benak banyak orang, harus diakui, adalah bangunan-bangunannya. Potret yang paling segera terbayang tentang Amerika Serikat adalah gedung-gedung pencakar langit di Manhattan—terlepas Manhattan hanya satu bintik kecil di petanya. Potret Jepang, negara yang disebut-sebut perekonomian terbesar kedua, adalah metropolitannya yang menjulang namun pada saat yang sama tertata rapi.

Hasil pencarian teratas “Amerika Serikat” di Google
(Sumber: harianriau.co)
Hasil pencarian teratas “Jepang” di Google
(Sumber: tribunnews.com)

Potret bahwa di Indonesia tengah dirampungkan bangunan-bangunan serupa, dengan demikian, menjadi penanda gamblang bahwa presiden tengah membangun negeri ini. Lebih-lebih, di pikiran khalayak, pembangunan negeri ini sudah mandek untuk waktu yang lama. Dengan fasilitas publik yang buruk, infrastruktur yang memprihatinkan, permukiman yang kumuh, kita nampak merupakan bangsa yang tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lainnya. Apa yang ditampilkan di foto-foto Jokowi menyiratkan kita tengah mengejar bangsa-bangsa paling maju dengan kecepatan paling penuh. Toh, retorika yang terus-menerus disampaikan Jokowi sendiri tak lain dari kita sedang mengejar ketertinggalan.

Keputusan Jokowi membangun infrastruktur sedari awal, artinya, adalah keputusan yang estetis. Ia peka bahwa apa yang dibutuhkan rakyat terkait pemimpinnya bukanlah laporan-laporan dirinya mengoordinasi menteri, membentuk unit kerja, atau memimpin rapat melainkan imajinasi-imajinasi mencengangkan ia turun tangan langsung mendirikan jembatan agar negaranya dapat menyeberang ke masa depan. Dan pada kenyataannya, kita dapat merogoh bukti beberapa proyek diselenggarakan lebih dengan rasa ketimbang kalkulasi yang cermat.

Proyek kereta cepat yang akan menghubungkan Jakarta-Bandung yang sempat heboh, misalkan. Anda boleh jadi menduga bahwa proyek yang akan menguras dana Rp70 triliun sudah direncanakan secara masak-masak, diperhitungkan faedah ekonominya, serta terstruktur implementasinya. Tetapi, proyek tersebut bahkan dimulai dengan langkah yang sama sekali menjungkirbalikkan bayangan tersebut. Pada tahun 2016, proyek tersebut masuk di antara proyek strategis nasional, yang berarti ia akan memperoleh pendanaan pemerintah, padahal baru saja tahun sebelumnya Perpres dari Jokowi menetapkan ia tak akan didanai dari APBN. Lantas, ketika proyek mulai nampak mangkrak lantaran persoalan pendanaan, Jokowi serta-merta menghendaki perusahaan Cina memiliki saham 90 persen dari yang sebelumnya 40 persen.

Wajar? Wajar. Toh, terlepas kedudukannya sebagai megaproyek, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menawarkan imajinasi yang terlalu menggoda untuk sekadar dipikirkan matang-matang secara ekonomis. Ia membersitkan bayangan Indonesia yang terkoneksi rapat satu sama lain. Tak peduli jarak yang memisahkan, warganya dapat berada di kota-kota lain dalam sekejap. Seandainya tertunaikan, ia akan menjadi simbol masa mendatang yang direngkuh paksa oleh Jokowi untuk hadir sekarang juga, di Indonesia. Inilah yang nampaknya melecut proyek ini sedari awal dan bukan perhitungan apakah faedahnya akan melampaui sumber daya yang terkuras untuk membangunnya, yang mengakibatkan para pejabat harus berakrobat hanya untuk memastikan proyek ini tak nampak stagnan.

Dan bila Anda mencermati master plan proyek New Yogyakarta International Airport yang kontroversial itu, Anda pun lagi-lagi akan menjumpai anasir-anasir futuristis terbentang dengan segenap geloranya di sana. Anda akan mendapati bangunan bandara yang memenuhi semua syarat untuk dikatakan modern. Anda akan kesulitan membedakannya dengan bandara-bandara yang acap diumbar terdepan di dunia. Bukan kebetulan bila para pejabat membandingkannya dengan bandara Mumbai yang ketika Anda telusuri di internet kata kunci ini akan menyajikan Anda bandara megah yang sulit Anda percaya benar-benar akan ada di Indonesia, lebih-lebih di luar Jakarta.

Master Plan New Yogyakarta International Airport
(Sumber: jawapos.com)

Pertanyaan yang lantas mencuat di antara para penghayat seni tinggi boleh jadi adalah di mana unsur estetik dari infrastruktur-infrastruktur ini? Namun, pertanyaan baliknya adalah, apa yang seharusnya dirasakan seseorang kala mencerap karya-karya seni adiluhung? Ketakjuban. Karya tersebut akan kontan merangsang segenap pengindraannya, melambungkan imajinasinya tinggi-tinggi dan, tanpa perlu lama-lama berpikir, sang insan akan memvonisnya indah. Dan Anda tahu, kualitas yang memantik sensasi sublim ini tak hanya tersemat pada karya-karya yang dikategorikan sebagai kesenian dalam kategori tersempitnya.

Dan apa yang dirasakan ketika seorang warga Indonesia memperoleh citra negaranya yang tengah membangun dirinya menjadi teratur, modern, jauh dari kesan amburadul yang dijumpainya sehari-hari? Saya kira, ekstase estetis yang serupa dengan yang dirasakan seseorang ketika ia mendapati karya seni yang dianggapnya menawan. Hanya saja, perasaan yang dialami sang warga boleh jadi bahkan lebih kuat. Jauh lebih kuat. Ia tak hanya memperoleh karya seni, yang hanya dapat dipandang-pandangnya dari balik etalase dengan kagum, melainkan janji kenyataan yang lebih molek untuk dihidupinya. Masa depan yang hanya dapat diidam-idamkannya sebelumnya menjadi terasa begitu dekat dengannya. Yang tak pernah dibayangkannya ada menjadi nyaris ada.

Dan sosok yang berada di garda terdepan dari revolusi infrastruktur ini, dengan sendirinya, akan lekat dengan harapan. Proses nyata untuk menyajikan imajinasi negara Indonesia yang tengah mengambil langkah-langkah besar menuju kemajuan—penerabasan aturan dan hak warga, pelibatan jejaring bisnis dan politik terdekat—akan terkesampingkan dan apa yang tersisa tinggal citra-citra keluarbiasaan sang figur.

Berbicara inkorporasi estetika untuk menegakkan legitimasi politik, Jokowi bukanlah sosok pertama dalam sejarah Indonesia yang melakukannya lewat pembangunan tentu. Pada tahun 1950-an, Jakarta jelas belum memiliki fondasi ekonomi yang memungkinkannya tampak sebagaimana kota-kota besar dunia. Akan tetapi, Sukarno, berangkat dari keinginannya menampilkan ibu kota sebagai pusat kekuasaan nasional, menginisiasi berbagai rekayasa estetik terhadapnya. Sekadar beberapa di antaranya, ia memerintahkan dibangunnya Hotel Indonesia, Stadion Gelora Bung Karno, Patung Pancoran, Masjid Istiqlal, dan tentu saja Monumen Nasional. Dengan ini, Sukarno menyediakan kepada warganya alasan-alasan untuk merasa dirinya merupakan bagian dari bangsa yang besar.

