Ramuan Ajaib Ala RUU Ketahanan Keluarga

ramuan-ajaib-ala-ruu-ketahanan-keluarga
Karikatur : poliklitik.com
Iklan terakota

Oleh : Putri Aisyiyah R.D

Terakota.id–Pernahkah Anda melihat penjaja obat di tengah pasar yang menjual obat segala penyakit. Obat tersebut diakui mengandung formula ajaib dari alam yang mampu menyembuhkan seluruh penyakit yang ada di dunia, mulai kutu hingga cacar air, diare hingga pecah pembuluh darah. Banyak orang percaya, berkerumun membeli tapi ada juga yang memperhatikan diam-diam, mengambil jarak dari penjual, penasaran tapi ragu. Mereka yang skeptis, tak percaya dengan mulut manis pedagangnya memilih acuh, berlalu begitu saja, menyelesaikan urusan masing-masing di pasar.

Saya kemarin tak sedang berada di pasar, namun hadir di sebuah diskusi yang membahas tentang urgensi RUU Ketahanan Keluarga. Membaca naskah akademik dan pasal demi pasal yang ada, mengingatkan saya pada kata “panasea”, obat mujarab atau solusi bagi seluruh penyakit yang ada. RUU ini ibarat “ramuan Tuhan” yang dijajakan tengah pasar.

Bagaimana tidak, seluruh permasalahan Indonesia dipandang sebagai akibat dari keluarga yang rentan. Kerusakan pada sistem Negara, sistem masyarakat, akibat dari rusaknya sistem keluarga. Mereka (baca: para pengusul RUU) melegitimasi pandangan tersebut dengan menggunakan dalil akademik teori Struktural-Fungsional Talcott Parson. Sehingga, solusi dari setiap masalah yang ada adalah membentuk ketahanan keluarga.

Angka korupsi tinggi akar permasalahannya adalah gagalnya keluarga menanamkan nilai-nilai integritas, tingkat kriminalitas meningkat karena keluarga yang tidak lenting menghadapi badai ekonomi, beragam problem kesehatan muncul karena buruknya lingkungan tinggal, penyalahgunaan narkoba dan remaja yang merokok (lagi-lagi) salah keluarga. Satu lagi tertinggal, tingginya angka kekerasan seksual karena pintu kamar dan toilet rumah yang tanpa kunci.

Dua partai pengusung, PAN dan PKS (awalnya empat dengan Golkar dan Gerindra, namun mereka memilih menarik diri karena respon negatif mulai nyaring. Dan kita kiranya kita perlu mengingat ini sebagai kebiasaan cuci tangan partai), alih-alih melihatnya sebagai kegagalan Negara dalam menjalankan sistem, mereka melakukan simplifikasi persoalan dan menimpakan semua kesalahan pada sistem unit paling mikro, keluarga.

Para wakil rakyat tersebut (dengan sengaja) tidak memberikan perhatian pada kasus-kasus korupsi yang mandeg di tengah jalan, dan memilih untuk membahas perceraian dan pola pengasuhan keluarga agar Indonesia terhindar dari korupsi kelak. Problem kesehatan tidak dilihat sebagai kompleksnya persoalan mulai dari sistem jaminan kesehatan yang buruk, fasilitas kesehatan yang tidak merata, hingga permainan pasar pada barang kebutuhan pokok untuk menunjang keluarga.

Masalah kesehatan muncul akibat dari rumah yang tak layak huni, dan juga tiadanya jamban sehat keluarga. Masalah rokok, tidak dilihat sebagai akibat dari permisifnya Negara terhadap perusahaan rokok.

Kegagalan memetakan permasalahan, tentu menjadikan solusi yang ditawarkan pun salah kaprah. Ambil satu contoh sederhana, pengusul RUU melihat perpisahan suami-istri selalu sebagai biang segala kerentanan, dan tingginya angka perceraian karena perselisihan dan ketegangan yang terjadi terus menerus (mereka menggunakan data BPS yang menunjukkan angka perceraian karena perselisihan mencapai 48,83 persen).

Solusinya adalah, seyogianya suami-istri saling nriman, tidak bertengkar, dan saling cinta sehingga keluarga menjadi kokoh. Padahal, dalam beberapa kasus nyata, perceraian menjadi solusi terbaik bagi sebuah keluarga.

Moral masyarakat yang buruk akibat pengasuhan yang buruk. Mengapa pola asuh buruk? Karena Ibu yang tak fokus mengurus keluarga. Para perempuan yang menjadi buruh migran dan meninggalkan anak-anaknya, dan juga Ibu yang bekerja mencari nafkah adalah ancaman nyata bagi ketahanan keluarga.

Preventif dari masalah moralitas ini adalah mengenakan kewajiban pada laki-laki untuk menjadi kepala keluarga, agar perempuan fokus merawat rumah tangga. Lantas, bagaimana nasib dari 56,13 persen perempuan desa dan 65,26 persen perempuan kota yang menjadi Kepala keluarga?

Para pengusung RUU rupanya juga penggemar “Bang napi”, pembawa acara kriminal di salah satu stasiun televisi yang terkenal dengan jargonnya “kejahatan terjadi bukan hanya karena maksud jahat dari pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan. Waspadalah..waspadalah”. Mereka menganggap kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan akibat dari ruang tidur yang tak terpisah dan juga toilet yang tak dilengkapi pintu dengan anak kunci.

Sehingga solusinya adalah setiap rumah harus memisahkan kamar tidur orang tua dan anak, serta menyediakan kamar mandi yang pintu dan kuncinya berfungsi dengan baik (pasal 33). Apa kabar rumah desa yang kamar mandinya cukup dengan selembar kain? Apakah para anggota dewan ini juga tiada pernah piknik ke rumah panggung, rumah panjang, ataupun honai? Jika mengikuti logika berpikir mereka, maka semua rumah harus disulanp mengikuti arsitektur rumah priyayi Jawa.

Saya mengaminkan kecurigaan seorang kawan, jangan-jangan (pengelola) Negara sedang mempermainkan kita. Mereka tahu kita ini bangsa sentimental, mudah haru kalau sudah ngomongin keluarga. Belum lagi nilai patriarkal yang masih mengakar kuat, sekuat ingatan akan pelajaran Bahasa Indonesia SD, “Bapak Budi pergi bekerja, Ibu Budi memasak di dapur”. Maka, ilusi keluarga bahagia lahir batin diumpankan, agar mereka lupa pada upaya-upaya pembobrokan sistem yang dilakukan oleh Penguasa.

Dan rakyat, adalah pengunjung pasar yang melihat para wakilnya menjajakan ramuan ajaib tersebut. Ada yang mengaminkan dengan sikap pasrah dan sepenuhnya percaya, apalagi bila dibungkus dengan retorika “nilai ideal” keluarga yang hegemonik. Ada yang memperhatikan dari jauh saja, dan lebih banyak lagi yang cuek bebek melenggang, asal urusan perut masing-masing telah terpenuhi di pasar.

*Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Unesa dan bergiat di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyyah (LPPA) Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur