Pusara Pasutri Pengikut Freemasonry Malang Masa Hindia-Belanda

Iklan terakota

Rust
Dr. P. A. A. F. Eyken
Geb.. 20 Apr. 1868 te Kediri
Overl. 28 Aug. 1934 te Poedjon
Rust Zach
Lief Vadertje

Terakota.id–Sabtu sore, 3 Agustus 2019, ditemukan kembali di areal “Bong Londo” Sukun sepasang pusara pengikut Freemasonry di Malang Raya pada masa Hindia-Belanda. Selain pusara Pieter A. Allaries dan sebuah pusara lainnya, pada Kerkhof (kompleks makam) Sukun seluas 12 hektar — yang masuk ke dalam kategori “makam heritage” bagi warga Nasrani — ini terdapat pula makam penganut Freemasonry Malang, yakni Dr. P. A. A. F. Eyken beserta istrinya.

Pusara dibangunan anak pasangan pasutri tersebut. Sebagaimana tergambar pada kalimat di akhir identitas diri dari si mati, yang bertuliskan kata “vadertje”. Menurut.”Soerabaijasch Handelsblad” terbitan tanggal 29 Agustus1934, yang memberitakan mengenai wafatnya Dr. P. A. A. F. Eyken, diperoleh keterangan bahwa ia pensiunan direktur pengarah pada “Apoteker Militer (Militaire Apotheker)” dan mantan direktur pada “De Voskapotheek” di Kota Praja (Gemeente) Malang.

Demikian pula pada pemberitaan di “Algemeen Handelsblad” pada 21 Oktober 1913, diperoleh informasi Eyken adalah seorang direktur apoteker pada institusi Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (Ned. O.- Indische). Boleh jadi Eyken adalah alumni dari Reiksuniversiteit di Utrecht – Negeri Belanda.

Eyken adalah seorang “dokter” dan bekerja dalam bidang “apoteker”. Latar akademiknya itu tergambar jelas pada gelar “dokter (Dr.)”, yang dicantumkan sebelum nama dirinya, yaitu “Dr. P. A A. F. Eyken”. Ketika masih aktif (belum pensiun), Eyken bertugas sebagai apoteker pada Rumah Sakit Militer di Malang dan pernah pula menjabat sebagai direktur pada ” De Voskapotheek” di Gemeente Malang.

pusara-pasutri-pengikut-freemensonry-malang-masa-hindia-belanda
sepasang pusara pengikut Freemensonry di Malang Raya pada masa Hindia-Belanda. (Foto : M Dwi Cahyono).

Setelah nemasuki masa pensiun, nampaknya keluarga Eyken berpindaah tinggal ke rumah peristirahatannya di Batu pada District Poedjon hingga akhir hayatnya (tahun 1934). Lelaki asal Belanda itu berada di Tanah Jawa lantaran orang tuanya telah tinggal di Jawa pada paruh kedua tahun 1800-an.

Kemungkinan ayahnya bekerja di perkebunanan pada lereng barat Gunung Kelud dalam wilayah Kabupaten Kediri sekarang. Oleh karenanya, Eyken lahir di Jawa, tepatnya di daerah Kediri pada tangga 20 April 1868. Sebagaimana tertera pada kalimat berbahasa Belanda di pusaranya ” Geb. 20 Apr. 1868 te Kediri”. Dengan demikian, Eyken adalah “mestizo”, yakni orang Belanda yang lahir di luar Negeri Belanda, yakni di daerah jajahan.

Tak diketahui dengan pasti tahun kepidahannya ke Malang. Namun, bisa jadi untuk menjalani tugas sebagai seorang dokter/apoteker yang ditempatkah di Rumah Sakit Millter di daerag Malang.