Kendati demikian, pemberlakuan demokrasi dua dekade terakhir ini mensyaratkan rezim kini membawakan usahanya menata negara secara estetis bila ia tak ingin kehilangan dukungan populer. Dengan bergesernya aturan main di ranah politik, para aktor politik tak bisa lagi semata mengandalkan koalisi kepentingan elite untuk meraih kekuasaan. Preferensi warga terhadap figur tertentu, yang acap kali berangkat dari pertimbangan-pertimbangan irasional, punya andil yang sama kalau tidak lebih penting.

Dan berbicara Jokowi, memang, kita berbicara tentang seseorang yang sedari awal insaf bahwa langkah-langkah politik adalah langkah yang mesti tercitra menakjubkan di antara warga. Kebijakan bukan hanya mesti mempunyai kemampuan mengurai masalah melainkan menyihir dan ini adalah kualitas yang, menyitir kritikus Tim Park, jamak dimiliki karya seni alih-alih kebijakan. Sebagai wali kota Solo, Jokowi membangun imajinasi kepada orang-orang di berbagai tempat bahwa kota mungkin untuk ditata menjadi rapi dengan cara yang manusiawi ketika pada saat yang sama penataan kota bukan hanya tercitra kejam melainkan juga tak berhasil. Hal inilah, toh, yang melambungkan namanya ke bursa Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, lantas, ia membangun citra dirinya sebagai seorang pemimpin yang tak sungkan menjumpai rakyat dan mengawal pembangunan di bawah dengan blusukan ketika imajinasi yang semarak tentang politisi adalah sosok yang mementingkan diri sendiri dan menjauhkan diri dari warganya. Hal inilah yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu Indonesia saat ini.

Dan para politisi selain Jokowi yang sukses menegakkan sosoknya dalam alam pikiran publik, toh, tak lain dari mereka yang manuver-manuvernya mencitrakan mereka berhasil membangun daerahnya menjadi cantik dan teratur. Risma dengan pembangunan trotoarnya, tentu, Ahok dengan penertiban pasar dan kampung kumuhnya, dan Ridwan Kamil dengan taman kotanya. Kenampakan sudut-sudut kota yang tertata menjadi legitimasi kekuasaan para politisi yang tersebar dengan kecepatan tinggi dan diingat dengan sangat lama. Dalam dahaga kita akan keteraturan superfisial serta hak untuk memilih yang diamanahkan kepada kita, estetika justru menjadi begitu terpaut dengan kekuasaan—boleh jadi lebih dari kapan pun dalam periode sejarah negeri ini.

Tak semua modus penguasaan bermasalah dengan sendirinya tentu. Namun, persoalan dari modus penguasaan berbasis estetika ini adalah citra-citra yang melegitimasinya—kota yang tertata, daerah yang terbangun, negara yang modern—tak mensyaratkan keberadaan manusia di sana. Apakah, toh, yang paling pertama kita imajinasikan ketika kita membayangkan negara-negara maju? Bangunannya, sayangnya. Bukan manusianya. Lebih-lebih manusia di luar kelas atas dan menengah.

Dan sebagaimana yang sudah kita jumpai, pembangunan-pembangunan atas nama kemajuan akibatnya sangat rentan memarjinalisasi mereka dari kelas rentan. Pengambilan paksa lahan, pengusiran dari tempat tinggal, dan pelekatan sebagai sarang penyakit, prostitusi, serta kriminalitas bukan hanya sering terjadi. Kita melihatnya dan merasa apa yang dilakukan terhadap mereka merupakan syarat negeri ini melangkah ke depan. Penindasan, yang kita kira hanya dapat dilakukan negara yang tak dikontrol rakyatnya, akhirnya tersahihkan dengan restu rakyat yang mendambakan negeri yang tertata.

Jadi, siapa bilang pembangunan infrastruktur kering, banal, tak berjiwa? Kenyataannya, ia menggelimangi jiwa kita dengan rasa dan makna. Tak lupa, membenarkan lelaku otoriter saat diperlukan.

*Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi Universitas Heidelberg; Bergiat di Koperasi Riset Purusha