
Terakota.id—Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU) serta beberapa organisasi lain termasuk tokoh-tokoh masyarakat mengusulkan agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 ditunda terlebih dahulu. Namun pemerintah bergeming. Melalui pernyataan presiden, Pilkada tetap akan digelar di tengah pandemi covid-19 saat yang terpapar virus itu belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Pro kontra pelaksanaan Pilkada pun semakin mengemuka. Protes di sana sini juga terus dilakukan. Sementara pemerintah tetap dengan keputusannya untuk tetap melaksanakan Pilkada tersebut. Alasannya, pelaksanaan Pilkada hak konstitusional masyarakat dan mematuhi aturan. Tumben, pemerintah mengakui untuk melaksanakan hak masyarakat sementara dalam beberapa kasus sering mengebiri hak rakyat?
Alasan lain tentu soal biaya. Pilkada saat ini dianggap akan irit biaya. Bagaimana tidak? Dengan alasan pandemi covid-19 pemerintah bisa melarang masyarakat untuk berkumpul. Melaksanakan kampanye dengan berkumpul bisa dilarang, arak-arakan pengerahan massa juga bisa ditekan. Semua itu dengan alasan pandemi covid-19. Jika ini dipilih maka memang alasan ekonomi menjadi sebab. Bagaimana pemerintah tidak memilih kebijakan ini kalau kondisi keuangan karena pandemi carut marut dan bangsa ini akan terancam resesi?
Alasan lain karena biaya awal Pilkada sudah dikeluarkan. Ini tentu saja alasan yang dibuat-buat. Jika memang sudah dikeluarkan biaya lainnya kan bisa disimpan dahulu? Atau karena para “cukong” Pilkada sudah mengeluarkan biaya banyak? Tentu alasan politis tetap menjadi pertimbangan kelompok yang mendukung pelaksanaan Pilkada.
Ngotot
Pemerintah boleh ngotot. Siapa sih yang berani melawan pemerintah? Di sana ada alat-alat kekuasaan (undang-undang, aparat, senjata) yang hanya bisa digunakan oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Hukum juga bisa diputuskan sendiri mana yang bisa mendukung kebijakannya mana yang tidak. Pokoknya bebas.
Bagaimana dengan usulan NU dan MU soal penundaan Pilkada? Ah itu soal kecil. Mereka hanya sekadar organisasi Islam yang tidak punya daya tekan memaksa, sebagaimana alat-alat negara. Paling-paling hanya himbauan semata. Bukankah penundaan ilkada itu hanya usulan pula? Namanya juga usulan, bukankah tidak harus diterima? Itu salah satu alasannya.
Apakah dengan tidak menerima usulan NU dan MU, dua organisai besar keislaman di Indonesa itu akan ngambeg? Tenang, semua bisa dinegosiasi. Pemerintah bisa melakukan pendekatan-pendekatan ke para pimpinan atau anggota organisasi. Dilobi beres. Kalau perlu dikasih dana. Ini pikiran nakal saja.
Masalahnya, NU dan MU ini organisasi besar di Indonesia. Memutuskan kebijakan atau usulan tentu bukan sekadar suka dan tidak suka. Mereka bukan parpol dengan semangat omongan esuk tempe sore dele (pagi tempe sore kedelai). Mereka dua organisasi yang dibangun dari emosi dan ruh masyarakat. Akarnya pun sangat kuat.
Sumbangan pada negara ini juga tidak sedikit. Kalau parpol tentu hanya untuk kepentingan politik-ekonomi. Cukup bermodal dana banyak, pandai cuap-cuap, obral janji dengan dukungan alat-alat negara, organisasi bernama parpol itu akan tetap eksis. NU dan MU bukan organisasi kaleng-kaleng. Tetapi sekali lagi mereka tidak punya alat-alat negara.
Mereka hanya hanya massa. Ini salah satu andalan dua organisasi tersebut selama ini. Negara hanya akan mendengarkan suara NU dan MU jika dua organisasi itu memerintahkan warganya untuk memboikot Pilkada. Ini baru akan didengar pemerintah.