Ketika meninggal (overleden) pada tahun 1934 dalan usia 66 tahun (1868-1934), keluarga Eyken tinggal di Pujon. Sebagaimana tertera dalam kalimat pada pusaranya “Overl 28 Aug. 1934 te Poedjon”. Yang dimaksud dengan “Poedjon (baca “Pujon”)” adalah nama “distrik”, yang pada tahun 1930-an pusat Districk Poedjon berada di wilayah Kota Batu sekarang.

Pusara Eyken berdampingan dengan pusara dari istrinya. Sayang sekali nama sang istri tak dapat diketahui, karena tulisan mengenai identitas diri pada pusaranya sama sekali tidak terbaca. Yang terlihat hanyalah gambar (lambang) berbentuk “daun accacia”, yang melambangkan immortality of soul, yakni salah satu simbol yang ASAP hadir di kalangan Freemensonry.

Kendall tidak diketahui nama, waktu dan tempat kelahiran serta kenatiannya. Namun bisa dipastikan bahwa itu adalah pusara Madame Eyken, dengan pertimbangan (a) berdampingan dengan pusara Eyken, (b) bentuk pusara keduanya sama, dan (c) gambar lambang yang tercantum di pusaranya sama-sama berwarna putih kecoklatan.

Memang, di sejumlah besar contoh kasus pada pusara di TPU Nasrani Sukun, suami-istri dimakamkan berdampingan. Baik pada pusara yang sama atau pusara sendiri namun satu sana lain berada bersebelahan. Konsepsi Kristiani bahwa yang telah dijodohkan oleh Kristus pantang dipisahkan oleh manusia diimplementasikan hingga kematiannya. Dengan menempatkan jasadnya berdampingan. Pusara dengan demikian menjadi cermin teladan tentang “kesetiaan” bersuami-istri.

Tidak diragukan bahwa Eyken adalah penganut Freemasonry. Menurut pemberitaan dalam “Soerabaijasch Handelsblad” tanggal 29 Agustus1934, jasadnya diberangkatkan ke makam (Kerkhof Soekon) dari Loge di Malang. Yakni dari Loji Freemasonry di Cernee Straat. Selain itu jelas tertampakkan pada gambar lambang yang berada di sisi atas identitas diri pada pusara Eyken. Bergambar “jangka dan penggaris siku” dengan warna putih kecoklatan. Seperti warna pada gambar lambang daun palma pada pusara Madame Eyken.

Arkeolog sekaligus sejarawan M. Dwi Cahyono meneliti pusara pengikut Freemensonry di pemakaman Sukun Kota Malang. (Foto : M Dwi Cahyono).

Data ini meneguhkan bukti mengenai tidak sedikit warga Europa masa Hindia-Belanda yang konon tinggal di kawasan Malang Raya — termasuk juga di Batu — yang menjadi anggota perkumpulan Freemasonry. Anggota Freemasonry banyak dari kalangan professional pada zamanannya. Seperti halnya Eyken, yang kala itu adalah seorang dokter.

Demikianlah, pusara pasutri Eyken di Kerhof Sukun menyuguhkan data historis bagi Malang di era Kolonial. Khususnya terkait dengan para pengikut Freemasonry di Malang Raya pada Masa Hindia- Belanda (paro pertama abad XX). Semoga tulisan ringkas dan bersahaja ini mampu memberikan faedah. Paling tidak sebagai cercah sinar penerang bagi kesejarahan Malang Era Kolonial.

Terima kasih kepada Kepala dan staf TPU Nasrani Sukun yang telah memfasiltasi kami. Yakni TACB, Disbudpar dan volunteer pancacah data Cagar Budaya (CB) Kota Malang yang pada benerapa pekan ini tengah lakukan survey. Tujuannya untuk penetapan puluhan bangunan heritage guna ditetapkan sebagai “CB.” Suwun juga atas suguhan wedang kopi dan setoples “Kopi Tulang” hasil tanaman produktif di areal TPU. Nuwun.

Sangkaling, 4 Agustus 2019
Griya Ajar CITRALEKHA

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

1 KOMENTAR