
Terakota.id—Pertengahan Agustus 1944, pimpinan tantara Pembela Tanah Air (PETA) Shodancho Supriyadi merencanakan pemberontakan bersenjata melawan Jepang. Dalam laporan madjalah sedjarah militer angkatan darat SA-15 Tahun 1964, Supriyadi merencanakan bersama para perwira dalam Daidan atau Batalyon. Mereka menggelar rapat rahasia.
“Bagaimana jika sekiranya mengadakan pemberontakan terhadap Jepang, apakah semuanya setuju?,” tulis madjalah sedjarah militer. Spontan pertanyaan itu dijawab setuju. Mereka yang setuju menandatangani “surat mati.” Rapat berikutnya dilanjutkan menjelang latihan perang-perangan secara besar-besaran bersama dengan 10 Daidan dari seluruh Jawa Timur. Latihan diselenggarakan di daerah sekitar Tuban, Karesidenan Bojonegoro, Januari 1945.
Mereka berbagi tugas, ada yang Daidan yang tak ikut latihan bertugas mengangkut persediaan peluru di gudang mesiu Blitar dengan truk ke Madiun melalui Tulungagung, Trenggalek, dan Pononorogo. Pemberontakan direncanakan Meletus di Tuban, karena sudah direncanakan bahwa pasukan Daidan Blitar nantinya akan menuju ke Madiun.
Pada 19 Januari 1945 seluruh Daidan berangkat menumpang kereta api menuju Tuban, hanya tersisa beberapa regu tinggal di Blitar untuk penjagaan. Setiba di Tuban, tentara PETA meninjau lokasi latihan, mereka menemukan kerangka manusia berserakan. Diduga kerangka manusia yang mati kelaparan dan jenazahnya tidak dikuburkan dengan layak. Kemarahan prajurit PETA semakin meluap.
Sepekan di Tuban, tiba-tiba latihan dibatalkan. Prajurit PETA diperintahkan kembali ke Blitar. Militer Jepang mencium gerakan rahasia rencana pemberontakan. Pasukan PETA Blitar menggelar rapat rahasia dipimpin Supriyadi, 1 Februari 1945. Hasilnya diputuskan tetap melakukan pemberontakan karena rencananya sudah tercium Kenpeitai (Tentara Jepang).
Sekitar pukul 23.00 WIB, 13 Februari 1945 Supriyadi mengenakan baju piyama lurik coklat-hijau bersarung merah tua using. Di pinggangnya terselip sebuah keris, tangan kanan memegang sebuah pistol Vickers. Supriyadi masuk ke dalam Daidan atau Balatyon menemui Muradi Sho dan Sunanto Bundantyo untuk memulai pemberontakan. Supriyadi menemui Sujono Bundantyo yang memegang kunci gudang peluru.
Sujono diminta membagikan peluru kepada semua pasukan. Pergerakan dilakukan dengan sangat berhati-hati sekali, agar tak terdengar. Tentara PETA yang didirikan militer Jepang 3 Oktober 1943 ini merencanakan pemberontakan di Blitar. Sasarannya Hotel Sakura, markas pasukan militer Jepang. Usai memberondong Hotel Sakura mereka menyiapkan strategi.
Pasukan yang dipimpin S. Djono bergerak ke Tulungagung-Trenggalek -Ponorogo menuju Madiun. Pasukan Muradi dan Suparjono menuju ke Pare-Kertosono bertemu dengan pasukan S. Djono di Madiun. Sementara pasukan Supriyadi dan Sunanto menuju ke Malang menduduki stasiun Radio (Malang Hosokyoiki) untuk menyiarkan ajakan kepada semua pasukan PETA di Indonesia untuk melakukan pemberontakan.
Tembakan Mortir dan Senjata Mesin di Hotel Sakura

Shodancho Supriyadi mempimpin 350 prajurit keluar barak, mereka mengarahkan senjara otomatis ke Hotel Sakura di Blitar, pukul 3.30 WIB, Rabu 14 Februari 1945. Sebelumnya, Supriyadi seperti dalam laporan madjalah sedjarah militer angkatan darat SA-15 Tahun 1964 menelepon Bupati, Wali Kota dan Kepala Polisi Blitar. Ia menjelaskan pasukan PETA Blitar mengadakan latihan perang-perangan menggunakan peluru kosong. Untuk menghindari pertempuran antar bangsa sendiri.
“Hajimeet (mulai),” teriak Supriyadi memberi komando. Dua laras mortir memuntahkan empat buah peluru, sasarannya Hotel Sakura yang menjadi markas perwira Jepang. Disusul tembakan salvo dari 12 pucuk karaben diikuti tembakan-tembakan yang dari tiga buah “jukikanju” (mitraliur watermantel) ditujukan ke rumah dan kantor Kenpeitai (Tentara Jepang).
Prajurit Pembela Tanah Air (PETA) memberontak, melawan Kenpeitai yang mendidik dan melatih secara militer. Blitar yang sunyi berubah, desingan peluru dan mortir bersautan. Langit yang gelap menjadi merah membara keluar dari dentuman mortir. Usai memberondong dengan senapan otomatis, mereka menyingkir ke luar Blitar. Tiga rombongan ke utara dan satu rombongan ke selatan.
Meski direncanakan berbulan-bulan, militer Jepang melumpuhkan pemberontakan tentara PETA. Dalam buku Zulfifli Lubis, Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD, 2012 karya Peter Kasenda menyebutkan Kolonel Miyamoto ditugaskan untuk membereskan pemberontakan mengerahkan kendaraan lapis baja dan pesawat. Mereka memborbardir para tentara pejuang PETA. Sementara Kapten Yanagawa mengerahkan tiga personil pasukan khusus gerilya (Yugekitai) dipimpin Bambang Supeno.
Bambang Supeno membujuk para prajurit PETA yang memberontak kembali ke Blitar. Perundingan buntu. Kolonel Katagiri menyerahkan pedang kehormatan kepada Muradi pertanda akan memegang teguh janji. “Katagiri berjanji tak akan mengajukan mereka ke pengadilan militer. Prajurit PETA yang memberontak kembali ke Blitar 17 Februari 1945.”
Pemberontakan bersenjata tantara PETA untuk pertama kalinya, para prajurit melawan para pembina militernya. Khawatir terulang pemberontakan, Jepang melucuti senjata tantara PETA. Sebanyak 55 perwira bersama anak buahnya ditahan. Katagiri mengingkari janji tak mengajukan mereka ke pengadilan militer.
Dua orang dari empat komandan kompi, delapan dari 12 komandan peleton diadili di pengadilan militer Jakarta. Semua dinyatakan bersalah. Enam orang dijatuhi hukuman mati, kepala dipenggal di Ancol. Tiga orang dijatuhi hukuman seumur hidup. Sisanya dihukum penjara berbulan-bulan.
Sementara Supriyadi raib, atau mungkin tantara Jepang telah membunuhnya.

Supriyadi memimpin pemberontakan, setelah melihat penderitaan rakyat. Supriyadi dan Zulkifli Lubis yang kemudian menjadi komandan intelijen pertama di Indonesia ini turun ke daerah. Mereka melihat petani dipaksa menjual beras dengan harga murah kepada Kumiai (organisasi pembeli beras). Seperlima dari hasil panen dipaksa dibeli murah. Sehingga petani tak memiliki bahan pangan dan benih untuk menanam padi.
Rakyat menderita, mereka mendengar para perempuan yang dijanjikan belajar ke Tokyo ternyata terdampar di sejumlah daerah di Jawa. Mereka menjadi “hiburan” bagi tentara Jepang.

Jalan, baca dan makan