Ritus Keagamaan dalam Konteks Sosio-Budaya Lokal Jawa
Umat muslim salat Idul Fitri di Masjid Jami Kota Malang. Jamaah meluber sampai di depan gereja Immanuel dan sepanjang Jalan Basuki Rachmat Kota Malang, (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Oleh: M. Dwi Cahyono*

Ragam Sebutan

Terakota.id–Suatu hal bukan tidak mungkin memiliki ragam sebutan. Keragamannya bisa dilatari oleh perbedaan bahasa ibu yang digunakan, bisa pula terkait dengan maksud khusus yang hendak ditekankan. Justru dengan adanya ragam sebutan terhadap suatu hal, kian tergambar kandungan makna dari hal tersebut. Perihal itu dalam tulisan ini digunakan untuk menyoroti perhelatan akbar, yang merupakan agenda tahunan di kalangan umat Muslim, yakni Idul Fitri.

Ada beberapa sebutan yang lazim pakai untuk mengistiahi “Idul Fitri”. Selain istilah”Idul Fitri”, paling tidak terdapat lima sebutan lokal Jawa seperti: (a) rioyo, (b) riadin, (c) lebaran, (d) bodo atau vatian sebutannya yakni “bakdan”, ataupun (e) Sawalan. Para penutur bahasa Jawa, khususnya yang telah berusia tengah baya keatas mengenal bahkan acap menggunkan istilah-istilah itu secara silih ganti untuk menyebut momentum peristiwa yang sama, yaitu peristiwa religis selama sepekan pasca shaum (siam, puasa) Ramadhan.

Demikianlah, walau beda istilah, namun masing-masing sebutan menunjuk pada petistiwa yang sama. Namun demikian, dibalik beda istilah itu te4dapat latar belakang atas pembedaannya. Pada bagian berikut (butir B) dari tulisan ini, perihal latar perbedaan dan penekan makna khusus pada masing-masing istilah hendak diungkapkan, meski secara ringkas.

Jamaat salat Idul Firri di Masjid Jami meluber sampai sepanjang Jalan Basuki Rachmad Kota Malang dan depan Gereja Katolik Kayutangan. (Terakota/Eko Widianto).

Latar Belakang dan Kandungan Maknanya
1. Istilah “Idul Fitri”

Ada dua momentum keagamaan dalam Islam yang disebut dengan menggunakan unsur sebutan “idul atau ‘aidul” — atau diakronimkan hanya dengan “id”, yaitu: (1) Idul Fitri, dan (2) Idul Adha atau disebut juga “Idul Qurban”. Unsur pembeda dari keduanya terletak pada unsur penyebutan yang mengikuti kata “idul”.

Kata “adha” secara harafiah berarti: besar, ageng. Oleh karena itu, sebutan serupa untuknya adalah “rioyo besar” atau “lebaran ageng”. Pada etnik tertentu di Indonesia, misalnya sub-etnik Madura, hari raya ini hadir lebih marak atau lebih akbar ketimbang Idul Fitri, dimana warga Madura perantau berbondong-bondong pulang kampung, yang diistilahi dengan “toron (turun)”.

Pada momentum religis ini diselenggarakan ritus khusus, yang berupa pengorbanan (sacrafice) binatang, sehingga muncul sebutan “ldul Qurban”. Selama tiga hari pada hari tasrik terhitung dari hari “H” Idul Adha diselnggarakan penyembellihan binatang korban, pembagian daging korban, dan pengkonsumsiannya. Dalam penyebutan ini, makna yang ditekankan adalah ritus “korban”-nya, sebagimana momentum petistiwa kenabian yang diperingatinya, yakni “pengorbanan” Nabi Ismail oleh ayahmya (nabi Ibrahim).

Adapun kata “fitri”dalam sebutan “Idul Fitri” secara harafiah berati: bersih, putih, tak bercela. Srbutan ini menekan pada kondisi baru yang diharapkan, yaitu kondisi bersih atau putih, lantaran telah terampuni dosa-dosa selama setahun berlalu sebagai berkah atas puasa sebulan penuh selama Ramadhan. Apabila “pembersihan dosa” lewat puasa menggambarkan hubungan vertikal, yakni manusia-Illahi, maka pada momentum yang baik ini dilakukan pula “ritus pembersihan” terhadap segala kesalahan pada interaksi antar manusia (hubungan horisontal). Oleh karena itu, bertepatan Idul Fitri dilakukan silaturohmi antar saudara dan handai taulan dengan saling bermaafan sembari berucap “minnal “aidin wal fa idzin, mohon maaf lahir dan batin”.

Tergambar bahwa dalam “idul fitri” ada proses” purifikasi (pembersihan)”, atau semacam “katarsis (pencucian)”. Pembersihan atau pencucian dilakukan ajeg setiap tahun, sehingga setiap tahun.itu pula srecara “siklis” ada penguatan (revitalisasi) atas kesucian (baca “kebersihan”) diri dari kekotoran yang secara langsung atau tidak langsung mengotori diri manusia. Ibarat menyapu,, hal itu dilakukan untuk memporoleh kondisi diri yang besih, sehingga bisa diibarati dengan “nyapu diri” .

  1. Sebutan “Rioyo” atau “Riadin”

Kata “rioyo” adalah istilah akronim dari dua kata, yaitu [h]ari+raya. Kata “raya (besar)” tetgambar pada suasananya yang serba marak, seperti pesta makanan dan jajanan, kumpul keluarga dan kerabat, fenomena mudik lebaran, baju dan perabot baru, bunyi bedug bertalu dan konon dentum petasan, dsb. Pendek kata, Hari Haya diwarnai oleh kemeriahan, kesemarakan, suka cita, atau suasana sejenisnya.

Kata “riadin” adalah istilah krami (boso) dalam bahasa Jawa Baru untuk “rioyo”. Varian sebutannya adalah “ariadi atau ariadin”. Serupa dengan istilah “rioyo”, kata “riadin” pun merupakan akronim dari dua kata, yaitu: [h]hari+adi+n” Secara harafiah, kata “adi” berarti besar, agung (ageng, hageng). Dengan demikian, bersinonim arti dengan kata “raya”. Varian sebutan untuknya adalah “riadin ageng”, sustu istilah yang juga dipakai untuk Idul Adha.

Tetkait dengan penggunaan istilah “rioyo atau riadin”, selain ada sebutan “Riayo” saja dan “Rioyo Kurban”, ada pula sebutan “Rioyo Kupat”. Unsur kata “kupat” digunaksn untuk menandai spesifikasi pethelatan ini, yakni pembuatan dan pengkonsumsian kuliner khas, yakni ketupat (kupat), yang diselenggarakan sepekan.pasca hari “H” pelaksanaan sholat Idul Fitri.

  1. Sebutan “Lebaran” dan “Bodo”

Kata “lebar” atau variannya “lembar” dari sebutan “lebaran” secara harafiah berarti: lapang, luas terbentang, terbuka, dsb. Kelapangan termaksud adalah kelapangan hati, utamanya lapang hati untuk memaafkan pihak lain. Istilah kontekstual yang serupa adalah “samodro (samudra, laut luas terbentang)” untuj perkataan maaf, yaitu “sih samodro pangaksami” atau “nyuwun gunging samodro pangaksami”.

Suasana “lebar” juga tergambar pada kuliner ketupat, yang dinamai “kupat luwar”, yang bermakna: keluar dari belenggu kesalahan atau dosa untuk kemudian digantikan dengan kondisi lapang hati lsntaran telah terhapus dosa dan kesalahannya. Istilah “lebaran” acap pula ditambahi dengan kata “haji” menjadi “Lebaran Haji”, yakni sebutan lain untuk Idul Adha. Istilah “lebaran” adalah istilah.umum dalam bshasa Indonesia, sehingga bisa dan biasa dipadu dengn kata-ksta lain semomentum, seperti THR lebaran, hadiah lebaran, diskon lebaran, cuti atau libur lebaran, mudik.lebaran, dsb.

Adapun sebutan “bodo (ba”dal)” secara harafiah berati: setelah, usai, pasca. Kontek artinya adalah pasca menunaikan tugas mulia, yakni puasa secara berturut-turut selama sebulan di bulsn Ramadhan. Selain.itu, bisa juga bermakna: terselesaikannya beban dosa, beban kesalahan, dan tumpukan kotoran hidup lainnya,, yang lantas berganti dengan kelapangan hati. Demikianlah, dalam hal terakhir, istilah “lebaran” dan “bodo” memiliki kesesuaian arti.

  1. Sebutan “Sawalan”

Istilsh ini dengan gamblang menunjuk kepada bulan padamana perhelatan dilangsungkan, yaitu di bulan Syawal. Kata jadian “Sawal+an” tersebut memberi gambaran bahwa perhelatan ini tidak hanya dilaksanakan selama H+7 (sepekan lebaran), namun acap diperluas hingga H+29 (sebulan lebaran). Pencantuman nama hari ataupun bulan untuk menamai ritus keagamaan dalam.Islam telah terbiasa, seperti sebutan “puasa Ramadhan, puada Sakban, Mulutan (Maulut+an)”, dsb. Hal ini mrmberi gambaran bahwa ritus keagamaan diselenggarakan bukan pada sembarang waktu, namun pada waktu tertentu yang dipandang “templum”.

Saripati Telaah

Pada bagian akhir tulisan ini dikemukakan sari-sari kajian, yang antara lain adalah bahea ada beragam sebutan untuk Hari Raya idul Fitri, baik sebutan dalam bahasa Arab, Melayu atapun lokal.Jawa. Masing-masing istilah memberi penekananan makna yang berlainan..Ada yang memberi penekanan pada aspek: (a) kebersihan diri seperti pada sebutan “”Idul Fitri”, (b) kesemarakkan atau kebesaran perhelatan sebagaimana pada sebutan “rioyo” atsu “riadin”, (c) kelapangan hati untuk saling memaafkan ataupun persaan lapang lantaran telah lepas dari dosa dan kesalahan seperti tergambar pada sebutan “lebaran” dan “bodo”, maupun penekanan pada aspek (d) waktu pelaksanaan perhelatannya pada bulan Syawal sebagaimana pada sebutan “Sawalan”.

Demikianlah ragam sebutan beserta latar penyebutan dan kandungan maknanya terkait dengan perhelatan atau ritus upacara keagamaan Islam, yakni idul Fitri. Silahkan pilih sebutan yang mana, oleh karena semuanya menunjuk kepada hal yang sama atau paling tidak beberapa diantaranya bersinonim arti. Meski demikian, perlu kecermatan untuk memilih salah satu sebutan diantaranya, sesuai dengan maskud pemakai sebutan terkait dengan makna khusus yang tersiirat dalam masing-masing sebutan itu. Ritus keagamanan menurut ajaran. Islam ini,,dalam terpannya di Jawa mengalami proses pembentukkan secar adaptif-akulturatif sesusi dengan.konteks sosial-budaya Jaea dari masa ke,masa,,sehingga perwuj7dannya tidak “ngArab” melainkan “nJowo”.

Semoga tulisan bersahaja ini mampu memberi kemanfaatan. Terlebih bagi mereka yang kini tengah berada di pertengahan Ramadhan, yang berarti jelang (dua pekan mendatang) tiba Hari Raya Idul Fitri. Nuwun.

Sangkaliang, 2 Juni 2018
Griya Ajar CITRALEKHA


*Arkeolog dan dosen sejarah di Universitas Negeri Malang