
Terakota.ID–Setelah bertahun-tahun timbul dan tenggelam di portal-portal online dan sesekali muncul di blognya sendiri, Samack akhirnya menerbitkan buku Punguti Aksara, kumpulan tulisan-tulisan musiknya. Saya sendiri pertama kali mengenal Samack melalui tulisan-tulisannya di JakartaBeat antara 2011-2015. Bahasan tentang Malang di majalah online itu saya butuhkan.
Tapi, sebagai orang yang tidak terlalu erat dengan scene metal lokal dan cenderung mengawali minat kepada musik lewat lirik, saya sering merasa tidak puas dengan tulisan Samack yang waktu itu saya rasa kurang membahas lirik. Ketika ditawari membaca buku ini oleh Denny Mizhar di Pelangi Sastra Malang, saya siapkan diri menerima apa saja yang ditawarkan buku ini. Tapi masih tersisa pertanyaan: akankah ganjalan dulu itu muncul lagi?
Ternyata, pembacaan pertama langsung membuat motif di balik tulisan-tulisan Samack cukup jelas. Punguti Aksara membuat kita awas kepada hal-hal yang musik tidak pernah kita temui sepenuhnya sebagai penikmat musik. Hal ini mungkin terjadi berkat partisipasi si penulis sebagai orang dalam. Namun, kita juga mendapatkan kritik tentang musik yang cukup berarti atas beberapa album yang dibahas di sini serta mendapati bagaimana musik bawah tanah bernegosiasi dengan situasi politik.
Di buku ini kita bisa melihat artikel-artikel yang ditulis Samack tentang berbagai hal seputar musik Indonesia, khususnya di ranah selain musik pop yang lagi populer. Kita mendapatkan wawancara dengan musisi rock, cerita tentang jatuh bangunnya sebuah band punk Malang, ulasan lagu per lagu dalam album rock, artikel tentang stasiun radio legendaris, juga artikel feature tentang sebuah tempat minum yang akrab bagi penggemar musik. Masing-masing tulisan punya penekanan yang berbeda-beda, terkadang pada musiknya, pada musisinya, kejadian seputar musiknya, atau tentang potensi kritis dalam lirik-liriknya.
Satu hal yang mencirikan sebagian besar tulisan-tulisan Samack di buku Punguti Aksara ini adalah adanya kedekatan alami antara si penulis dengan sebagian besar musisi yang dibahasnya atau orang-orang yang dikutipnya. Saat berbicara tentang sebuah band, penulis kita ini tidak lupa menyebutkan tentang pertemuan-pertemuan antara dia dan para musisi itu, tentang momen-momen bersama mereka dan beberapa hal lain yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah saling percaya.
Pengulas atau jurnalis?
Tulisan-tulisan Samack dalam buku ini memiliki pendekatan yang khas. Ulasannya lebih bersifat pada pengalaman penikmatan dan usaha untuk membantu memahami. Mungkin bisa juga kita sebut tulisan-tulisan ulasan musik ini sebagai tulisan feature tentang sebuah album. Beberapa kecenderungannya mendekati seorang jurnalis daripada pengulas.
Samack cenderung apresiatif secara terbuka terhadap album-album yang dia dengarkan. Dalam menggambarkan album-album dalam Punguti Aksara, dia menggunakan berbagai sumber yang bisa dia akses. Ada kalanya Samack memahami lirik-lirik dengan kecenderungan minat para musisinya. Sering juga dia menghubungkan riff-riff gitar tertentu dengan karya-karya lain dalam khazanah musik metal yang dia pahami. Tidak jarang, dia mengutip reviewer-reviewer terdahulu yang pernah memberikan komentar terhadap album itu.
Tidak heran bila banyak dari tulisannya juga sebenarnya merupakan liner notes. Dari bagian “Di Balik Skrip” yang menyertai setiap tulisan dalam Punguti Aksara, kita mendapat informasi tentang perjalanan skrip ini. Banyak dari tulisan ini yang memang merupakan liner notes atau tulisan penyerta di sampul plat/CD/kaset dari album-album yang diterbitkan itu. Kalau dalam dunia buku, tulisan-tulisan ini bisa dibilang “Kata Pengantar” dari pakar atau orang-orang yang sudah mencoba memahami buku tersebut begitulah. Bisa dibilang, dia ikut andil dalam penerbitan rekaman-rekaman itu. Lagi-lagi, Samack memang penulis yang terlibat secara organik dengan sebagian besar yang ditulisnya.
