Terakota.id–Dunia anak memang dunia yang khas. Dunia yang berbeda dengan dunia orang dewasa dan para orang tua. Sebagaimana kata Kahlil Gibran, “Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.” Penyair Lebanon ini seakan mewanti-wanti untuk membuat batas tegas mana pikiran yang menghidupi dunia orang tua dan mana pikiran yang menghidupi dunia anak-anak.
Ibarat kertas, anak-anak tak ubahnya lembaran putih yang polos. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad menyebutnya fitrah (suci). Sedang John Locke mengilustrasikannya dengan tabula rasa. Orang dewasalah yang kemudian menulisi atau mewarnai kepolosan dan kesucian itu. Tanpa kepekaan pada dunia anak, orang dewasa justru akan mengubah kesucian itu menjadi sesuatu yang korup, kotor, dan menjijikkan. Tanpa pemahaman memadai terhadap dunia anak, lambat laun orang dewasa akan mengubah kepolosan itu menjadi kebengisan yang mengerikan.
Dunia anak-anak butuh dihidupi dengan bacaan. Tentu bacaan yang sesuai dengan kadar berfikir dan bahasa mereka. Mereka perlu didekatkan dengan buku, tulisan, atau cerita yang bagus. Dan ini bukanlah sesuatu yang sulit. Tapi memang lebih gampang membentak-bentak anak dan membiarkan mereka diasuh televisi dari pada membacakan mereka sehimpun cerita anak. Padahal, serupa kebun bunga, imajinasi dan kreatifitas anak juga perlu disirami dengan bacaan agar selalu bertunas dan tumbuh.
Okky Madasari. Ia bukan nama asing di jagat literasi Indonesia. Dari tangan perempuan kelahiran Magetan 1984 silam ini, telah lahir 5 novel dan 1 antologi cerita pendek. Meski begitu, novelis peraih Khatulistiwa Literary Award 2012 ini merasa ada yang kurang dari geliat perbukuan Indonesia saat ini. Yaitu minimnya bacaan anak yang bermutu dan akrab dengan keragaman budaya Indonesia. Dalam beberapa wawanca dengan media, Okky mengaku agak kesulitan ketika meminda buku-buku cerita yang layak dikonsumsi oleh anaknya, gadis cilik 3,5 tahun.
Sebagai penulis, Okky pun merasa tertantang untuk menghadirkan cerita anak yang berkualitas. Lalu, ia mulai menggarap novel anak pada 2016, berhasil merampungkannya Oktober 2017, dan terbit 2018. Okky memberinya judul, “Mata di Tanah Melus.” Judul itu terinspirasi dari nama putrinya, Mata Diraya.
Anak-anak Butuh Cerita
Pada lembar-lembar awal, Okky telah mengajak pembaca untuk merenungi pentingnya cerita bagi seorang anak. Sekaligus tidak membiarkan anak terasing di antara gunungan cerita yang diperuntukkan bagi dunia orang dewasa. Okky mengisahkan seorang anak yang gandrung dan selalu rindu akan cerita. Tapi di sisi lain, ia seakan terasing di hadapan kedua orang tuanya yang sebenarnya adalah penulis cerita.
“Tapi kenapa Mama tak juga mengizinkanku untuk membaca cerita-cerita yang ditulisnya? Seperti apa dunia yang selalu disembunyikan Mama dariku?” (hal.14)
Anak itu sedang memasuki usia transisi. Lulus SD dan akan masuk SMP. Ia merasa telah cukup umur untuk membaca tulisan mamanya. Ia didorong rasa penasaran akan dunia orang dewasa dan ingin melongoknya. Membaca cerita mamanya, berarti pula membebaskannya dari keterasingan. Ia akan hidup di dunia yang sama dengan mamanya.
“Sebab ibuku selalu hidup dalam dunianya sendiri.” Begitu Matara tokoh utama, mengeluh dalam cerita.
Anak-anak butuh petualangan. Mereka butuh dikenalkan hal-hal baru sebanyak mungkin. Sesuatu yang berbeda dan spesial. Okky menyajikan semua itu di novelnya. Seorang ibu dan putrinya berada dalam satu petualangan yang tak biasa. Kedunya mendarat di Belu. Tempat asing. Tidak banyak diulas di internet, begitu gerutu Matara.
