
Terakota.ID–“DigitALL: Innovation and technology for gender equality” menjadi tema pilihan United Nations untuk memperingati International Women’s Day 2023 yang jatuh hari ini, 08 Maret 2023. Tema tersebut diangkat dengan maksud menyuarakan pentingnya pemenuhan hak-hak dan pelindungan perempuan di era digital. Ibarat wahyu, tema ini mendatangkan inspirasi bagi banyak pihak, mulai instansi Pemerintah, organisasi masyarakat, dan beragam komunitas untuk mengaktualisasikan dukungan mereka pada momen IWD.
Namun, di sinilah tampak sebuah problem yang fundamental, tentang cara pandang dalam memposisikan perempuan dan teknologi itu sendiri. Menurut Audrey Yue, seorang Profesor di bidang kajian media dari National University of Singapore, ada dua pendekatan dalam melihat manusia dalam peradaban digital, pertama adalah pendekatan kontrol dan kedua yaitu pendekatan kebebasan. (Artikel jurnal “Digital Literacy Through Digital Citizenship: Online Civic Participation and Public Opinion Evaluation of Youth Minorities in Southeast Asia”, 2019)
Pada pendekatan kontrol (control approach) warga negara digital (netizen), perempuan dalam hal ini, dianggap sebagai sekumpulan orang yang belum memiliki kecakapan dan kemampuan serta masih memegang nilai-nilai tradisional. Nilai tersebut tak lagi sesuai dengan peradaban masyarakat dunia maya. Dengan karakteristik demikian, perempuan menjadi kelompok rentan dan perlu pelindungan ketika mereka memasuki dunia digital. Perspektif ini digunakan salah satunya oleh penyusun indikator instrument indeks literasi digital oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Indonesia.
Dalam laporan Indeks Literasi Digital Kominfo 2022, masyarakat diukur kesiapannya untuk menjadi bagian dari warga negara maya melalui empat dimensi, yaitu: Kecakapan digital (digital skills), yang mengukur kemampuan individu memanfaatkan teknologi digital. Kedua, etika digital (digital ethics) yang mengacu pada pemahaman individu tentang etika digital dan implementasinya. Ketiga, keamanan digital (digital safety) yang mengukur kesadaran dan kemampuan individu dalam melakukan upaya pelindungan data pribadi. Keempat, budaya digital (digital culture), yang diterjemahkan sebagai kemampuan individu membangun wawasan kebangsaan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi.
Hasil riset menyebutkan bahwa indeks literasi digital nasional pada tahun 2022 berada di angka 3.54 (skala 1 – 5). Angka tersebut hanya meningkat 0.05 poin dari tahun 2021. Dari sisi gender, perempuan berada di angka 3.52, di bawah rata-rata nasional dan indeks literasi digital laki-laki yang mencapai angka 3.56. pada masing-masing dimensi, kemampuan perempuan pun masih di bawah laki-laki. Untuk kecakapan digital perempuan meraih indeks 3.50 sementara laki-laki lebih tinggi nilainya yaitu 3.55. Kemudian, pada etika digital perempuan juga tertinggal oleh laki-laki, yaitu hanya mencapai angka 3.60 sementara laki-laki di angka 3.69. Keamanan digital menjadi dimensi yang paling besar selisihnya, dimana laki-laki mencapai 3.18 dan perempuan 3.07. Hanya pada budaya digital, perempuan bisa meraih angka sama dengan laki-laki, yaitu 3.84.
Indeks tersebut menjadi legitimasi pada para pegiat literasi digital untuk merancang berbagai program peningkatan kemampuan kaum perempuan pada empat dimensi di atas. (Pernyataan saya ini ditolak oleh seorang kawan yang mengelola media alternatif perempuan. Bahwa berdasarkan pengalamannya dalam mengakses pendanaan untuk program literasi digital, ternyata tak mudah mengakses bantuan untuk kelompok perempuan. Para funding hanya tertarik memberi pendanaan apabila sasaran program adalah perempuan dengan tambahan kerentanan sebagai korban konflik, deportan, perempuan migran, atau perempuan pelaku usaha mikro). Pertanyaannya kemudian, apakah dengan meningkatnya indeks literasi digital, maka kesetaraan di era digital juga otomatis akan terwujud?
Sebelum beroleh jawaban, saya ingin mengajak pembaca untuk mengingat kembali kasus viralnya selebgram Gita Savitri Devi (@gitasav) yang dirundung oleh netizen karena mengunggah konten terkait isu childfree dan anti-aging. Gitasav merepresentasikan perempuan dengan kecakapan digital yang mumpuni. Itu pun tak menjadi jaminan ia selamat dari perisakan dan perlakuan buruk ketika mengangkat tema yang masih sensitif di masyarakat Indonesia.
Kasus kedua adalah serangan pada seorang remaja perempuan AGH (15 tahun). AGH saat ini turut menghadapi kasus hukum terkait tindak kekerasan yang dilakukan oleh kawan prianya, Mario Dandy. Ketika kasus ini mencuat, banyak meme dan komentar yang mengomentari persamaan AGH dengan Putri Candrawati (PC), tersangka kasus pembunuhan. Narasi yang ramai menyertai meme tersebut adalah perempuan sebagai sumber terjadinya tindak kekerasan antar laki-laki. Cuitan di twitter, unggahan Instagram, komentar di facebook, bahkan berita yang dibuat oleh media online memperteguh narasi tersebut.
Peristiwa yang dialami oleh Gitasav dan AGH serta PC menunjukkan bahwa para penduduk digital masih mereproduksi nilai lama, yaitu nilai misoginis dan patriarkal. Misoginis adalah cara pandang yang membenci dan berprasangka buruk terhadap perempuan. Kebencian tersebut membawa penilaian bahwa sumber dari seluruh permasalahan, hal buruk, bencana, dan kejahatan di masyarakat adalah perempuan. Praktik misogini tumbuh subur dalam budaya patriarkal. Kaum misogini menganggap bahwa PC adalah penyebab Yoshua dibunuh, AGH adalah titik mula David mengalami kekerasan, dan Gitasav akan mempercepat kiamat karena pilihan childfree.
Dunia digital yang diharapkan akan membawa manusia pada peradaban baru, yaitu peradaban yang lebih inklusif dan berkeadilan gender ternyata tak bisa diraih begitu saja melalui program-program literasi digital. Yang patut diingat, internet bukan sekedar alat teknologi belaka. Menurut Matthew Pearce (2016) Internet adalah institusi budaya. Hadirnya internet menjadi penyebab dari berbagai perubahan fundamental, mulai dari struktur institusi sosial lain (sperti edukasi, ekonomi, dan sebagainya) , gerakan sosial, hingga ekspresi individual. Seperti halnya institusi budaya lainnya, maka internet memiliki nilai, regulasi, dan praktik negosiasi sosial yang khas.
Program literasi digital semata tak akan menjadi solusi efektif untuk menjadikan dunia digital sebagai tatanan dunia baru yang berkeadilan gender. Para penduduk dunia maya (netizen) haruslah dipandang sebagai individu yang memiliki potensi untuk bersuara dan berpartisipasi dalam sosial politik. Unggahan dan produksi konten netizen akan membentuk diskursus tentang bagaimana relasi gender dibentuk. Oleh sebab itu, yang lebih utama untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang deliberatif adalah penyadaran tentang tatanan dunia yang tak setara dan pentingnya aksi kolektif untuk mendobrak ketidaksetaraan tersebut. Sehingga, apa yang dikhawatirkan oleh Han Xiao (2016) bahwa hadirnya teknologi justru untuk menghasilkan echo nilai-nilai ketidakadilan yang sudah ada di masyarakat tak perlu terjadi di Indonesia.
*Dosen Ilmu Komunikasi UNESA – Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah Wilayah Jawa Timur
**Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi