Iklan terakota

“Tabu” Yang Jadi Penghalang

Muhammad Nashir (Dokumen pribadi)

Adakah sesuatu yang bisa mengikat seseorang untuk bisa total fokus mengelola DKM? Secara ekonomi umpamanya. Jika tidak ada sesuatupun yang bisa mengikat sesorang untu lebih bertanggung jawab, dan setidaknya bisa lebih total fokus di DKM, maka tidak sewajarnya kalau kita menuntut yang berlbihan kepada para pemegang jabatan struktural di DKM. Atau kita sudah seharusnya mulai memikirkan tentang itu dalam proses pengelolaan Lembaga Kesenian ini.

Karena jelas di zaman dengan tekanan eknomi untuk keluarga yang cukup tinggi seperti saat ini, sangat tidakk mungkin seseorang bisa total dan fokus mengelola DKM dengan meninggalkan taggung jawab keluarganya. Namun pada sisi yang lain DKM adalah Lembaga Kesenian yang juga cukup pnting keterlibatannya dalam proses pembangunan di Kota Malang. Sudah saatnya dan memang sehrusnya kita harus benar-benar mulai memikirkan hal tersebut untuk Tata Kelola Lembaga Kesenian DKM yang harus tetap kita jaga ini ke depan.

Satu hal yang selama ini selalu di anggap tabu ketika membicarakan tentang hal itu, tapi jika kita mau jujur menelusuri dengan lebih dalam lagi, kenapa para pemegang jabatan struktural DKM tak pernah bisa bergerak dan cenderung stagnan, salah satu persoalannya adalah tidak adanya sedikitpun uang intensif (kalau kita tabu bicara bayaran) untuk para pemegang jabatan struktural, sementara fakta lain ketika pengurus mencoba mencari pendapatan dengan membangun kegiatan ekonomi di DKM justru di tolak habis-habisan.

Sementara perjalanan di antara penolakan itu tidak di berikan suatu solusi apapun. Sebagian besar orang-orang menuntut kerja konkrit para pemegang jabatan struktural di DKM, para pengurus bingung dan celingukan sambil bertanya-tanya “bagaimana cara kami menjalankan roda kepengurusan, membangun program dan menjalankannya tanpa dana? Darimana kami bisa mendapatkan dana? Sementra ketika kami membangun pendapatan ekonomi untuk bisa menjalankan perputaran roda kepengurusan DKM, selalu di tolak dan di anggap “tabu”.

DKM seharusnya bisa bekerja sama dengan banyak pihak untuk membangun pendapatannya dengan perjanjian yang jelas dan memasukkan klausul berupa kewajiban-kewajiban bahwa phak kedua harus bisa membangun suatu keramaian yang juga menunjang Program-program DKM, juga share pendapatan yang sesuai atau dengan begitu banyak cara untuk bisa menghasilkan pendapatan demi lancarnya roda kepengurusan dan pengelolaan lembaga kesenian tersebut.

Dengan fakta stagnasi DKM yang sudah berlngsung cukup lama ini, dengan persoalan-persoalan yang sudah jelas bisa kita baca alasan-alasannya, masihkah kita merasa tabu membicarakan pendapatan untuk penunjang dalam proses pengelolaan lembaga kesenian tercinta kita ini?

Zaman sudah jauh berubah, kondisi Kebudayaan dan tekanan ekonomi pun juga sudah jauh berbeda dengan kondisi 20-30thn yang lalu, masih kah akan kita pertahankan perspektif yang menganggap tabu persolan pendapatan ini?.

                              Apalah arti kesenian

                        Bila terpisah dari derita lingkungan

                              Apalah arti berpikir

                     Bila terpisah dari masalah kehidupan

                                 WS Rendra

 

Muhammad Nashir