Etos membantu memahami ini juga tampak pada adanya tulisan-tulisan yang berupa wawancara dengan musisi atau jurnalis musik. Sebagai contoh saja, dalam tulisan “Marcel Thee: “Kami tidak …” Samack mengawali dengan pengantar di mana dia menafsirkan album Hobglobin sebagai karya yang perlu didengar dari awal hingga akhir. Katanya, “Supaya tidak terlalu menduga-duga, [Samack] memutuskan berbincang saja dengan … Marcel Thee, untuk mendapatkan informasi yang lebih detail” (hal. 186). Hal ini mengindikasikan dia menulis bukan untuk mengajukan sebuah tafsiran layaknya seorang kritikus, tapi mencari informasi dan melaporkannya seperti halnya jurnalis.
Karena itulah, kalau kita mencari lontaran argumen tentang kekurangan sebuah album, sulit rasanya menemukan itu di buku ini. Tapi, kalau Anda ingin memperluas wawasan, mencoba mencari tahu lebih jauh dari yang mainstream, Punguti Aksara adalah perkenalan yang memadai untuk mengapresiasi musik, terutama dari kecamatan grindcore, death metal, atau sekitarnya. Buat saya yang selama ini tinggal di dunia yang pop-pop saja, artikel-artikel dalam buku ini cukup sabar menggugah penasaran dan menggerakkan untuk mendengarkan.
Salah satu yang saya jadi kenal adalah band punk asal Malang ini. Mari kita dengar biar sedikit terpompa adrenalinnya:
Lagu mati dari Antipathy
Partisipatif atau Gonzo?
Tapi, tidak bisa juga kita menyebut Samack sebagai seorang jurnalis pada umumnya. Perlu dicatat sebelum jauh: Dia adalah seorang metalhead, kolektor kaset, penonton konser, dan “anak nongkrong” skena musik bawah tanah (kalau memakai istilahnya generasi MTV). Meskipun dia tidak bisa main gitar, Samack sangat layak disebut orang dalam. Saat melihat orang dalam yang menulis tentang berbagai hal yang dialami sendiri begini, kita mungkin tergerak menyebut dia sebagai “citizen journalist” atau “jurnalis warga.” Tapi apakah dia betul jurnalis warga? Ataukah dia justru yang lain?
“Jurnalisme warga” atau istilah teknisnya “participatory journalism” biasanya merujuk kepada keterlibatan warga dalam melaporkan hal-hal yang newsworthy. Dan biasanya hal-hal itu memang terjadi kepada mereka sendiri. Kejadian bencana atau kecelakaan adalah yang biasanya menyebabkan datangnya jurnalisme warga. Istilah itu sendiri muncul setelah tsunami Aceh tahun 2004. Kita banyak mendapatkan gambar tsunami Aceh berkat para videografer amatir dokumentasi. Begitu juga dengan gempa Palu, peran aktif jurnalis warga sangat membantu pemberitaannya.
Salah satu elemen terkuat dari jurnalisme warga adalah spontanitasnya. Dengan berbekal telepon pintar di tangan dan kemampuan melaporkan ala kadarnya, seorang jurnalis warga bisa memberikan laporan yang penting dan seringkali menggetarkan karena si pelapor adalah orang dalam yang emosinya terlibat (partisipatif). Tapi kualitas teknisnya harus diakui seringkali tidak prima.
Dalam banyak hal tulisan-tulisan Samack ini juga begitu. Dia terlibat dengan musik, musisi, fenomena, atau scene yang dituliskannya. Tidak jarang, dia menjadi tokoh utama di dalam pelaporan yang dibuat itu (lihatlah misalnya kisah perburuan album Taring dari Seringai. Di tulisan tentang Houtenhand, dia bahkan cerita ketiduran karena terlalu mabuk saat mewawancarai Andi Alo dan HP yang dia pakai untuk wawancara harus diselamatkan awak Houtenhand.
Memang, ada keterlibatan dan spontanitas, tapi ini lebih tua dari jurnalisme warga. Sebaliknya, banyak dari tulisan Samack di sini yang menguarkan spirit “jurnalisme gonzo,” gaya jurnalisme yang mengandalkan kepada subjektivitas penulis, partisipasi dalam liputan, dan keinginan untuk mengajak pembaca mengalami kisah, seperti halnya yang terjadi dalam karya fiksi. Gaya jurnalistik penuh aksi ini dipopulerkan oleh Hunter S. Thompson dalam artikel-artikel yang dia tulis untuk San Francisco Examiner, Rolling Stone, dan lain-lain. Dia menulis tentang berbagai topik mulai geng motor sampai renang dengan artis Hollywood. Yang khas, di dalam semua artikelnya, Thompson juga menggambarkan keterlibatannya dan menjadikan dirinya tokoh utama dalam berbagai usahanya mencari berita–tidak jarang dia jadi tokoh utama antihero. Seringkali dia bombastis dan sarkartik dalam berbahasa.
Sebagai gambaran singkat tentang jurnalisme gonzo, mari kita dengar presentasi singkat dari bapak guru jurnalisme ini:
Apa itu jurnalisme gonzo?
Samack bermain gonzo dalam banyak artikel yang ada di buku ini. Membaca tulisan-tulisan dalam Punguti Aksara ini memperkenalkan kita kepada berbagai band dan album Indonesia. Memang. Kita jadi tahu para musisi yang dirayakan di bawah tanah. Kita jadi tahu juga album indie yang begitu dinanti-nanti. Namun, kawan, kita juga tahu tentang siapa itu Samack, apa saja kegiatannya, di mana squat-nya dulu dan sekarang. Pendeknya kita jadi tahu tentang dia–atau versi dirinya yang dia ingin orang ketahui.
Sementara kita sebut saja tulisan-tulisan ini gonzo. Ada kalanya aksi Samack begitu menonjol di dalam tulisannya, tapi ada kalanya dia menjaga diri dan membiarkan musisi dan karya yang digarapnya maju ke permukaan. Sebagai pembaca, kita ikut mengalami cerita pertemuan dengan musik, musisi, dan fenomena musik yang diliputnya.
Warna-Warni Bawah Tanah
Terakhir, dan yang tak mungkin terlewatkan adalah bahwa dalam Punguti Aksara Samack mencoba mengurai wujud pertalian-pertalian antara musik dan hal-hal yang melingkupinya. Situasi politik sezaman, protes tentang kesewenangan, dan isu-isu penting abad ini adalah hal-hal yang ternyata bisa berkaitan sangat erat dengan musik metal ini.
Musik bawah tanah dan musik pop punya level kebebasan bereksplorasi yang berbanding terbalik. Musisi yang pop memang cenderung menggarap tema-tema yang cenderung emosi personal. Persahabatan, cinta, kesedihan, dan kebahagiaan adalah yang nyaris selalu ditemukan dalam lirik-lirik musik pop. Sebaliknya, musik-musik bawah punya taman bermain serba luas–mungkin seluas taman nasional–untuk dieksplorasi. Tema hura-hura sampai tema paling mulia bisa dijangkau.
Samack memotret beberapa area musik bawah tanah yang sebagian di antaranya mungkin tak terduga. Artikel berjudul “Narasi Perlawanan dan Nyali untuk Menantang Tirani” menangkap momen-momen penting musisi bawah tanah Indonesia menyuarakan tekanan dan menggugat tirani. Di situ diabsen bagaimana Homicide, Pure Saturday, Burgerkill, dan lain-lain urun suara menjaga kesadaran akan ketidakberesan yang mungkin tak kasat mata.
Sebelum melanjutkan pembahasan terakhir kita, mari putar dulu lagu dari legendanya musik indie yang iramanya cenderung healing ini.
Pure Saturday menampilkan Coklat
Dua artikel selaras tema yang perlu penyebutan khusus adalah yang paling kuat suara kritisnya. Artikel pertama bisa ditemukan dalam “Semesta Gelap yang Menggigit Balik,” yang berbicara tentang 6 episode mulai dari gagasan perburuan CD Taring dari Seringai hingga tafsiran atas lagu-lagu di dalamnya. Di situ Samack mengutip dari Agung Rahmadsyah yang mengatakan kurang lebih bahwa musisi indie memanfaatkan kekuatan musik yang memudahkan orang mengingat dan mencerna. Intinya, musisi indie bisa politis sejak awal. Di artikel lain yang berbicara tentang album “Venomous,” Samack menggali bagaimana berbeloknya tema Burgerkill dari keresahan gelap dari masa Ivan Scumbag ke masa Vicky (tepatnya di saat penyiapan album “Venomous”) yang menjelajah ke tema-tema yang lebih universal dan memandang ke depan.
Yang tak terduga adalah wawancara Samack dengan Garna Raditya dari band grindcore semarang AK//47 tentang visi literasi Garna Raditya. Ya, literally literasi! Kesadaran akan tradisi mendokumentasikan secara tertulis untuk merawat ingatan sejarah serta sikap kritis adalah poin besar yang ingin disampaikan oleh Garna. Samack pun mengamini dengan mengambil frase “punguti aksara” sebagai judul buku ini. Kalau kita gunakan logika Garna, buku ini adalah usaha Samack untuk “memunguti” berbagai pengalaman menyuntuki musik dan bergaul dengan musisi dan menjadikannya aksara yang turut menyumbang literasi kita tentang musik, khususnya musik Indonesia, khususnya lagi yang ada di bawah tanah–meskipun tidak terbatas ke sana.
Untuk bagian ini, kita bisa bilang bahwa Punguti Aksara mengajak kita melihat nuansa. Pembaca yang tahu sekilas-sekilas saja tentang musik semacam grindcore, thrash metal, dan sejenisnya akan bisa melihat warna-warni dan asam-manis dari musik-musik tersebut. Pendek kata, metal tidak hanya terlihat hitam, pahit, dan parau. Begitu kita masuk sedikit melewati hitamnya, ragam warna dan kayanya cita rasa itu akan muncul.
* * *
Sebagai seorang pendengar musik yang cenderung mengalir bersama air (mendengar apa saja yang kebetulan melintas di depan mata tanpa banyak usaha mencari-cari), saya merasakan pertemuan dengan Punguti Aksara menyegarkan. Selama ini saya berpindah-pindah musisi kegemaran dan menjelajahi berbagai genre musik karena pergaulan, kebutuhan, review majalah, dan sejenisnya. Memang tidak semua band yang dibahas di buku ini baru bagi saya. Tapi, banyak latar belakang dari musik dan musisi yang dibahas ini tidak pernah begitu penting bagi saya. Dan kini pengetahuan baru itu cukup menggugah.
Mungkin di situ nilai buku kumpulan tulisan Samack ini. Selain ulasan-ulasan atas behind the scene-nya musisi-musisi yang sudah dikenal banyak orang, buku ini memperkenalkan kita kepada musik dan musisi lokal yang mungkin hanya diakrabi para penikmat musik bawah tanah saja. Khusus untuk musisi Malang seperti Ingus, Extreme Decay, Antipathy, dan lain-lain, tulisan-tulisan yang diwarnai pertemuan erat dalam buku ini menjadikan musisi-musisi ini lebih accessible dan dengareable.
Saya seperti mendapat jawaban atas pengharapan yang dulu tidak terpenuhi seluruhnya oleh tulisan Samack. Dulu memang saya berharap dia mengulas lirik untuk membantu saya relate dengan band-band itu. Kini tampak jelas: Kalau saya mengharapkan Samack mengulas lirik-liriknya, saya tidak akan terpuaskan. Namun, kalau saya ingin kenal dengan dunia musik bawah tanah, cerita-cerita musisinya, dan apa dampaknya bagi pembaca-pembacanya, itulah yang memang ditawarkan Samack dengan tulisan-tulisannya.
Samack mencebur ke dunia musik, musisi, dan penikmat. Kemudian dia menceritakannya kepada kita. Dan, meskipun tidak secara eksplisit, Samack mengajak kita ikut mencebur. Paling tidak tipis-tipis lah, lewat YouTube dan Spotify.

Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang.
Menarik juga bukunya jadi tertarik buat baca. artikelnya keren kak. ditunggu artikel selanjutnya ya kakk..
awesome thanks admin
Apakah ganjalan tersebut muncul lagi ketika membaca buku tersebut?
Visit us telkom university