Sekretaris Jenderal Formasi Suhardjo menilai seharusnya pemerintah memberikan proteksi kepada industri kecil untuk melindungi kretek. “Semuanya kepentingan, kalau pemerintah mau disetir kepentingan asing, makin hancur industri kita,” katanya.
Menurutnya, kretek merupakan industri yang berasal dari tradisi kearifan lokal Indonesia. Semestinya pemerintah punya kemandirian dan melindungi industri kretek. “Urusan cukai juga kenapa kesehatan ikut campur,” katanya menambahkan.
Regulasi yang ada menurutnya juga kurang berpihak ke sektor menengah dan kecil. Lebih menguntungkan korporasi besar dengan adanya batasan produksi yang dilonggarkan. “SKM menjadi 3 miliar batang untuk golongan II, di golongan kita tidak ada yang mampu produksi sampai 3 miliar batang per tahun,” ujar Suhardjo.
Untuk saat ini memproduksi 2 miliar batang saja sudah berat. Formasi yang anggotanya di golongan II mengaku pasarnya sudah tergerus dengan gencarnya produk-produk yang berafiliasi. Selain itu, dari sisi administrasi juga semakin ketat dan semuanya harus online. “Yang siap semuanya grup besar,” ujarnya.
Penggolongan pabrik rokok ini dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Berdasarkan peraturan terakhir, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK/010/2016 tentang Perubahan ketiga atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Dalam peraturan tersebut, ada beberapa golongan pengusaha pabrik hasil tembakau yang didasarkan pada jumlah produksi yang dihasilkan. Jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) serta Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF) yang produksinya lebih dari 3 miliar batang per tahun masuk dalam Golongan I, dan di bawah 3 miliar batang per tahun masuk dalam Golongan II.
Sementara jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) terbagai menjadi tiga golongan. Golongan I produksinya lebih dari 2 miliar batang per tahun. Golongan II produksinya lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 miliar batang.
Sedangkan pabrik yang masuk golongan IIIA produksinya lebih dari 10 juta batang tetapi tidak lebih dari 500 juta batang. Dan golongan IIIB produksinya tidak lebih dari 10 juita batang. Pada tahun 2005-an, produksi di bawah 10 juta batang per tahun masuk golongan IIIC, namun aturan tersebut diubah sehingga pengusaha ‘dipaksa’ masuk ke golongan IIIB.
Direktur Utama PT Gandum, Tusin Kaman mengakui saat ini situasi ekonomi kurang kondusif untuk memenuhi target penjualan. Pada tri wulan pertama 2017 dibandingkan periode yang sama tahun 2016, kata Tusin, penurunan penjualan untuk rokok SKT sekitar 10 persen dari dan SKM turun kurang lebih 5 persen.
PT. Gandum yang masuk dalam golongan II ini memproduksi rokok jenis SKT sekitar 1,2 miliar batang per tahun dan SKM sekitar 1,4-1,5 miliar batang per tahun. Ada 15 merek yang dijual oleh pabrik ini, namun yang terkenal adalah merk Gandum. “Pasar kita 95 persen ke luar Jawa,” ujarnya.

Menurutnya, penurunan penjualan ini juga dipengaruhi faktor psikologis perokok sendiri karena saat ini mayoritas lebih menyukai rokok yang ada filternya. Ia juga berharap adanya proteksi dari pemerintah untuk tetap melindungi dan mempertahankan industri kretek di Indonesia. Ia melihat, pangsa pasar rokok kretek di Indonesia juga masih besar dibanding rokok putih dengan perbandingan 95 persen kretek dan 5 persen rokok putih.
“Kalau nanti impor tembakau tidak dibatasi akan diambil rokok putih,” ujarnya.
Pada akhir Maret 2017, Kepala Kanwil Bea Cukai Jatim II, Nirwala Dwi Heryanto bersama Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jawa Timur III, Rudy Gunawan Bastari memulai programnya dengan mengunjungi industri-industri yang berada di bawah pengawasannya. Salah satunya ke industri rokok untuk mengetahui kesulitannya apa dan bersama-sama memerangi rokok ilegal.
Ia mengaku kalau kontribusi pemasukan dari cukai rokok di wilayah Jatim II Tahun 2016 lalu sebesar 98 persen dari total penerimaan sebesar 103,17 persen. “Kontribusi terbesar sebanyak 94 persen dari Malang dan Kediri, karenanya kita lakukan visiting seperti ini supaya tidak dianggap menarik saja tetapi juga harus mengetahui kesulitannya apa,” kata Kepala Kanwil Bea Cukai Jatim II, Nirwala Dwi Heryanto.
Sementara itu, Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jawa Timur III, Rudy Gunawan Bastari, mengungkapkan, dari sisi pajak, sampai dengan Maret 2017, penerimaan pajak dibandingkan Maret tahun lalu ada kenaikan. Pertumbuhan di Malang penerimaan terbesar dari industri rokok.
Untuk itu, pihaknya besama Bea Cukai melakukan pendekatan karena ada beberapa industri rokok yang masih ada yang belum patuh. Ke depan, katanya, sistem pembayarannya terintegrasi sehingga kalau pengusaha rokok menebus pita cukai, PPn juga harus bayar sehingga tidak ada yang lupa. “Indikasi penerimaan kecenderungan membaik, kepatuhan 67 persen,” ujarnya.