Prediksi Jakarta Tenggelam, Berikut Mitigasinya

bagaimana-sikap-jurnalis-atas-fenomena-banjir
Relawan BNPB mengevakuasi warga Jakarta yang terjebak banjir dengan perahu karet. (Foto : BNPB)
Iklan terakota

Terakota.id-Kawasan DKI Jakarta berpotensi paling cepat tenggelam di Indonesia akibat perubahan iklim. Sejumlah faktor menyebabkan meningkatnya potensi Jakarta tenggelam. Yakni letak geografis sekitar 40 persen wilayah berada di bawah permukaan lain. Selain itu, tingkat urbanisasi yang masif menyebabkan pembebanan pembangunan, serta penggunaan sumber air secara besar-besaran yang menyebabkan turunnya permukaan tanah.

Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim, Irvan Pulungan menerangkan dampak perubahan iklim melipatgandakan permasalahan yang dihadapi. Seluruh organisasi pemerintah daerah mengalami permasalahan yang serupa.

“Isu global umat manusia ini hanya ditangani Sub Bidang di bawah Dinas Lingkungan Hidup, ruang gerak dan kewenangannya terbatas dalam menjalin kerja sama secara vertikal maupun horizontal,” katanya dalam webinar bertema “Ancaman Tenggelamnya Kota Pesisir Pantai Utara Jawa, Apa Langkah Mitigasinya?” yang diselenggarakan  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Indonesia Communications, Kamis 16 September 2021.

Solusinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan beberapa kebijakan strategis. Meliputi mendorong kolaborasi aksi pemangku kepentingan pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil dan organisasi akademik dalam menanggulangi krisis iklim melalui pembentukan Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.

“Penanganan dampak bencana iklim merupakan salah satu prioritas kerja utama Gubernur DKI Jakarta,” katanya.

Melalui Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2021, katanya, Pemprov DKI Jakarta memberikan subsidi air bersih untuk mendorong terwujudnya perluasan layanan air bersih bagi warga Jakarta. Tujuannya membantu mengurangi penggunaan air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta.

Pesisir Utara Lebih Berisiko Dibanding Pesisir Selatan

Peneliti ahli utama bidang teknologi penginderaan jauh BRIN, Rokhis Khomarudin menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap penurunan permukaan tanah di pesisir utara Pulau Jawa. Berdasarkan hasil pemantauan citra satelit terbukti terjadi penurunan muka tanah di DKI Jakarta antara 0.1-8 centimeter per tahun, Cirebon antara 0.3-4 centimeter per tahun, Pekalongan antara 2.1-11 centimeter per tahun, Semarang antara 0.9 – 6 centimeter per tahun, dan Surabaya antara 0.3 – 4.3 centimeter per tahun .

Citra satelit tergambar pesisir utara Jawa, terutama Pekalongan, mengalami penurunan muka tanah paling tajam. Kondisi geologi daerah pesisir yang merupakan tanah lunak ditunjang dengan peningkatan pembangunan pemukiman dan penggunaan air tanah menyebabkan penurunan muka tanah semakin tinggi.

“Manusia ikut menjadi faktor penyebab yang signifikan. Konsumsi air tanah masif dan tidak terkendali menyebabkan turunnya permukaan tanah,” katanya. Meski saat ini dampaknya belum terlalu terasa, namun risiko turunnya permukaan tanah jelas membawa kerugian besar. Baik sisi sosial maupun ekonomi, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia.

“Perlu monitoring terhadap penurunan tanah dan laju perubahan garis pantai akibat perubahan ketinggian air laut,” katanya.

Aktivis Ecoton berujukrasa dan kampanye atas impor sampah plastik yang mencemari sungai di Jawa di Monas Jakarta 3 Mei 2021. (Foto : Ecoton).

Peneliti ahli utama BRIN, Profesor Eddy Hermawan mengungkapkan fenomena turunnya permukaan tanah di pesisir utara Pulau Jawa. Struktur geologinya, kata Eddy, lebih mengkhawatirkan dibandingkan selatan Jawa.  Pesisir selatan cenderung berbukit. “Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya adalah kota pesisir utara Jawa yang paling rawan terhadap penurunan tanah ekstrem hingga 2050,” katanya.

Sedangkan di pesisir utara kondisi morfologi yang relatif datar membuat hampir seluruh aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan perekonomian dipusatkan di utara Jawa. Sehingga membuat beban tanah karena bangunan dan penyedotan atas penggunaan air tanah menjadi lebih intensif dibandingkan dengan wilayah lain. Sehingga perlu upaya mitigasi dengan kebijakan penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan harus segera dilakukan.

Dampak Perubahan Iklim

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim 2021 menunjukkan tenggelamnya pesisir utara Pulau Jawa tak hanya prediksi, namun semakin nyata. IPCC melaporkan prediksi kawasan Asia Tenggara. Kerentanan kawasan terhadap kenaikan permukaan air laut ditemukan lebih cepat terjadi dibandingkan daerah lain.

Semakin diperburuk pergeseran tektonik dan efek surutnya air tanah. IPCC meneliti dan mengamati hilangnya wilayah pesisir dan kemunduran garis pantai di Asia Tenggara mulai 1984 sampai 2015. Penelitian ini menunjukkan permukaan laut regional rata-rata terus meningkat. Sehingga membuat kejadian banjir lebih sering di derah pantai.

Ilustrasi : Thinglink.com

“Ditambah tingkat total ekstrem air atau extreme total water level/ETWL lebih tinggi di daerah dataran rendah dan erosi pantai mulai terjadi di sepanjang pantai berpasir,” ujar Pakar Iklim dan Meteorologi BRIN yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, Profesor Edvin Aldrian.

Ia menegaskan kenaikan air laut tak lepas dari fenomena mencairnya es di kutub bumi dan pemuaian air laut karena pemanasan global. Sehingga mengakibatkan penambahan volume air laut, serta meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir yang menggenangi wilayah daratan.

“Dapat disimpulkan perubahan iklim disebabkan aktivitas manusia menyebabkan tingkat banjir yang lebih tinggi termasuk yang terjadi pada pesisir utara Pulau Jawa,” katanya.

Perencanaan Pembangunan Tata Ruang Kota

Atas fenomena tersebut, Pemerintah harus memiliki manajemen risiko bencana untuk mewujudkan konsistensi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup. Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Profesor Hariadi Kartodihardjo menyatakan persoalan paling mendasar dalam merencanakan dan menjalankan pembangunan tata ruang dapat mengikuti kehendak dan permintaan pasar (market). Sehingga sarat kepentingan pihak-pihak tertentu.

“Perubahan iklim merupakan isu global. Kebijakan mitigasi harus disusun dan ditaati pemerintah pusat dan daerah dengan melibatkan semua lapisan masyarakat,” katanya.

Dengan demikian, semua orang mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengimplementasikan aksi atau gerakan sosial dan adaptasinya. Tujuannya untuk meminimalisir risiko bencana. Hariadi menekankan pemerintah daerah memegang peranan penting untuk menyusun kebijakan perencanaan pembangunan.

“Pemda bisa mengintervensi proyek pembangunan di daerah pesisir pantai. Intervensi ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan,” katanya. Selain itu, ujar Hariadi, pemerintah daerah perlu menginformasikan kepada semua pemangku kepentingan tentang faktor pendukung pencegahan kerusakan lingkungan. Seperti penggunaan air tanah dan sistem drainase yang baik.

Menanggapi kebijakan pemda DKI Jakarta, Profesor Hariadi memandang pentingnya indikator kinerja yang dapat diawasi akademisi, LSM, media massa, dan masyarakat.

Kebijakan pemda, ujarnya, akan lebih efektif jika mendapatkan pengawasan dari masyarakat. “Partisipasi aktif masyarakat bisa memberikan solusi yang efektif untuk tata ruang perkotaan,” ujarnya.