Cerita dalam novel ini bergerak persis seperti sebuah petualangan. Ia mengikuti adegan demi adegan yang dilalui oleh tokoh utama. Salah satu cara pengarang untuk menghidupkan ceritanya ialah dengan menghadapkan tokoh utamanya dengan masalah atau konflik. Konflik yang bagus akan menawan pembaca untuk merampungkan kata demi kata dalam cerita. Begitupun berlaku sebaliknya. Okky sadar akan itu. Segera setelah mendarat di Belu, Mata dan mamanya terantuk masalah serius.
Mobil yang menjemput mereka dari bandara menabrak seekor sapi. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Mata dan Mamanya dihukum membayar denda sesuai adat di sana dan keluarlah angka dua puluh juta. Nilai yang lumayan tinggi untuk seekor sapi. Adat di sana, juga menuntun mereka untuk membuat upacara sederhana. Semacam permisi. Harapannya, kesialan serupa tidak akan berulang.
Petualangan terus berlanjut. Dan pembaca akan disuguhi semesta cerita yang menarik. Konflik cerita menegang ketika Mata terpisah dengan mamanya. Ia terdampar di tanah Bangsa Melus, bangsa yang ditengarai telah punah. Mata ingin keluar dari Tanah Melus. Ia berupaya melarikan diri. Sialnya, ia justru terperosok dan masuk ke dunia kupu-kupu. Di sana ia bertemu dengan ratu kupu-kupu, perempuan cantik, bersayap dan hidup abadi. Keluar dari dunia kupu-kupu, Mata terbenam di kubangan lumpur dipenuhi buaya. Buaya-buaya itu seakan ingin menelannya hidup-hidup. Bagaimana cara Matara lolos? Entahlah.
Terbiasa Kritis Sejak Dini
Meski ini novel anak-anak, Okky tidak menanggalkan gayanya. Ia penulis yang selalu menyelipkan kritik di dalam karyanya. Di dalam novel ini, saya seperti berjumpa dengan seorang ibu yang kritis dengan pendidikan anaknya. Ia seorang Ibu yang protes ketika neraka yang menakutkan dituturkan oleh seorang guru agama kepada anaknya. Ia juga seorang ibu yang memilih memindahkan anaknya daripada membiarkan usia bermain anaknya dirampas oleh pekerjaan rumah yang menumpuk. Sebagaimana diceritakan oleh tokoh utama, ibu itu juga menolak ajakan wisata ke luar negeri yang menurutnya hanya menghambur-hamburkan uang.
Ketika terpisah dengan mamanya, Mata berjumpa dengan orang-orang asing. Dan setiap kali memperkenalkan diri dari Jakarta orang-orang itu tidak ada yang kenal Jakarta. Bagi saya, ini cara menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta. Ada banyak tempat dan daerah lain yang juga bagian dari bangsa Indonesia.
Selain itu, novel ini juga mengenalkan persoalan sumberdaya alam dan lingkungan kepada anak-anak. Tanah Melus, tempat Mata tersesat, terkenal kaya. Banyak orang luar mengincarnya demi uang. Padahal, bagi Bangsa Melus gunung ibarat pusaka dan kehormatan. Gunung harus dijaga (hal.112). Orang-orang dari luar menginginkan Bangsa Melus habis. Lalu, mereka akan m enguras seluruh harta dan kekayaan yang terkandung di sana.
Sama halnya ketika Mata bertemu Ratu Kupu-kupu atau Dewa Buaya. Di sana pembaca akan berkenalan dengan Ratu kupu-kupu yang berusaha menjaga bangsa kupu-kupu agar tidak tumpas dibunuh dan dijadikan hiasan (hal.145). Pembaca juga akan dikenalkan dengan para buaya yang menjadi incaran para pemburu yang akan menukar buaya dengan tumpukan uang (hal. 158).
Sastra punya caranya sendiri dalam menghantarkan pesan. Petualangan Mata seolah penegasan bahwa alam bukan lah komoditas. Hal ini teramat relevan dengan Indonesia yang memang sedang menghadapi krisis agraria. Dimana Sumberdaya alam dijajakan demikian semarak kepada para investor. Industri tambang mengoyak kelestarian lingkungan. Juga petani-petani meradang di atas tanahnya sendiri yang tak seberapa luas tapi berada di bawah incaran alih fungsi lahan. Sedang hewan-hewan, mereka menangis kehilangan habitatnya.
Selamat membaca.
Judul : Mata di Tanah Melus
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Pertama 2018
Tebal : 192 Halaman
ISBN : 9786020381329
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict