Relief Dewi Hariti di Candi Mendut, Jawa Tengah. (Foto : arkeologi.fib.ugm.ac.id).
027 Hariti at Candi Mendut, Central Java
Iklan terakota

Oleh: M. Dwi Cahyono*

A. Sayang Anak, Sadar Regenerasi

Masih ingatkah dengan sebuah lagu anak tempoe doeloe?, yang berlirik sederhana sebagai berikut:

‘Bila kuingat lelah ayah-bunda
bunda paira, piara akan daku
sehingga aku besarlah.
Waktu ku kecil hidupku
amatlah senang, senang dipangku
dipangku dipeluknya, serta
dicium-dicium dimanjakan,
namanya kesayangan’.

Lagu ini membawa pesan ‘sayang anak (tresno bocah)’ dari ayah dan bunda kepada anak. Menurut syair lagu karya Daljono (akrab disebut ‘Pak Dal’) berjudul ‘Bunda Piara’, ekspresi sayang anak cukup dilakukan bersahaja, meski hanya dengan memangku, mencium ataupun memanjakan anak. Sikap dan perilaku menyayang anak ini menjadi amat kontans bila dibandingkan dengan sejumlah berita pada akhir-akhir ini mengenai ‘kekerasan terhadap anak, yang tidak jarang hingga melukai bahkan menelan korban jiwa anak.

Ironisnya, beberapa diantaranya justru dilakukan oleh oknum orang tua sendiri – entah orang tua kandung, orang tua tiri, atau orang tua angkat. Sayang anak yang mustinya adalah ‘panggilan jiwa, naluriah’ pada diri orang tua, orang dewasa atau siapapun, di satu pihak mengalami degradasi (kemerosotan), namun sebaliknya pada pihak lain tidak sedikit orang tua yang berupaya untuk mencari dan menemukan beragam cara untuk menyayangi anak, yang untuk itu sanggup keluarkan biasa besar.

Padahal sayang anak bisa dilaksanakan bersahaja sekalipun, sesuai dengan kemampuan dan konteks lingkungannya. Setiap orang, dan tak terkecuali setiap binatang, mecurahkan kasih sayangnya kepada anak dengan cara khasnya, yang boleh jadi berlaian satu sama lain, namun dengan muara yang sama, yakni ‘tresno bocah’.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang tua sayang anak, Tentulah hal ini merupakan ‘kelainan (anomaly) kemanusiaan’. Lantaran rasa malu hamil di luar nikah, ada saja ibu yang tega-teganya membuang, bahkan dengan sadis membuuh orok yang tiada lain adalah ‘darah danging’nya sendiri. Dalam wiracarita arkhais Mahabaratta dikisahkan bahawa ibu Kunti melarung (menghanyutkan) orok (kelak dikenal dengan nama ‘Karna’) karena jabang bayi ini tak lahir dari benih biologis suami syahnya (Pandudewanata).

Susastra roman tertua di India, yakni ‘Syakuntala’, juga mengisahkan bahwa bayi mungil — kelak oleh ayah angkatnya, seorang rsi pada suatu mandala di tepi Bengawan Yamuna, diberimana ‘Syakuntala’, terpaksa dilarnng ke sungai karena perkawinan keduanya tak disetujui keluaga. Apalafi ibu bayi harus ditinggal laku ibadah dalam waktu lama oleh suami.

Demikian pula, ni Ndok oleh susastra gancaran (prosa) Paparaton dikisahkan terpaksa membuang bayi yang baru dilahirknya pada tengah malam ke pabajangan (kuburan bayi) lantas dikemukan dan dijadijan anak angkat oleh pencuri Lembong/ Bayi tak berdosa itu dibuang lantaran ‘rasa malu’nya, karena bukan lahir dari suami syahnya (Gajapara dari Camara) melainkan hasil sanggama-nya di Tgal Lalateng dengan yang disimbolkan sebagai ‘Brahma’.

Sayang anak adalah wujud kesadaran di tahap dini mengenai urgensi regenerasi. Anak merupakan penerus generasi, mata rantai antar generasi, sekaligus aset masa depan kehidupan. Bagaimana derita orang tua yang tidak dikarunia keturuan, lantaran khawatir bahwa rantai kehidupan darinya bakal terputus setelah kematiannya, Dalam kaitan itu, dapat disadari mengapa terdapat ritus untuk memperoleh kesuburan (fertility cult), antara lain menggunakan media berupa kesatuan ‘Lingga-Yoni” – simbol integrasi unsur mikro-kosmik, yakni feminin (Yoni) dan maskulin (Lingga), yang bermakna ‘kesuburan’.

Baik kesuburan tanah, kesuburan tanaman, atau kesuburan anak. Sebagai aset keluarga, malahan ada pendapat bahwa tiada harta keuarga yang lebih berharga selain ‘anak’, jauh melebihi keberhargaan harta-benda. Ada pula perkataan bijak dari ayah atau ibu pekerja ‘aku gulung-gemek nyambut gawe, mbuh kucing-kucing diraupi, kanggo sopo maneh yen ora kanggo anak (saya bekerja keras, entah seperti membasuh muka kucing, untuk siapa lagi apabila bukan demi anak)’. Agama apapun oleh karenanya menempatkan pencarian nafkah untuk anak sebagai ‘laku ibadah’.

Dalam “Dinamika Kehidupan Anak-Anak Pada Masa Jawa Kuno Abad VII-XV Masehi”, yang termuat dalam Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol 12 No 1 (2008), diyatakan bahwa anak-anak (baala) dapat diartikan “manusia kecil, yang masih sangat muda usia, Dalam pengarcaan dan relief candi, usia anak yang diganbarkan di bawah lima tahun (balita) hingga duabelas tahun, atau kadang lebih. Acap postur tubuh anak digambarkan komis. Misalnya, di Candi Borobudur terdapat reief pahatan anak dengan pakaian minim, tubuh terlihat gemuk, pipi montok, dan wajahnya ceria.

Pada candi ini pula diperoleh gambaran bagiamana upaya orang tua untuk menyenangkan hati anak, antara lain dengan mengajakkannya ke pasar, karena kala itu – bahkan hingga beberapa dasawarsa lalu — kelompok pertunjukan keliling (ambarang) jamak ditemui di areal pasar. Akrobat dan seni pertujukan laim adalah atraksi yang disenangi oleh anak-anak.

B. Jejak Budaya ‘Dewi Kesuburan Anak’ Hariti

Dalam konsep ‘dualisme kosmologis’, wanita berada dalam kategori sama dengan tanah sebagai tempat tumbuh-berkembangnya aneka tanaman maupun air sebagai unsur penyubur tanah. Oleh karena itu, semenjak Masa Perundagian di Zaman Presejarah hadir arca megalitik yang dinamai ‘Arca Dewi Ibu (Mother Goddes)’, yang dijadikan media ritus untuk memperoleh kesuburan, baik kesuburan tanah, tumbuh-berkembangnya secara subur tanaman agraris, maupun kesuburan anak. Sebagai simbol kesuburan, Dewi Ibu yang dipahatkan amat bersahaja dan acap tak proporsional, memiliki indikator anatomis terkait dengan kesuburan, seperti payudara besar sebagai gambaran wanita yang menyusui anak atau berpantat besar sebagai gambaran wanita yang sedang hamil.

Ciri fisik yang tergambar pada wanita hamil dan menyusui itu sengaja dijadikan bahan pertimbangan dalam mempersonifikasikan Dewi Ibu (Dewi Kesuburan). Konsepsi Dewi Kesuburan pada Masa Hindu-Buddha, yang meski memiliki benyuk, sebuatan, dan latar mitologis yang berbada dengan Dewi Ibu dari tradisi megalitik, namun sesunggungnya mempunyai dasar konsepsional yang tidak jauh berbeda antara keduanya. Keduanya adalah fenomena ‘paralelisme’ di dalam sejarah-budaya Nusantara lintas masa berkenaan dengan konsep religis tentang ‘kesuburan’. Diantara arca megalitik itu, terdapat gambaran ibu menyusui di situs magalitik Pasemah.

Terdapat relasi biologikal antara ibu-anak, mengingat bahwa ibu (‘induk’ untuk binatang) adalah makhluk yang menandung, melahirkan/menetaskan, dan mengasuh anak sedari muda usia. Oleh karena itu, dalam seni arca dan relief candi (ikonografi) di Jawa dan Bali didapatkan arca dan relief Dewi Hariti, yang dikonsepsikan sebagai “Dewi Buddha Kesuburan”, sekaligus “Dewi Penyayang dan Pelindung Anak” (Liebert, 1975).

Hariti juga dikenal dalam agama Hindu dan legenda di Bali dengan nama ‘Men Brayut’. Menurut mitologi, Hariti adalah adalah adik yaksa Saptagiri sebagai pelindung Rajagriha, dengan nama ‘Abhirti’. Suaminya adalah Pancika, anak Pancala, yakni yaksa pelindung Gandhara. Pernikahan keduanya melahirkan 500 orang anak, sehingga disebut ‘panca-putra-sata-parivara”. Yang paling disayanginya adalah si bungsu bernama ‘Priyangkara’.

Abhirti amat suka memakan anak-anak, sehingga diberi sebutan ‘Hariti’. Hal inilah yang membuat rakyat Rajagriha bersedih, dan kemudian mendekati Sang Buddha untuk mohon pertolongan guna menyelamatkan anak-anak dari pemangsaan Hariti. Taktiknya, Buddha membawa anaknya yang bungsu (Priyangkara). Ketika pulang Hariti tidak menemukan Priyangkara di rumah. Dicarinya ke mana-mana dengan perasaan sedih, bahkan nyaris putus asa. Hariti pun minta pertolongan kepada Buddha untuk dapat mengembalikan anak bungsunya.

Sang Buddha menanyakan latar kesedihnya, dan dijawab bahwa ia kehilangan salah satu dari 500 anaknya. Padahal, pada sisi lain Hariti adalah makhluk yang tak mengenal belas kasih, gemar melahap anak-anak. Sejak itu, Hariti menyadari kebodohannya, dan akhirnya berkenan mengikuti ajaran sang Buddha, utamanya ‘dharma ahimsa (pantang melakukan kenyiksaan, apalagi pembunuhan terhadap makhluk hidup)’, sehingga terjadi perubahan drastis pada sikap maupun berilakunya dari’pemangsa anak’ menjadi ‘penyayang atau pelindung anak’, sehingga suka citalah rakyat Rajagriha (Gupte 1972, 119; Getty 1962, 85).

Hariti tidak lagi memakan daging manusia, dan sebagai balasannya, atas saran dari Sang Buddha maka orang-orang berjanji untuk menjaga anak-anaknya dengan memberinya persembahan makanan,.

Pada semua vihara di India Utara warga menyisihkan sebagian makanannya kepada Hariti dan 500 anaknya, dan arcanya diposisikan mengarah ke ruang makan. Menurut Yuan Chwang dan I-Tsing (abad VII Masehi), kala itu ditemukan sebuah altar yang didedikasikan buat Hariti. Selain di India Uatara, Hariti juga dipuja di India Barat, bahkan akhirnya populer pula di Nepal, Tibet, Cina, Jawa, Bali, dan Turkestan. Pada umumnya Hariti ditampilkan bersama pasangannya, yaitu Pancika, yang merupakan tentara Dewa Kubera (Kuwera).

Pada pengarcaan biasanya Hariti digambakan dalam posisi duduk atau berdiri dengan dikelilingi lima orang anak, yang diduga mewakili 500 anaknya. Salah sebuah tangannya membawa delima, sebagai simbol kesuburan. Delima juga melambangkan penyembuhkan dari kanibalisme dengan melakukan ‘diet buah delima’. Warna buah delima yang merah menyerupai daging manusia, santanpan yaksa Hariti ketika masih kanibalis.

Hariti menempati posisi penting dalam literatur Buddhis, sebagai simbol ‘Motherhood (Keibuan)’. Hariti diyakini sebagai ‘pengusir pengaruh jahat yang menimpa anak-anak’, sehingga menurut L. Chandra (KITLV No. 133 tahun 1977) pemujaan terhadapnya berkenaan dengan kematian anak yang tinggi pada masa kuno. Di dalam pujian terhadapnya, Hariti dipuja sebagai dewi kesuburan, tepatnya kesuburan anak.

Rahimnya tak pernah gagal, mampu melahirkan anak sekuat bajra. Hariti mempunyai kekuatan untuk memurnikan seperti langit, memberikan umur panjang, penebus atau menghapus semua dosa, pembebas dari ketakutan dan penderitaan dengan membasmi orang jahat. Hariti mampu pempertahankan janin, menaklukkan semua musuh, hancurkan segala yang menodai untuk melindungi hidup pribadi, keluarga dan semua makhluk yang tak berdaya.

Dewi yang dipuja oleh semua kelas, mahakuasa dan memberkati ini digambarkan bagai teratai, mengenakan mahkota dan kalung berhias pemata, memakai kain dari tenun bervariasi dan eksotis, serta berpenampilan jinak. Namun demikian, dalam hal tertentu tampil sengit dan menakutkan, mengingat bahwa pada mulanya adalah seorang yaksini. Hari juga diyakini sebagai Dewi Pengetahuan yang amat esoteril, gemilang, dan diterangi oleh murni cahaya.

Secara anatomis, aspek kesuburan tergambar pada proporsi tubuhnya yang subur (kegemukan). Adapun predikatnya sebagai ‘penyayang anak’ tergambarkan pada dua atau lebih pahatan yang menggambarkan anak-anak yang menyertainya. Rasa sayangnya terhadap anak menjadikannya senantiasa berada di lingkungan anak, bahkan dikerubuti oleh anak-anak, yang mengingatkan kita kepada ‘ibu panti asuhan anak’ pada masa sekarang.

Dalam naskah Tibet yang ditemukan Waddell, Hariti digambarkan berwarna merah, dengan seorang anak di payudara kanan dan musang pada payudara kirinya. Tangan kanannya bersikap waramudra (simbol pemberian anugerah), dan pada tangan kirinya terdapat semangkuk perhiasan yang melambangkan ‘pemberi kekayaan’ (Getty 1962: 86). Namun uniknya, apabila dicermati raut wajahnya memlihatkan sepasang siung (taring) di celah bibirnya, yang menandakan bahwa ia memiliki latar keraksasaan (demonis, yaksa wanita atau yaksini).

Hariti acap ditampilkan berpasang dengan suaminya, yakni Pancika. Reliaf Hariti-Pancika misalnya dipahatkan pada kuil di Ajanta dan Ellora (Gupte 1972, 119; Getty 1962, 85, 86). Umat Hindu di India Utara pun memuaja Dewi Hariti sebagai ‘pelindung anak’, utamanya oleh orang tua yang tengah berduka. Sementara di Nepal, Hariti dipuja untuk mencegah penyakit cacar (Getty 1962, 84).

Hariti dam dua orang dewasa pembantunta tergambar dengan jelas pada bilik penampil sisi selatan Candi Mendut, sementara pada bilik penampil sisi utara dipahatkan Dewa Kekayaan Harta-benda Kuwera (Avataka) – kemungkinan lainnya adalah Pancika, yakni prajurit Kuwera. Relief Hariti juga didapat di candi-candi Mahayana Buddhisme lainnya, seperti Candi Sewu, Banyunibo, dan Kalasan.

Keberadaan arca Dewi Hariti di candi-candi itu boleh jadi dimaksudkan sebagai pengusir pengaruh jahat yang mungkin menimpa anak-anak. Hariti pada reief itu digambarkan dalam posisi duduk bersimpuh di atas sebuah bangku sembari memangku dan membopong mesra seorang bayi. Mulut bayi diarahkan ke payudara kanannya, sebagaimana perilaku para ibu yang prigel (trampil) dalam menyusui anak. Di belakang punggungnya berdiri seorang anak lainnya dan di sekelilingnya tergambar sembilan anak sedang memanjati dua pohon.

Laksana (ciri khusus)-nya tertampakkan oleh tubuhnya yang kegemukan dan sepuluh anak yang berada di sekelilingnya, sehingga dengan sekilas pandang saja (bagi yang memahami ikonografi Hindu-Buddha) bisa mengidentifikasikan bahwa relief itu mempersonifkasikan Dewi Hariti sebagai “Dewi Kekayaan atau Pelindung Anak”. Sayang sekali mulutnya terkatub, sehingga tak tampak sepasang taringnya, yang menjadi indikator akan keyaksaannya. Selain indikator “kesuburan” ttampak pada tubuhnya yang kegemukkan dan penyertaan anak-anak, pohon padamana anak-anak tersebut memanjatinya juga digambarkan paralel dengannya, yakni tengah berbuah lebat, yang melukiskan tanaman buah yang tumbuh-berkembang dengan suburnya.

