
Oleh: Trianom Suryandharu*
Judul Novel : Putri China
Penulis : Sindhunata, SL.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan I : 2007
Tebal : 302 halaman
Kau tak usah resah jika kau tak mempunyai jabatan. Tapi kau kau harus resah, jika jabatanmu tak ada nilainya. Kau tidak usah resah, jika kau tidak mempunyai kehormatan, tapi kau harus resah jika kehormatanmu tiada nilainya. Kau tidak usah resah jika kau tidak punya harta, tapi kau harus resah, jika hartamu tidak ada nilai.
(K’ung Tzu)
Terakota.id– KEKERASAN, dendam kesumat, konflik dan perang seperti noktah yang membentuk garis sejarah keberadaan manusia. Hampir seluruh kitab-kitab yang berisi kebijaksanaan, mengajarkan manusia agar dapat terbebas dari konflik, kekerasan dan perang yang menimbulkan penderitaan.
Secara dramatik, novel yang ditulis oleh rohaniwan sekaligus budayawan, Rm. Sindhunata, SJ., ini mengajak pembaca mengenali akar penyebab konflik, kekerasan dan perang di Tanah Jawa. Secara khusus, novel ini hendak merujuk pada kelompok masyarakat keturunan China yang beberapa kali menjadi sasaran ketika peristiwa kekerasan dan konflik sosial terjadi. Novel yang terbit pertama tahun 2007 ini, diawali dengan memperkenal Putri China sebagai tokoh sentralnya. Tokoh yang tidak saja merujuk pada satu pribadi, namun juga pada suatu kelompok sosial atau golongan tertentu. Suatu tokoh yang dibangun untuk memberikan gambaran keberadaan warga keturuna China yang hidup di Jawa.
Pembaca diajak masuk ke dalam pergulatan batin Putri China, lewat pertanyaan eksistensial ‘Siapakah aku sebenarnya?’ Putri China sadar bahwa Tanah Jawa ini, bukan tanah air leluhurnya. Namun demikian, apakah artinya tanah air, ketika seseorang lahir, dan seluruh hidupnya diabdikan di tanah air barunya ini. Novel ini dibuka dengan menempatkan Putri China pada zaman Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir. Seorang putri yang mengalami kedukaan mendalam, ketika mengandung 7 bulan namun ia dicerai dan dibuang oleh Prabu Brawijaya V, ke Palembang dan ‘diberikan’ kepada anaknya yang berkuasa di sana, Arya Damar. Hal itu terjadi, ketika Permaisuri Raja, Putri dari Campa dihantui kecemburuan hebat.
Api kecemburuan itu melahirkan dendam. Ketika anak Putri China hasil hubungan dengan Prabu Brawijaya V bernama Raden Patah, dan anak hasil hubungan Arya Damar bernama Raden Kusen, keduanya beranjak dewasa memilih pergi ke Tanah Jawa, hendak menghadap dan mengabdikan diri pada ayahandanya. Namun sejarah mencatat, kepergian dua putra itu ke Tanah Jawa, berujung peperangan yang justru meruntuhkan Kerajaan Majapahit.
Birahi seksualitas, insting purba manusia berkelindan dengan gemuruh dendam dan hasrat akan kekuasaan, menjadi faktor pendorong agresivitas. Konflik dan kekerasan yang terjadi adalah buih yang ditimbulkan. Hasrat purba yang terpendam dalam jiwa manusia itu, bahkan menutup realitas bahwa pihak yang saling berlawanan tersebut memiliki pertalian darah daging: anak dan orangtua kandungnya. Kenyataan inilah yang membuat gusar Putri China. Bahkan, ketika para leluhur telah mewariskan ajaran untuk menghormati orangtua adalah segala-galanya. Toh, anak manusia sepertinya gagal memenuhi petuah warisan ajaran leluhurnya itu.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit menjadi pembuka gerbang penelusuran akar kekerasan lebih jauh. Putri China mendengar kabar peperangan itu, kemudian dia memutuskan pergi ke Tanah Jawa bertemu abdidalem (pengasuh) Prabu Brawijaya, Sabdopalon-Nayagenggong. Lewat perjumpaan inilah, pembaca diajak menelusuri musabab konflik, kekerasan dan perang yang terjadi. Api dendam pemicu konflik itu, menyala hampir di sepanjang zaman. Sindhunata merujuk pemicu kekerasan, konflik dan peperangan itu bermula dari dendam amarah yang ditinggalkan oleh darah yang tumpah di padang Kurusetra, dalam kisah Mahabarata.
Sebuah kutukan terjadi, ketika Raja Janamejaya, putra Parikesit cucu Abimanyu, ingin mengakhiri segala dendam permusuhan dengan menyelenggaran upacara kurban. Srutasena, saudaranya, merasa ada darah dendam kebencian yang menyipratnya. Maka, dipukulah seekor anjing, perwujudan dari Sarameya, putra dari Sarama, istri dari Begawan Pulaha. Maka, Sarama yang tidak terima anaknya dipukul tersebut, mengeluarkan kutukan: bahwa balas dendam dan peperangan tidak akan pernah bisa sirna dialami oleh anak cucu Jayamejaya. Menurut Sabdopalon-Nayagenggong, dari sanalah bermula, api dendam amarah yang melahirkan perang dan kekerasan itu berkobar.
“Karena melukai Sarameya kita terkutuk menjadi seperti dia dalam kodratnya sebagai anjing yang belum sempurna. Maka setiap kali kita pun bisa menjadi seperti dia, menjalani kodrat kita yang belum sempurna. Kodrat kebinatangan kita. Karena itu setiap kali kita bisa menjelma menjadi anjing yang kerah,” kata Sabdopalon-Nayagenggong (hlm.56).
Manusia dalam kodratnya yang belum sempurna, nafsu kebinatangan yang saling
membinasakan inilah ‘kutukan’ yang dialami Prabu Brawijaya dan Raden Patah di Tanah Jawa. Bahkan, jauh sebelum Majapahit ada. Tanah Jawa ini juga menjadi ladang kekerasan saling mengalahkan: zaman raja-raja Jenggala dan Kediri, Singasari, Zaman Mataram Kuna.
Pertentangan antara saudara yang memperebutkan kerajaan untuk menjadi raja. Sama seperti binatang, manusia juga memiliki nafsu dasar seksualitas dan kekuasaan. Ditunjukkan kembali, kedua nafsu itulah yang melatari konflik antara Raja Minakjingga dari Blambangan, Banyuwangi dengan Kerajaan Majapahit.
Narasi kekerasan yang dipicu oleh bobolnya pengendalian seksualitas dan kehausan akan
kekuasaan, pun tercatat dalam mitologi yang berkembang di Tanah Jawa yang melibatkan
‘Dunia Kahyangan’. Dewa pun terlibat dalam skandal konflik dan kekerasan tersebut. Persaingan dari anak-anak Sang HyangTunggal: Sang Hyang Antaga dikenal sebagai Togog, Sang Hyang Ismaya kemudian dikenal bernama Semar dan kuningnya menjadi Sang Hyang
Manikmaya menjadi Batara Guru. Semar dan Togog merupakan sosok mistik yang diyakini
sebagai pelindung Tanah Jawa dalam mitologi. Konflik dan kekerasan, dengan demikian, telah dibangun dan diwariskan dalam sistem kebudayaan di Tanah Jawa.
***
Putri China sampailah pada pemahaman bahwa konflik dan kekerasan yang timbul karena
belum sempurnanya kodrat manusia. Di samping seksualitas dan kekuasaan, hasrat akan
kebendaan juga menjadi batu pondasi konflik kekerasan. Pada faktor ketiga itulah, Putri China melihat titik lemah yang dimiliki kaumnya. Keunggulan dalam berdagang dan kesenangan menumpuk harta kekayaan. Kesalahan fatalnya bukan pada kemampuan berniaga dan menumpuk harta, melainkan sifat pelit yang lahir dari keterikatan terhadap harta menjadikannya sulit berbagi dengan sesama.
Padahal harta kekayaan bisa menjadi jalan kebahagiaan sejati. Dengan berbagi, menandakan bahwa tidak adanya keterikatan pada harta yang menguat karena cinta kasih kepada sesama. Sebaliknya, keterikatan pada harta kekayaan justru mengundang dengki iri yang berujung konflik. Bahkan, menjadikannya sebagai kurban, sebagai kelompok yang (dianggapnya) lemah, mudah dipersalahkan, sekaligus memiliki ‘daya tarik’ sehingga dijadikan sasaran empuk untuk dikurbankan.
Kendali atas ketiganya (seksualitas, kekuasaan dan harta kekayaan) menjadi prasyarat manusia bisa memenuhi kesempurnaan kodrati menuju pengharapan akan kebahagiaan sejati. Putri China berharap, dan inilah kritik yang diselipkan Sindhunata, anak cucunya mengetahui hal itu agar sejarah kekejaman tidak terulang lagi.
Sejarah kekejaman yang mewarnai garis sejarah: tahun 1740, dari sekitar 15.000 orang China di Batavia, kurang lebih 10.000 dibantai Kompeni. Tahun 1916 orang China mati dalam kekerasan di Kudus. Tahun 1946, menjadi korban pembunuhan besar-besaran di sebelah barat sungai Tangerang, di Bandung Selatan. Tahun 1947 di Malang, ketika tentara Belanda melancarkan politioneel actie dimana dilakukan penjarahan, perampokanperkosaan, dan pembunuhan terhadap orang China. Di tahun yang sama, di Lawang, rumah orang China dijarah dan dibakar.
