
Terakota.id—Empat organisasi pers di Malang merangkum dan mencatat perjalanan jurnalistik di Malang Raya. Sepanjang 2021, PWI Malang Raya, AJI Malang, IJTI Korda Malang Raya, dan PFI Malang merekam perjalanan jurnalistik terkait kemerdekaan pers, profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis.
Ketua IJTI Korda Malang Raya, M. Tiawan menuturkan ancaman kemerdekaan pers dialami jurnalis di Malang. Ancaman kemerdekaan pers dialami saat liputan di lapangan dan juga secara digital di dunia maya. Pada 5 April 2021, dua jurnalis Nusadaily.com mengalami doxing atas kerja junalistik yang dihasilkan.
“Doxing adalah usaha melacak dan membongkar identitas seseorang, lalu menyebarkan ke media sosial untuk tujuan negatif,” kata Tiawan dalam diskusi bersama reflekasi akhir tahun 2021 dan resolusi 2022, Rabu 29 Desember 2021. Doxing menjadi pengalaman traumatik kedua jurnalis tersebut. Kemerdekaan pers, kata Tiawan, adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dalam menjalankan kerja jurnalistiknya, ujar Tiawan, jurnalis bekerja mewakili kepentingan publik. Sesuai Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 8 menyebut, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum” katanya.

Tindakan menghalang-halangi jurnalis dalam menjalankan profesinya bisa dijerat dengan pasal 18 UU Pers. Yang memuat ketentuan setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana dengan ancaman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Namun kasus ini berakhir damai.
Sementara Ketua PFI Malang Darmono menuturkan erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 turut menjadi liputan yang menarik dan penting bagi publik. Dalam menjalankan kerja jurnalistiknya, menjadi ujian jurnalis untuk menjalankan kerja jurnalistik yang profesional dan menyajikan berita yang penting bagi publik.
Ahmad Arif dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme menyebutkan Media di Indonesia kerap dikritik dalam peliputan bencana. Alih-alih memberikan informasi yang mencerahkan publik, media massa justru kerap dianggap menjadi sumber masalah baru. Ini karena media massa pada pendekatan berita buruk adalah berita baik.
Media kerap dianggap mengabaikan etika dalam peliputan dan pelaporannya sehingga justru memicu bencana baru dalam pemberitaannya. Aspek mitigasi yang seharusnya bisa mendorong kesiapsiagaan warga jarang diberitakan. Ini terjadi karena dasar-dasar pelaporan yang baik yang merupakan kunci untuk pelaporan bencana dan krisis sering diabaikan.
Ketua PWI Malang Raya Cahyono menjelaskan untuk menjalankan kerja jurnalis yang profesional dituntut meningkatkan keterampilan dan kapasitasnya. Termasuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sesuai aturan Dewan Pers. “PWI juga akan menggelar pelatihan dasar SAR bagi jurnalis saat liputan bencana,” katanya
Sementara Ketua AJI Malang M. Zainudin menjelaskan pandemi Covid-19 turut berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pers di Malang. Sesuai UU Pers, Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pers dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. “Kesehatan pers ini juga berdampak terhadap pekerja pers, termasuk jurnalis,” katanya.
Sejumlah jurnalis mengaku gaji mereka yang tak dibayar selama beberapa bulan. Selain itu, juga ada jurnalis yang gajinya ditahan, atau dikurangi. Bahkan hak Tunjangan Hari Raya (THR) tak dibayar. “Kondisi ini menunjukkan ekosistem pers tak sehat yang akan berpengaruh terhadap kualitas karya jurnalistik,” ujarnya.
Zainudin juga menekankan atas kebebasan informasi yang merupakan hak asasi manusia, diakui hukum internasional. Dalam mendapatkan informasi dengan bebas yang dijamin Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pers memberikan hak atas kebebasan informasi tersebut. Namun, tak semua lembaga publik di Malang Raya yang menyediakan informasi publik. Sesuai Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menyebutkan setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai ketentuan UU KIP.
Atas catatan perjalanan jurnalisme di Malang tersebut, PWI Malang Raya, AJI Malang, IJTI Korda Malang Raya, dan PFI Malang mengeluarkan resolusi bagi stakeholder jurnalistik: Yakni mendorong semua pihak yang keberatan atas pemberitaan untuk menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU Pers. Mulai mengajukan hak jawab, atau hak koreksi atau mediasi sengketa pemberitaan, dengan penilaian akhir di Dewan Pers.
Menuntut perusahaan pers menjadi pihak pertama yang memberikan perlindungan terhadap wartawan dan keluarga korban kekerasan, sesuai pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan. Mengajak organisasi pers turut memberi perlindungan bagi jurnalis melalui advokasi litigasi dan non litigasi. Agar jurnalis bekerja secara profesional dan mendapat perlindungan hukum.
Mendorong perusahaan pers mematuhi Standar Perusahaan Pers dengan memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurangkurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun. Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. Mendesak Dinas Ketenagakerjaan melakukan fungsi pengawasan atas kewajiban perusahaan media memenuhi hak normatif para pekerja pers.
Menuntut Perusahaan Pers mematuhi Standar Perlindungan Profesi Wartawan. Yakni Perusahaan media wajib membekali jurnalis yang ditugaskan meliput ke lokasi bencana dan krisis dengan Alat Perlindungan Diri (APD). Perusahaan harus menyediakan asuransi jiwa. Memperhatikan keselamatan di lapangan.
Menuntut Pemerintah Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu sebagai badan publik untuk menyediakan informasi wajib yang diumumkan secara berkala, serta merta dan wajib tersedia setiap saat sesuai UU KIP.

Jalan, baca dan makan