Hariti sebagai ‘Dewi pelindung anak-anak’dipuja pada banyak pura di Bali, dengan sebutan ‘Men Brayut’. Bahkan, hingga lini terus hadir dalam bentuk ukir kayu. arca batu padas, relief, mite dan susastra geguritan, maupun seni pertunjukan. Men Brayut adalah ‘adaptasi lokal’ terhadap konsep kedewataan India mengenai ‘Dewi Kekayaan Anak’ Hariti. Menurut mitologi di Bali, Men Brayut adalah seorang ibu yang berturut-turut — dalam jeda yang pendek melahirkan banyak anak (dalam istilah berbahasa Jawa disebut ‘nrecel’), bahkan hingga mencapai18 orang.

Sudah beranak banyak, keluarga petani Pan Brayat dan Men Brayut itu hidup di dalam kemiskinan. Rumahnya compang-camping, kain bajunya penuh jahitan dan tambalan, bahkan tubuh dan kainnya dipenuhi oleh kutu. Rambut Men rayut lekat oleh ketombe, sehingga tampilannya begitu tak karuan. Namun lantaran kegigihan dalam mengasuh anak-anaknya, pada akhirnya berhasil membesarkan. Oleh warga Bali mite mengenai Men Btayut tersebu karenanya dikaitkan dengan pola pengasuhan anak.

Masing-masing dari anak itu memiliki tabiat dan kecenderungan berlainan. Empat anak bertabiat alim, empat anak suka seni, empat anak bergaya urakan, empat anak berpikiran agak dewasa, dan dua anak lainnya masih kecil. Dasar anak-anak, mereka acap tak bertoleransi terhadap saudaranya, sehingga sering bertengkar. Namun, berkat keuletan serta kecerdikan Mem Brayut, perbedaan itu dapat dipadukan dan menghasilkan karya bermanfaat, sehingga bisa digunakan untuk menopang hidupnya. Tersirat dalam kisah ini adalah dengan memadukan keunikan dari kondisi yang pluralis bisa memberi kemanfaan.

Pada situs Goa Gajah (dekat Bedulu), Hariti divisualkan dengan tujuh orang anaknya, pada Pura Panataran Panglan (bertarikh 1091 Masehi) di Pejeng dengan lima anak, begitu pula di Candidasa disertai dengan banyak anak. Pura Er Jeruk yang dilengkapi dengan arca padas Ratu Brayut pada pelinggih di sub-halaman jaba-tengah banyak diziarahi oleh warga dari pelosok Bali, bahkan dari luar daerah, untuk memohon agar tanaman budidayanya subur ataupun untuk memohon keturunan oleh pasangan suami-istri yang lama belum dikaruniai anak.

Pemujaan kepada Men Brayut untuk mendapat anak sebagai penerus keluarga juga telihat di Pura Dalem Ukur-ukuran di Desa Sulahan, Susut Bangli, yang konon dilengkapi dengan arca Men Brayut. Dahulu ketika banyak warga Bali berpandangan bahawa ‘banyak anak rezeki melimpah’, kisah mengenai suami-istri Pan Brayat dan Men Brayut banyak dikagumi orang. Kata ‘brayat’ untuk sang suami (pan) dan kata ‘brayut’ untuk sang istri (men) dalam penaman sumi-istri itu bersinomim arti, bahkan acap dikombinasi menjadi ‘brayat-brayut’, yang berarti banyak keturunan.

Mantra pujaan terhadap Harit dikaitkan dengan kelahiran dan keselamatan bayi, mauoun dengan umur panjang. Dharani untuk Hariti merupakan doa yang tak hanya untuk menjaga anak-anak, melainkan juga bagi keluarga dan semua makhluk, guna membebaskan dari rasa takut, serta untuk menghancurkan racun — terutama untuk menangkal dan melindungi anak terhadap enam belas roh-roh jahat penyebab penyakit (Candra 1977, 470).

Keteladanan Hariti sebagai ‘Dewi Penyayang Anak’

Sayang anak tidaklah musti karena telah sebermula punya rasa sayang terhadap anak. Rasa sayang itu, karena suatu musabab luar biasa, bisa saja berubah menjadi ‘ambeksio (mensiakan, menyiksa, bahkan membinasai) anak”. Namun sebaliknya, seseorang yang semula kurang perhatian atau tak sepenunya menyayang anak, ada suatu tonggak waktu yang berupa pencerahan diri untuk curahkan perhatian dan rasa sayangnya kepada anak.