Apakah dua organisasi itu bisa melakukan hal demikian? Tak ada yang mustahil jika itu sudah menyangkut nyawa banyak orang. Masalahnya korban bisa jadi akan berjatuhan pada anggota kedua organisasi tersebut. Usulan NU dan MU bukan kaleng-kaleng dan hanya untuk kepentingan sesaat.
Cara Jitu
Ada cara lain yang sangat jitu. Dukung saja kebijakan pemerintah untuk menggelar Pilkada serentak itu. Barkah saja korban berjatuhan. Ya kalau usul ditunda tidak diterima lalu bagaimana? Pilihanya kan membiarkan saja.
Bagaimana jika banyak korban? Apakah tidak sayang? Apakah NU dan MU tak akan dituduh sebagai biang keladi kematian akibat virus covid-19 yang belum bisa ditekan? Bukankah NU dan MU tidak lagi memperhatikan manfaat dan mudharatnya? Ya kalau dengan mengusulkan tidak diterima pilihannya membiarkan saja, bukan?
NU dan MU tentu sudah tidak akan menjadi pihak yang tertuduh. Yang tertuduh tetap pemerintah karena ngotot menggelar Pilkada di tengah pandemi. Jadi, dosa dan kesalahan yang terjadi berada di tangan pemerintah. Kan NU dan MU sudah memberikan usulan bahwa melaksanakan Pilkada di tengah pandemi banyak mudharatnya?
Bukankah selama ini pula pemerintah jalan sendiri dalam mengatasi pandemi dengan memandang sebelah mata pendapat lain dan usulan masyarakat termasuk organisasi profesi, kemasyarakatan, pribadi, akademisi dan lain-lain? Tak ada yang bisa melawan pemerintah kecuali nafsu pemerintah itu sendiri.
Kita tahu, rezim ini sangat kuat. Tanpa oposisi sejati. Didukung oleh kekuatan politik yang kuat pula. Pemerintah bisa membuat kebijakan hebat untuk kesejahteraan rakyatnya. Ia juga bisa berbuat sekehendaknya menurut kepentingan diri dan kelompok pemerintah. Mengapa tidak? Pemerintah kita sangat perkasa kok. Hanya kekuatannya mau digunakan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak atau tidak? Modalnya sudah lebih dari cukup. Tinggal political will (kemauan politik)
Maka, terhadap rezim yang kuat dan kadang tanpa bisa dikontrol pilihannya dengan cara menyanjungnya saja. Bukankah pak Soeharto (presiden 32 tahun) itu runtuh juga karena banyak “brutus” di sekitarnya? Apakah kita tidak pernah belajar dari sejarah?
Kadang cara menasihati rezim bukan dengan mengkritik dan mengoreksinya. Kadang lho ini. Tapi membiarkan dengan membuat kesalahan demi kesalahan. Lalu membiarkannya rontok atau “busuk” dengan sendirinya.
Melihat kinerja pemerintah saat ini saya cukup tinggi mengapresiasi, terlepas dari kekurangan disana-sini, saya tidak hendak menyoroti ndablek nya pemerintah atas usulan ormas islam untuk menunda pilkada, tapi bagaimana ormas islam tersebut masih saja carmuk kepada rakyat, sistem demokrasi yang dianut serasa muspro, bagaimana perangkat demokrasi yang ada tidak gunakan dengan semestinya, dus perangkat pemerintahan juga di disfungsikan, bukankah perangkat2 tersebut dibiayai rakyat? Betapa dlolimnya ormas islam kepada rakyat jika tidak ikut serta mengikuti, memperbaiki dan menggunakan dengan baik? Mengapa usulan penundaan pilkada tidak menggunakan force majeure?bukankah opsi force majeure lebih bisa digunakan untuk menunda pilkada, nah ormas islam lewat perangkat demokrasi dan pemerintahan yang ada (dan mungkin juga ada didalamnya) harusnya lebih bisa memaksa penundaan pilkada, bukan dengan carmuk keluarkan fatwa atau usulan yang seolah-olah pahlawan ditengah kesempitan