Di tahun itu pula, di Singosari dilakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang China, ketika hari masih sangat pagi. Tahun 1949 di Surabaya, tahanan Kalisosok di Surabaya dilepaskan untuk mendukung gerakan bumi hangus, banyak orang China dibunuh tanpa alasan. Di tahun yang sama di kota-kota Kertosono, Nganjuk, Caruban, Madiun, Blitar, Tulungagung, Kediri, Wlingi orang-orang China dijarah, dirampok, dan dibunuh (hlm.84).
Akar konflik dan kekerasan yang juga sudah tertanam dalam sistem kebudayaan. Dunia mitologi Jawa mencatat konflik yang saling membinasakan itu berawal dari sikap saling membenarkan diri sendiri. Hal itu dapat ditemukan dalam kisah pertarungan antara Dora dan Sembada, keduanya abdidalem Prabu Ajisaka yang beradu sakti melawan penguasa Tanah Jawa yang bengis, Raja Dewata Cengkar, penguasa Kerajaan Medang Kamulan.
Setelah merunutkan akar konflik dan kekerasan di Tanah Jawa, baik melalui mitologi, cerita
rakyat dan kronik sejarah, pembaca diajak memasuki bobolnya pengendalian diri terhadap tiga sumbu pemicu konflik: seksualitas, kekuasaan dan harta kekayaan. Putri China mengejawantah dalam sosok Giok Tien, yang hidup pada zaman kerajaan Medang Kamulan Baru. Suatu kisah yang dibangun dengan meminjam narasi cinta sejati pada kisah tragedi Sam Pek Eng Tay.

Sindhunata dengan lihai menyajikan, Giok Tien sebagai simbolisasi kaum China di Tanah Jawa, sebagai kelompok di masyarakat yang dikurbankan lewat sengkarut pertarungan elit politik yang berebut kuasa, disertai banalnya seksualitas. Bagi pembaca yang lahir sebelum era 1990-an, tentu tidak mengalami kesulitan dalam menangkap ‘bayang-bayang kekerasan’ yang digambarkan, terhadap gejolak sosial yang terjadi ketika gerakan reformasi (1998).
***
Kekuatan novel Putri China adalah kemampuan penulisnya menyajikan akar konflik dan kekerasan, dengan menggali dari mitologi yang menjadi cerita rakyat. Lewat cerita rakyat yang berkembang, benih-benih kekerasan itu sudah terkandung dalam sistem kebudayaan. Bagi pembaca yang belum mengenal mitologi tersebut, novel ini merangkumkan mitologi yang telah menjadi cerita rakyat tersebut. Cerita rakyat yang mengandung lokalitas lebih ‘mikro’ (narasi kecil) pun diracik menguatkan narasi yang dibangun. Di antaranya adalah perjumpaannya dengan Mbah Merapi dan Nyai Gadhung Melati, mitologi yang berkembang menjadi cerita rakyat di seputar gunung Merapi (hlm.126).
Demikian pula cerita rakyat mengenai keberadaan makam Eyang Djoego dan Eyang Imam Soejono di Gunung Kawi, Kabupaten Malang (hlm.167). Novel ini, merekonstruksi konflik dan kekerasan dengan membangun dengan mengajukan data dari kronik sejarah. Dikemas dalam bentuk cerita, sehingga penuturannya cukup luwes, jauh dari kesan ‘kaku’ ala buku sejarah.
Sebaliknya, penuturan kisahnya merupakan suatu bangunan narasi yang mengundang pembaca pada ruang refleksi terdalamnya. Kekuatan ruang reflektif tersebut, dibangun pula dengan menyelipkan beberapa kutipan dari ajaran kebijaksanaan dari ajaran Lao Tze, Tao, penyair kuno Tseng Jui, T’ao Ch’ Ien, Han San, dan beberapa nasihat China lainnya.
Perpaduan teks-teks naratif dari cerita-cerita rakyat yang berkembang di Tanah Jawa
dan China, semakin menunjukkan kekuatan novel ini. Perpaduan dari ‘dua dunia’ yang bertemu pada satu muara untuk memberikan peringatan terhadap keutamaan manusia dalam memenuhi panggilan hidupnya.
Sensivitas perbedaan berdasarkan SARA, masih cukup mengusik kebersamaan hidup anak
bangsa ini. Dengan demikian, novel ini layak dibaca bagi siapapun yang berharap dapat menjadi bagian dari upaya mewujudkan perdamaian di Nusantara dan di muka bumi ini. Setidaknya, novel ini menyampaikan pesan bahwa penghambaan diri terhadap tahta kekuasaan, pengejaran harta kekayaan dan seksualitas nan banal, seperti layaknya mengirim surat undangan terhadap konflik dan kekerasan. Apalagi di tengah gejolak dan dinamuka politik yang semakin meningkat, menjelang Pemilu 2019.
Bukit Tidar, Malang, 28 September 2018.

* Penulis merupakan staf karyawan perpustakaan Universitas Ma Chung Malang.
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi