Pradnanda menjelaskan, kalau bicara kesehatan bukan yang dihajar industrinya karena akan berdampak kepada petani. Sebaliknya, kalau yang dihajar petani berdampak kepada industrinya yang akhirnya kran impor dibuka.
Lebih jauh Pradnanda membeberkan bagaimana setingan mengubah tren masyarakat terhadap selera rokok. Menurutnya, bagi industri rokok konsumen rokok itu terkait selera tetapi selera konsumen bisa diubah. Sekarang misalanya, tren di masyarakat menyukai rokok mild. “Apa benar masyarakat menyukai ini secara alami, jawabannya tidak. Ternyata didesingn mulai dari keluarnya tulisan-tulisan anti rokok kretek serta kampanye kadar nikotin dan tar yang tinggi penyebab kanker yang besar,” ujarnya.
Dan itu diamini oleh pemerintah era Habibie, dengan dibuatnya PP 81 Tahun 1999 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan dengan mengatur kadar nikotin dan tar dalam rokok diatur tidak boleh melebihi 1,5 miligram untuk kandungan nikotin dan kadar kandungan tar 20 miligram. Maka, kata Pradnanda, hanya tembakau imporlah yang bisa memenuhi kadar nikotin dan tar tersebut. Sementara tembakau lokal seperti tembakau Temanggung tidak memenuhi aturan itu karena kadar tar paling rendah saja dua koma.
Meskipun aturan tar dan nikotin akhirnya dihapus di era pemerintahan Megawati dengan keluarnya PP 19 Tahun 2003, tetapi tren rokok masyarakat berubah. Rokok putih pada tahun 1990-an hingga 2000-an yang pasarnya rendah naik drastis termasuk rokok mild dan sekarang menjadi rokok tren sehingga rokok saat ini hanya membutuhkan nikotin dan tar rendah.
“Mau gak mau perusahaan rokok yang dulunya memproduksi rokok kretek akhirnya berinovasi mengikuti selera pasar tersebut. Maka banyak rokok baru muncul di tahun 2000-an ini, akibat inovasi produk mengikuti regulasi yang dibuat oleh zaman Habibie,” ujarnya.
Meski regulasinya sudah diubah, tetapi produk sudah membanjiri pasar, dan rokok mild sudah menjadi idola di masyarakat. Padahal, untuk memproduksi rokok mild ini bahan yang harus diimpor besar karena bahan bakunya tidak bisa dipenuhi dari Indonesia.

Pradnanda menyatakan, tidak adanya proteksi dari pemerintah yang mengatur khusus tentang industri kretek membuat banyak industri kretek kecil gulung tikar. Apalagi dengan aturan syarat-syarat mendirikan industri kretek yang dinilai sebagai kematian kretek di Indonesia.
Kisah Mohammad Iksan adalah satu dari ribuan pengusaha rokok kretek rakyat atau rumahan yang terpaksa menutup pabrik rokok kreteknya. Kondisi ini juga dialami pengusaha kecil di Jember, Kudus, dan daerah lainnya. Mereka akhirnya menutup pabrik karena tekanan dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah. “Kami dikorbankan, sepuluh orang pekerjaku terpaksa dirumahkan. Kasihan mereka masih muda,” kata Iksan.