Dalam hal terakhir, Dewi Hariti adalah contoh kasus yang tepat. Yaksini yang semula gemar menculik dan memakan daging anak ini, berkat pencerahan (budh) dari dharmma Buddha maka berubahlah total menjadi ‘Ibu penyayang dan pelindung anak-anak” atau ‘pemberi anugerah (waranugraha) keturunan’. Keberkahan keturunan dari Dawi Hariti tersebut secara simbolik tergambar dalam mudra (sikap tangan) pada pengarcaannya, yang berupa waramudra, yakni simbol memberi berkah keturunan. Dalam fungsi religis ini, Dewi Hariti dipuja oleh para keluarga yang bermaksud mendapatkan anak.

Anak pasangan Hariti-Pancika, yang jumlahnya hingga mencapai 500 orang, memberi gambaran bahwa Hariti adalah Dewi Kesuburan anak. Gambaran seurapa diyampakkan pada motologi lokal Bali mengenai ‘Men Brayut’, yang mempunyai 18 orang anak. Kata ‘btayut’ itu sediri mengandung arti beranak-pinak, banyak keturunan. Diantara ratusan anaknya itu, Priyangkara – yang tiada lain anak bungsunya (wuragil)nya, adalah yang paling disayangi.

Hal ini mengingatkan pada perkataan ‘anak wuragil ganthilaning ati (anak bungsu pautan hati)’, yang terkasih diantara anak-anaknya. Terlebih lagi rasa sayang orang-tua terhadap anak tuggal (ontang-anting). Oleh karena itu pulalah maka ‘siasat pancingan’ agar Abhirthi (Hariti) mau menemui Sang Buddha untuk dicerahkan jiwanya adalah dengan membawa Priyangkara dari rumah Hariti, dan muslihat ini terbukti membuahkan hasil.

Gambaran serupa didapati pada susastra Kidung Sudhamala dan relief di kaki Candi Tegawangi mengenai keengganan ibu Kunti untuk mewadalkan (menjadikan) putra bungsunya, yakni Sahadewa (Sedewa, yang oleh Dewi Uma dianugerahi nama ‘Sudhamala’) sebagai media korban untuk meruwat raksasi Ra Nini (Dewi Durga) agar dapat kembali ke wujud aslinya sebagai Dewi Uma yang cantik, sebagai ‘prasyarat’ atas bantuan Durga terhadap keluarga Pandawa.

Demikian pula, dalam Legenda Tengger tergambar bagaimana keengganan Joko Seger-Roro Anteng untuk mengorbankan Dewata Kusuma (si bungsu diantara 25 orang anaknya) untuk dilarungkan ke dalam kaldera Gunung Bromo guna membayar janji (nadzar) atas anugerah dewata yang menaungi Ardi Brama berupa anak-keturunan.

Pada relief Dewi Hariti di Candi Mendut, anak kecil yang berada di pangkuannya, yang dengan mesra diarahkan mulut si bayi ke payudara kanannya sangat mungkin adalah bungsu Priyangkara. Dalam gambaran ini telihat kesesuainya dengan teks asal Tibet, yang menyatakan bahwa seorang anak berada di payudara kanan dan musang pada payudara kiri Hariti. Dalam hal menyusui bayi, memberi ASI (Air Susu Ibu) merupakan ekspresi paling dini dan bersahaja mengenai kasih sayang ibu kepada anak bayi, sehingga dapat difahami apabila patung simbolik yang acap tampil di Rumah Sakit Ibu dan Anak adalah patung ibu menyusui.

Demikianlah, sayang anak tidak musti dilakukan dengan kemewagan, namun cukup dengan bersahajaan dan ketulisan. Bukan saja oleh ibu, namun terbuka keungkinan untuk juga diekspresikan oleh seorang ayah. Ada banyak wahana yang dapat dijadikan media menyayang anak, salah sebuah diantaranya adalah menyayang anak lewat wahana eko-kultura sendiri.

Wahana Eko-Kultura Menyayang Anak

Pada zaman now ada banyak wahana untuk menyayang anak. Dari yang murah hingga yang mahal, dari yang tradisional hingga yang super modern, dari yang ada di lingkungan sekitar hingga yang jauh jarak jangkaunya, dari yang instan untuk tinggal pakai atau yang musti membuatnya terlebih dahulu baru bisa memakainya. Pendek kata, tinggal berapa banyak punya uang, tinggal minat yang mana, tinggal ingin yang mudah dijangkau atau didapatkan atau jusru lebih puas apabila mampu menjangkau tempat yang jauh dan terlibat di dalam proses pembuatannya.

Salah satu wahana, yang dapat didayagunakan sebagai ikhtiar menyayang anak adalah wahana budaya yang terdapat di area sekitar. Dari wahana ini, bukan sekedar asek kesenangan (rekretatif) yang bisa diperoleh darinya, namun sekaligus aspek edukatif, yakni kenal, tahu, faham, cinta dan peduli terhadap budaya sendiri dan lingkungan sekitarnya, sehingga anak tak terasing dengan konteks lokalnya, baik koteks sosio, kutura ataupun ekologisnya sendiri.

Dalam hal permainan anak, ada ada baiknya anak tak dibiasakan ‘reduiktif’, yakni dengan sekedar menjadi pemakai (operator) terhadap perangkat bermain yang sudah jadi dan siap pakai. Namun, perlu pula dilibatkan ke dalam ‘proses buat’, dan syukur bila hingga menjangkau proses pencarian bahan buat yang ada di lingkungan sekitar berupa barang sisa yang telah dibuang atau sekilas tidak bermanfaat. Kegiatan buat dapat membawa anak ke dalam olah keatif, gladi keuletan, ketelatenan, serta kerjasama dengan anak lain.

Bila perangkat mainnya telah jadi dan bisa diaminkannya, diharap bakal timbul kebanggaan akan prestasi diri dan kesediaan untuk memelihara buah karyanya. Tidak perlu merasa ‘ndeso dan kuno’ dengan permainan tradisional, tak harus menyepelekan lingkungan sekitar untuk pembejaran, tak musti dengan dana besar untuk menyayangkan anak. Jika demikian, sayang anak justru dikendalai sendiri oleh anggapan-anggapan yang tidak berasalan. Marilah kita ekspresikan sayang anak dengan ‘sak madyo’, dengan cara dan media yang terjangkau, ora perku kani ngoyo (tidak perlu berlebih upaya), yang penting tulus-ikhlas dalam ranga ibadah buat anak.

Terkait itu, kami (lintas komunitas peduli-pencinta sejarah dan budaya se Malangraya), Munggu tanggal 19 Nopember 2017 bermaksud mengkontribusikan wahana menyatang anak (tresno bocah) di situs Candi Badut dalam rangka ‘Hari Anak Sedunia’. Tema dan pesan yang kami usung adalah ‘Cintakan Budaya Sendiri Sedari Dini’, dengan khalayak sasaran anak-anak (seusia sekolah SD hingga SMP). Insya Allah kami suguhkan menu : (1) ajar candi, arca dan relief, (2) persembahan seni pertunjukkan buat anak, (3) dulinan tradisional anak, (4) gladi olah seni dan kriya anak, (5) raga busana tradisional anak, (6) fotografi dan videografi bagi anak, serta (7) layanan baca anak ‘perpustakaan sehari di candi’.

Sumoggo menyertainya dan raihlah ‘kefaedahan edukatif-rekreatif’ daripadanya. Kapan lagi bila bukan sekarang untuk mencintakan putra-putri kita dengan khasanah budaya sendiri, mengingat bahwa mungkin tanpa disadari sehari-hari anak-anak ‘dicekoki’ dengan aneka produk budaya yang instan dari luar Nusantara.

Semoga tulisan bersahaja yang di satu sisi sebagai ‘kado ultah untuk wuragil Anes (yang belum bisa baca’ dan pada sisi lain bagi khalayak ini membuahkan makna. Minimal menggungah untuk lebih menyanyang anak, baik anak kandung, anak tiri, anak angkat, ataupun anak-anak siapapun juga, dengan wahana eko-kultura sendiri. Salam ‘tresno-bocah’. Piyadasi. Nuwun.

Sengkaling, 15 Nopember 2017
PATEMBAYAN CITRALEKHA

*Arkeolog dan dosen Universitas Negeri Malang