Retorika Kerinduan, Pengobat Rindu Warga Madura di Perantauan

Iklan terakota

Terakota.id–Masyarakat Madura memiliki tradisi tèra’ bulân atau padang bulan. Sebuah tradisi interaksi sosial yang dibumbui dengan nyanyian anak, permainan tradisional, ritual ojhung tarian memohon hujan, macapat, dan dongeng.  Kini, keadaan sudah berubah tradisi itu tak pernah disajikan saat bulan purnama tiba.

Berbagai faktor menyebabkan masyarakat Madura yang meninggalkan kampung halaman melupakan tradisi tèra’ bulân. Mereka terjebak dalam tuntutan kerja, masyarakat Madura telah berubah dari humanis ke mekanis. Untuk mengobati kerinduan, menjadi jembatan untuk menghubungkan keadaan ‘lalu’ dan ‘kini’ disajikan pertujukan seni dari Rumah Seni Lalongèt, Sumenep, Madura.

Pertunjukan seni teater berjudul Retorika Kerinduan karya A. Hamzah Fansuri Basar.  Pertunjukan mengusung lakon kerinduan pada tanah kampung halaman di Madura. Rindu atas identitas budaya, bahasa, ritual, permainan tradisional, nyanyian, tarian, sastra, filsafat, dan sistem ekonomi.

“Sebuah jalan bagi perjumpaan sejarah dan identitas diri dengan dinamika sosial di luar lingkungan dan budayanya. Jembatan itu bernama pertunjukan,” kata A. Hamzah Fansuri Basar sekaligus sutradara pertunjukan.

Cerita disampaikan dengan cara musikalitas orang Madura, dalam bahasa, tubuh, intonasi, gerak dan lagu. Diikat dalam kesatuan dinamika agraris dan maritim.  Dalam lakon pertunjukan, Hamzah menyebut orang tanah kapur bagi warga Madura yang masih tinggal di kampung halaman. Sedangkan bagi mereka yang di ‘luar’ Madura, di perantauan untuk mencari pekerjaan disebut orang tanah logam.

Hamzah menuturkan tubuh mesti terus digerakkan sekalipun dengan irama bising mesin. Mamaca mesti terus ditembangkan meskipun dengan iringan musik alarm. Lagu dolanan mesti terus dinyanyikan di bawah benderang lampu jalanan. Dongeng mesti disampaikan di tengah kota yang tak pernah tidur. Dan ritual mesti terus dilakukan di masa-masa menunggu musim dan masa-masa musim menunggu.

Latar peristiwa dibagi menjadi dua. Yakni latar tanah kapur dan tanah logam. Dua panggung berbeda. Tujuannya untuk menunjukkan konsepsi ‘dalam’ dan ‘luar’ Madura. Latar tanah kapur digunakan untuk adegan maupun penggambaran peristiwa di ‘dalam’ Madura dan latar tanah logam untuk pengadeganan di ‘luar’ Madura.

Pertunjukan dengan konsep “alalabâng”. Kata “alalabâng” diambil dari bahasa Madura yang lahir dari sebuah tradisi pertunjukan keliling dari pintu ke pintu (door to door). Biasa dilakukan seniman untuk memberikan hiburan kepada masyakat di musim panen ladang atau laut (ikan). Sehingga konsep “alalabâng” dapat disetarakan dengan istilah road show atau pentas keliling.

Pentas keliling diselenggarakan di tiga kota, meliputi Surakarta, Magelang dan Jepara. Pertunjukan di Surakarta diselenggarakan 8 Juli 2019, Magelang 10 Juli dan Jepara 12 Juli. Setiap pertunjukan diselenggarakan mulai 19.30 WIB. Pertunjukan bekerja sama dengan Teater Kahyangan, Teater Soekamto, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, Fieldtrip Perfoming Art Yogyakarta,  Museum Lima Gunung (Studio Mendut) Magelang dan Dewan Kesenian Jepara.

A. Hamzah Fansuri Basar merupakan alumnus Sendratasik, studi drama dan teater, Universitas Negeri Surabaya dan PSPSR, UGM Yogyakarta. Aktif bergiat di pengembangan kesenian, bahasa, sastra dan budaya Madura. Pertunjukan didukung pekerja seni Sumenep dan Pamekasan, Madura dari lintas disiplin seni. Antara lain Jufriyanto, Raudhatul Hasana, Agus Wedy, Khalilur Rahman, Dicki Pranata, Ianatus Sholeha, Horri Kiswantoro, sebagai aktor, Mas Bro Dayat sebagai penata artistik, dan Sayev M. Billah sebagai pimpinan produksi.

Sementara rumah seni lalongèt Madura merupakan inisiasi pelaku seni di Sumenep. Tujuannya mengumpulkan pekerja seni yang terserak di bangku kampus, warung kopi, dan trotoar maupun taman kota. Berharap bisa bekerja secara kolektif dengan berbagai lintas disiplin seni. Kata “lalongèt” adalah bentuk jamak dari kata “longèt” bahasa Madura, yang dimaknai secara filosofis sebagai seorang yang cakap membuat pekakas. Sehingga syarat nilai keindahan.