
Terakota.id–Zaman terus berubah. Penguasa silih berganti. Rekaman sejarah tetap relevan dibaca dan diperbincangkan untuk menatap masa depan. Begitu juga dengan sejarah Bahasa Indonesia di panggung Orde Baru (Oba). Bisa menjadi contoh kekuasaan atau rezim memperlakukan bahasa sesuai dengan selera dan kepentingan.
Bahasa Indonesia diperlakukan sedemikian istimewa guna menopang pembangunan Indonesia di bawah rezim Orba. Rencana pembangunan lima tahun ke II (Repelita II) memasukkan pengembangan bahasa menjadi salah satu sasaran. Virginia Matheson Hooker dalam “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan Terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru,” menulis Bahasa Indonesia mencakup; pembakuan ejaan, tata bahasa, dan kosa kata teknis.
Soeharto menginginkan masyarakat Indonesia menggunakan bahasa secara “baik dan benar.” Siapa yang lihai menggunakan bahasa yang “baik dan benar,” maka dianggap memiliki otoritas atau nilai positif di mata orang lain. Kebijakan atas bahasa ini, bukan untuk kepentingan rakyat maupun pencapaian estetika kebudayaan. Virginia Matheson Hooker menyebutnya, “manipulasi bahasa, sebuah cara untuk menguatkan kepentingan kultur suatu rezim.” Dalam konteks ini rezim Orde Baru.
Senada, Yudi Latif bersama Idi Subandy Ibrahim dalam prolog buku bertajuk “Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru,” mendedah secara kritis Negara Orde Baru yang menggunakan kebudayaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Melalui kontrol terhadap bahasa Indonesia, Orba sebenarnya tengah menanamkan suatu ideologi. Tujuannya, untuk secara fungsional berguna dalam mempertahankan suatu struktur atau sistem sosial dan pola dominasi tertentu.
“Atau dalam pandangan lebih mutakhir bagaimana bahasa menjadi wahana bagi terciptanya imperialisme kesadaran dalam bentuknya yang paling canggih,” tulis mereka berdua.
Berkaitan dengan politik kebudayaan yang pernah dijalankan Orba. Khususnya di wilayah kebahasaan. Reporter Terakota.id, HA. Muntaha Mansur mewawancarai peneliti yang banyak menulis tentang Bahasa Indonesia, Joss Wibisono. Ia menyebut Orde Baru melanjutkan kontrol bahasa dan ejaan seperti yang pernah dilakukan oleh penjajah.
Politik Orba ini, katanya, sebagai ciri khas pemerintahan otoriter. Untuk melawan politik bahasa yang dijalankan Orba, Joss Wibisono sampai sekarang mempertahankan Ejaan Suwandi dalam setiap tulisannya. Termasuk saat menjawab wawancara yang dilakukan melalui surat elektronik (Surel). Redaksi diminta tidak mengubahnya jawaban dalam bentuk ejaan yang disempurnakan. Berikut wawancara kami:
Bagian Pertama
Orde Baru mengontrol segala lini dalam berbangsa-bernegara. Salah satunya kontrol terhadap bahasa. Politik bahasa seperti apakah yang dijalankan Orde Baru waktu itu? Hingga ia mampu menghegemoni rakyat hingga 32 tahun lamanya.
Salah satu tjiri rezim otoriter atau rezim tangan besi adalah hasratnja untuk mengontrol semua aspek kehidupan rakjatnja dan untuk itu rezim2 sematjem ini sampai perlu2nja mengutak-atik bahasa. Ini tentu sadja termasuk penguasa kolonial. Tjontoh rezim otoriter jang obok2 bahasa adalah rezim fasis di Italia di bawah pimpinan Benito Mussolini. Selama 20 tahun berkuasa (dari 1922 sampai 1943), Mussolini ber-tjita2 mempermudah bahasa Italia.
Salah satu tjontohnja adalah kata anda (bentuk sopan kamu) jang dalam bahasa Italia adalah voi, diganti mendjadi lei, padahal lei itu adalah orang ketiga pria. Mungkin sadja Mussolini telah memperlugas bahasa Italia, seperti jang dimauinja; tapi djelas dengan meng-obok2 bahasa ia djuga telah mengendalikan pikiran rakjatnja. Maklum orang hanja berpikir dalam bahasa, tidak dalam angka, tidak pula dalam tanda2 lain. Dengan mengendaliken bahasa, maka penguwasa jang kobok2 bahasa itu akan djuga mengendalikan pikiran rakjatnja.
Tentu sadja di masa pendjadjahan dulu nenek mojang kita djuga kena pengontrolan bahasa. Pada 1901 mulai diberlakukan edjaan Van Ophuysen dan pada 1908 lahir apa jang disebut Commissie voor Volkslectuur jang kemudian dikenal sebagai Balai Poestaka. Keduanja bekerdjasama dengan erat dalam mengendalikan pikiran kaum terdjadjah. Berkedok menjebarkan batjaan bermutu kepada chalajak ramai, dalam menerbitkan buku, Balai Poestaka itu, pada zaman puntjaknja, paling sedikit menerapkan tiga patokan.
Pertama, naskah jang masuk tidak boleh berkisar tentang tjita2 Indonesia merdeka, maximal hanja boleh mengenai pertentangan adat dan tradisi lawan modernitas. Kedua, naskah jang masuk harus sesuai dengan nilai susila jang digariskan dan dianut oleh anggota komisi jang kebanjakan adalah Belanda bule. Ketiga, naskah itu harus ditulis dalam bahasa Melajoe tinggi dan djuga dalam edjaan Van Ophuysen. Bahasa Melajoe tinggi adalah bahasa Melajoe jang diterapkan dalam naskah2 lama jang oleh Van Ophuysen, pegawai tinggi kolonial, ditemui di Riau.
Apa jang disebut bahasa Melajoe pasar jang kebanjakan digunakan oleh kalangan Tionghoa termasuk penerbitan2 mereka, tidak boleh digunakan. Djadi pada zaman pendjadjahan itu ada kontrol bahasa dan edjaan serta jang bertugas mengontrolnja adalah Balai Poestaka. Persis seperti tjiri chas rezim otoriter.
Nah, pada zaman harto pola serupa diulang oleh penguasa orde bau. Mereka mendiriken Pusat Bahasa jang melantjarkan kampanje “berbahasa Indonesia jang baik dan benar” serta —tidak kalah pentingnja— menerapken Ejaan Yang Disempurnakan mulai 17 agustus 1972. Konon kabarnja orde bau ingin menjamakan edjaan bahasa Indonesia dengan edjaan bahasa Malaysia, maklum kedua bahasa serumpun.
Tapi 45 tahun lebih usia EYD, sudahkah kita mengikuti perkembangan bahasa Malaysia? Sudah pulakah kita mengikuti perkembangan sastra Malaysia? Adakah berkala (harian, mingguan, bulanan) Malaysia jang laku di Indonesia? Adakah penulis Malaysia jang mendjadi terkenal di Indonesia (seperti penjanji2 Malaysia Anita Sarawak atau Sheila Majid) dan karja2nja selalu dinanti oleh publik pembatja Indonesia? Djelas tidak ada, karena memang bukan itu tudjuannja.
Edjaan boleh sama, tapi bahasa Malaysia tetap berbeda dengan bahasa Indonesia dan kedua bahasa itu tetap tidak djuga mendjadi lebih dekat. Apa jang disebut penjamaan edjaan jang pada intinja adalah perubahan edjaan itu tidak lain bertudjuan untuk menguasai pikiran orang, karena orang berpikir dalam bahasa dan menulis dalam edjaan.
Penggantian edjaan dan pengawasan bahasa jang dilakukan oleh Pusat Bahasa jang djuga menerapkan “politik bahasa Indonesia jang baik dan benar” memang sesuai dengan watak orde bau jang merupakan rezim otoriter dan harto jang tidak lebih dari seorang diktator belaka. Rezim seperti ini selalu berupaja menjamakan bahasa penguasa dengan bahasa rakjat, dan bila sudah demikian maka rakjat akan mendjadi lega dan rela ditimpai kekuasaan se-wenang2nja. Mereka tidak lagi memberontak atau turun ke djalan.
Perlu pula diketahui bahwa perundingan edjaan antara Indonesia dengan Malaysia itu dilakukan menjusul konfrontasi antara kedua negara, di zaman Demokrasi Terpimpin. Bung Karno tidak setudju dengan pembentukan Federasi Malaysia jang mentjakup Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak. Itu dianggepnja akal2an imperialis Inggris (Larik lagu jang sering dinjanjikan waktu itu: “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”).
Walaupun tidak sampai petjah perang, hubungan kedua negara lumajan gawat djuga. Misalnja saja lihat sendiri adegan tjukup serem pada salah satu gapura 17 agustus di Lowokwaru gang V (sekarang Letdjen Sutojo gang V), di kota tertjinta Malang. Di situ tampak tungku besar menjala dan di dalamnja ada patung Tengku Abdul Razak (perdana menteri Malaysia). Tak pelak lagi, kepala pemerintahan Malaysia itu digambarkan tengah dibakar hidup2. Begitulah gawatnja hubungan kedua negara waktu itu.
Begitu naik kuasa, harto ingin menundjukkan bahwa Indonesia sudah berubah, makanja dia dekati Malaysia untuk diadjak berunding. Salah satu perundingan awal kedua negara, pada awal 1966 (begitu harto berkuasa) adalah soal edjaan. Dalam perundingan itu, utuk membudjuk Malaysia, Indonesia melunakkan pendiriannja. Sebelum itu Indonesia menuntut beberapa hal jang berkaitan dengan linguistik kebahasaan, misalnja untuk satu suara harus ada satu huruf, djadi bukan nj atau ch atau ng (melainkan tanda2 tertentu).
Akibat politik Konfrontasi Bung Karno perundingan ini matjet. Nah di bawah harto orde bau sjarat2 linguistik kebahasaan itu ditinggalken. Seperti hubungan dengan negara2 Barat lain, hubungan dengan Malaysia ini ingin tjepet2 diperbaiki, karena itu lebih dipentingkan hal2 jang praktis dan ekonomis. Hal2 jang prinsipiil termasuk linguistik kebahasaan dikesampingkan.
Dengan begitu bukan hanja ekonomi Indonesia jang dibuka terhadap modal asing (ingat pada zaman itu Freeport masuk), tetapi bahasa Indonesia djuga dibuka bagi pengaruh bahasa asing. Kalau sekarang banjak orang Indonesia (termasuk generasi muda) jang suka sekali men-tjampur2 bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, sesuatu jang saja sebut keminggris, maka tak pelak lagi itu adalah dampak politik bahasa jang dilantjarken orde bau — politik bahasa jang begitu membuka diri pada pengaruh asing, termasuk pengaruh bahasa asing.
Bedanja dengan politik bahasa pada zaman Demokrasi Terpimpin adalah bahwa pada zaman itu orang selalu menondjolkan hal2 jang bersifat Indonesiawi. Istilah2 asing selalu ditjari padanan Indonesianja, tidak ada istilah asing jang ditelan mentah2 apalagi sampai ditjampur aduk dengan bahasa Indonesia.
Bersambung…..


Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict