Terakota.id—Kata “isu (bahasa Inggris “isue”) tidak selalu berarti (a) kabar yang tak jelas asal-mulanya dan tidak terjamin kebenarannya, namun bisa juga menunjuk pada (b) suatu masalah yang di kedepankan untuk ditanggapi (KBBI, 2002: 446). Dengan demikian, isu bukan senantiasa berwujud kabar bohong (hoax), melainkan bisa juga suatu realita.
Memang, tidak tertutup kemungkinan suatu isu bisa saja berubah menjadi rumor, gosip, gunjingan, kabar angin, desas desus, bahkan hoaks sekalipun apabila isu tersebut “dibiaskan” atau “dipolarisasiikan” alias “digoreng”. Jika terjadi demikian, yang semula “kebenaran” bisa melenceng menjadi “kebohongan”, apa yang pada awalnya “kecil dan biasa-bisa saha” menjelma jadi besar dan luar biasa”. Isu apapun ada kemungkinan untukt dibiaskan, dipolarisasiikan atau digoreng, sehingga yang semula realitas berubah menjadi persepsitas.
Terdapat bermacam peringkat isu, mulai dari (1) isu lokal, (2) isu nasional, hingga (3) isu global. Isu yang semula hanya berada di tingkat lokal, boleh jadi merebak menjadi isu nasional, dan bahkan “meraksasa” menjadi isu global. Isu yang demikian dikatakan sebagai “isu lokal yang mengglobal”. Sebaliknya, bandul gerak isu bisa juga mengarah pada “isu global yang melokal”. Polarisasi isu menjadikan suatu isu akan melintas secara (a) interpersonal, (b) lintas area, (c) lintas strata, atau (d) lintas aspek. Disamping dapat mengalami polarisasi, isu yang awalnya berkenaan dengan suatu aspek kemudian membias pada aspek-aspek lain, sehingga berdampak multi-aspek.
Virus Corona yang terdeteksi awal pada tanggal 31 Desember 2019 di Pasar Wuhan, dan dalam waktu singkat menjadi “endemi” pada negeri Tiongkok di bulan Januari 2020. Selanjutnya memasuki medio Februari s.d. medio Maret 2020 berubah menjadi “pandemi’ ketika telah merebak ke 144 megara, yang tidak terkecuali di Indonesia. Sontak, virus Corona menjadi “isu global”. Tergambar bahwa vrus Corona mengalami “polarisasi”, yaitu : dari “endemi” menjadi “pandemi”, dari “isu lokal” menjadi “isu nasional”, malahan “isu global”.
Sebenarnya, pada beberapa tahun yang terakhir, sebelum Covid-19 mewabah, telah terdapat sejumlah pandemi, antara lain Flu Burung, Flu Babi, Demam Berdarah, Antrax, MERS, SARS, dsb. Bahkan pada perjalanan panjang sejarah kehidupan manusia pernah terjadi pandemi- pandemi besar, yang tidak hanya memakan korban jiwa ribuan orang, dan malahan ratusan ribu hingga jutaan orang. Seakan-akan tiap masa mempunyai pendeminya sendiri. Atau dengan perkataan lain, pandemi telah akan akan berlangsung lintas masa.
HIV/AIDS yang bermula berjangkit di Kongo tahun 1976 kemudian merebak ke penjuru dunia, dengan waktu puncak tahun 2005-2012, menjangkiti 36 juta orang sejak tahun 1981. Berselang beberapa dasawarsa sebelumnya terdapat pandemi Flu Hong Kong, yang disebabkan oleh virus Influenza, yaitu strain H3N2 dari virus Influenza A — cabang genetik dari sub- tipe H2N2, dengan waktu puncak tahun 1968.
Lebih awal lagi terjadi Flu Hong Kong, yang menelan korban jiwa 1 juta orang,. Lagi-lagi tentang wabah flu, pada tahun 1956-1958 dunia dilanda pandemi Flu Asia (influenza A subtipe H2N2) yang asal pengaruhnya dari Tiongkok. Dampak Flu Asia hingga mencapai sekitar 2 juta orang. Wabah flu lainnya terjadi tahun 1918 dan 1920, yang malahan menelan korban jiwa hingga sekitar 20 -50 juta orang dan sempat menginfeksi lebih dari sepertiga populasi dunia.
Pandemik lain adalah kolera, yang melanda dunia selama dua tahun (1910- 1911), yang menewaskan lebih dari 800.000 orang. Virus kolera berasal dari India, dan dengan cepat menyebar ke wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Timur, Rusia, dan mengenai juga Asia. Tiga dasawarsa terdahulu, yakni tahun 1889-1890, berlangsung pandemi Flu Rusia (Influenza A H2N2) — riset terbaru berhasil mengidentifikasikan penyebabnya, yaitu sub- tipe virus Influenza A H3N8, yang menelan korban jiwa hingga 1 juta orang.
Sebelum terjadi pandemi kolera tahun 1910-1911 itu, lebih dulu terjadi pandemu kolera pada tahun 1852-1860, yang menelan korban jiwa 1 juta orang. Kolera pernah disebut-disebut sebagai “penyakit yang paling mematikan”..Tak kalah ngerinya adalah pandemi “The Black Death” tahun 1346-1353, yang menelan korban jiwa fantastis, yakni sebesar, 75-200 juta orang. Wabah yang disebabkan oleh pes ini sempat menghancurkan Eropa, Afrika dan Asia.
Lebih awal lagi, yakni pada tahun 541–542, terjadi wabah “Plague of Justinian”, yang memakan korban jiwa sebesar 25 juta orang. Suatu oandemi yang juga disebabkan oleh pes ini membunuh sekitar 1/2 dari populasi Eropa. Jejak wabah tertua yang berhasil diidentifikasi adalah “Antonine Plague (Gakenal)” pada tahun 165 Masehi, dengan jumpah korban jiwa sebesat 5 juta orang. Penyebabnya belum diketahui pasti, namun diduga adalah cacar atau campak. Wabah ini menimpa Asia Kecil, Mesir, Yunani, dan Italia.
Paparan di atas memberi gambaran bahwa diantara isu-isu besar dunia (baca “global”) adalah wabah penyakit yang pernah melanda wilayah amat luas di penjuru dunia, merebak dengan cepat, dan menelan korban jiwa yang amat besar. Pandemi Invulenza (flu), kolera, serta pes tercatata beberapa kali melabda dunia pada masa berlainan, dan menelan korban jiwa ratusan ribu bahkan jutaan orang. Tentu merupakan kematian yang fantastis bila menilik jumlah warga dunia kala itu.
Diantara psndemi-pandemi itu turut melanda Asia di era kerajaan-kerajaan Nusantara dalam Masa Hindu- Buddha. Pada masa berikutnya, yaitu pada Masa Kolonial Belanda, wabag colera, pes, campak dan lepra pernah turut melanda Nusantara. Pandemi “The Black Death” yang disebabkan oleh pes di tahun 1346-1353 menewaskan 75-200 juta orang. Kala itu se masa dengan keemasan Majapahit. Apakah Dwipa Jawa ikut terlanda pandemi pes ini? Belum didapat datanya.
Lebih awal lagi, yaitu tahun 541–542 (medio abad VI), ada pandemi.”Plague of Justinian” yang juga disebabkan oleh pes. Wabah pes ini memakan korban sebesar 25 juta orang, bahkan membunuh sekitar 1/2 dari populasi Eropa. Kala itu se era dengan Tarumanagara. Juga belum dapat diketahui apakah melanda Jawa. Namun, yang menarik untuk dicermati adalah bahwa wabah pesb yang bertalian dengan tikus, dan di relief Mahlhakarnawibhangga pada Candi Borobudur (awal abad IX M. ) terdapat relief yang menggambarkan pemberantas tikus, malahan dengan menggunakan teknik prngasapan.
Wabah penyakit, yakni semacam “penyakit kelamin”, pernah melanda She’ Po (translur Cina bagi Jawa). Kronik Dinasti Tang (618- 906 M. ) memberitakan tentang adanya “perempuan berbisa”, yang apabila kali-laki berhubungan dengannya, maka is akan luka bernanah dan kemudian mati, namun mayatnya tidak membusuk. Penyakit ini mr tingkatkan kita pada penyakit sipilis, yang dalam istilah lokal dinamai penyakit “rja singa”.
Suatu penyakit yang konon pernah menggema luas. Selain itu sumber data prasasti beritakan tentang adanya sejumlah penyakit menular lantaran virus, seperti invulenza (humbelen), lepra (wuduk — varian sebutan “buduk” atau kusta, bila sudah parah disebut “barah”), epilepsi (hayan — varian sebutan “ayana”, kini “ayan”), malaria, gondong (leher membengkak karena infeksi virus paramyxovirus pada kelenjar air liur), dsb.
Bias Isu mengenai Pandemi
Selain mengalami polarisasi, suatu isu juga rebutan mengalami pembiasan, entah kerena kesengajaan “digoreng” untuk kepentingan tertentu, kekurangan pahaman, atau lantaran penyampaian dari mulut ke mulut. Terkadang bias isu mengundang perhatian lebih besar, bahkan menimbulkan keribetan yang melebihi pokok isunya itu sendiri. Misalnya, pada hampir semua negara yang terpapar oleh Covid-19 terjadi sejumlah “bias isu”, seperti psiko-ekonomi, ketahanan-keamanan, pembatasan mobilitas sosial, kepanikan di ranah publik, dsb.
Panik publik antara lain tergambar pada terjadinya aksi borong (panic buying) masker dan cairan desinfektan yang menimbulkan kelangkaan stok dan diikuti dengan pelambungan harga hingga 10 kali lipat. Tak pelak, panik publik maupun aksi “mengail di air keruh” menjurus pada tindak kriminal yang merugikan publik. Ribetnya bukanlah semata untuk mengatasi penderita sakit, namun aparat keamanan juga diribetkan oleh perburuan untuk menangkap pelaku serta pengawasan terhadap penjualan masker dan desinfektan. Perokonomian dunia pun sempat tergoncang oleh dampak Covid-19.
Ketika manusia berada di “Era Komunikasi”, yang ditopang okeh perangkat telepon dan internet, bias isu lebih gampang terjadi, baik dalam bentuk rumor, gosip hingga hoax. Isu global Virus Corona pun sambat membias kepads lagu dangdut koplo remix di daerah Banyuwangi, yang berjudul “Corona”. Lagu ini diunggah di akun FB (Facebook) hari Sabtu, 29 Februari 2020 sekitar pukul 00.19 WIB, dinyanyikan oleh Alvi Ananta. Unggahannya Sontaki mendapat hujatan publik. Bukan karena virus Corona- nya, melainkan lantaran akronimasi Corona itu dengan “Comunitas Rondo Merana”, seperti kutipan sebagian bait lagunya sebagai berikut.
Corona, virus dari China
Comunitas Rondo Merana
Corona, merambah dunia
Komunitas janda yang membuat resah
Para istri yang sering ditinggal kerja
Padahal suaminya diluaran berkenan dengan Corona
Banyak yang menilai lagu ini kurang pantas serta tidak adanya rasa prihatin terhadap pengidap virus yang sedang mewabah itu. TIdak hanya dihujat oleh netizen, lagu Corona juga diprotes oleh Presidium Komunitas Keluarga Migran Indonesia (KAMI) Jawa Timur, sebab mencoreng nama baik Banyuwangi. Ini hanya salah satu contoh bias isu pendemi Corona
Membijaki Isu Global Pandemi
Peristiwa pandemi pada dasarnya adalah bencana, tepatnya bencana penyakit, wabah penyakit. Namun, terhadap pandemi yang merupakan isu global itu itu ada pihak yang tega-teganya untuk membiaskan baik buat sekedar main-main, atau bahkan untuk kail keuntungan pribadi secara jahat. Memang, tidaklsh mudah memutus isu dari biasnya. Terlebih bias isu suatu hal terhadap aspek- aspek lain merupakan konsekuensi logisnya, seperti bias isu Covid-19 ke aspek spikoligis, ekonomik, terasi sosial, pelaksanaan layanan publik, kegiatan pendidikan, dsb.
Meski tidak harus dengan jalan memutuskan biasnya, paling tidak, diupayakan untuk dapat mengelola isu secara bijak, sehingga wabah penyakit yang masuk kategori “penyakit mrnular yang berbahaya” Ini tidak ditambahi bebannya dengan sengaja membiaskan atau mempolarisasiksn deni keuntungan pribadi.
Dalam hubungan dengan konsepsi “pagebluk”, jika isu pandemi Covid-19 dipahami sebagai suatu wujud pagebluk, maka ipagebluk ini adalah “adalah isu global pandemi Civid-19 menurut penahanan lokal”, dengan menrmpatkannya sebagai pagebluk (wabah penyakit menular, atau pandemi) yang disebabkan oleh virus Corona. Konsepsi pagebluk sebagaimana yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, konsepsi itu adalah cara pandang masa lalu, yang perlu diketahui meskipun konsepsinya “tak musti diterapkan sana persis” untuk kasus ini.
Tak harus dipaksakan untuk “dimitiskan” dengan mencari-cari latar penyebabnya di luar faktor virus. Untuk itulah, makan solusi pertama dan utama terhadapnya tentulsh solusi medis, higienis, dan kewaspadaan diri dalam berelasi sosial guna mencegah penularan. Adapun solusi lain, termasuk solusi religis, adalah hal yang tidak kalah penting untuk diikhtiarkan dengan pengharapan mendapat perlinungan dan keselamatan Illahi Robbi.
Penyikapan bijak terhadap Covid- 19 perlu didasari pemahaman dan kesadaran bahwa wabah penyakit ini adalah “pandemi global”, penyakit menular yang berbajaya, yang butuh kewaspadaan, kesiagaan, kesungguhan, dan kebersamaan semua dari kita dalam penanggulangannya. Terlebih bila menilik data Worldmeters bahwasanya jumlah kasus global per 23 Maret 2020 siang telah mencapai 339.036.
Kemudian pada Senin sore, angka itu bertambah menjadi 342.407 kasus, yang kini menimpai 192 negara, dengan korban jiwa nencapai14.753 kasus, sementara 99.041 kasus diantaranya berhasil untuk disembuhkab. Adapun di Indonesia, telah terdapat 579 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 49 orang, dan 30 orang berhasil sembuh. Beragam ikhtiar karena perlu dilaksanakan, baik upaya : (s) teknik-medis, (b) osio- medikal, maupun upaya (c) kultiural-mediikal. Ablmbil llah bagian pada ragam upaya itu sejauh yang bisa anda upayakan.
Sebagai pamungkas kalam, besar pengharapan kita semoga mala petaka Covid-19 segera berlalu “nir ing sambekolo”, Bila awal tulisan dibuka dengan doa Islami untuk tolak penyakit, maka penghujung tulisan ini dipungkasi pula dengan Kidung Tolak Balak,l berjudul “Kidung Rumekso ing Wengi”.
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi Brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman
Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal
Mugi paring pedah, nuwun.
Sangkaling, 24 Maret 2020
Griya Ajar CITRALEKHA
Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang
[…] https://www.terakota.id/polarisasi-dan-bias-isu-pandemi-bagian-2/ […]