Pengunjung Pesta Buku sedang berfoto di both swafoto. (muntaha/terakota)
Iklan terakota

Terakota.id-Ada yang menarik dari beberapa event pergantian tahun 2017 di Kota Malang. Bukan pesta kembang api, pesta dansa, apalagi pesta bakar jagung. Melainkan Pesta Malang Sejuta Buku.

Tema yang diusung penyelenggara “Ketemu Buku, Banyak Buku yang Tidak Kamu Tahu” ini berlokasi di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Malang, dan berlangsung sejak 29 Desember 2016 sampai  4 Januari 2017.

Penyelenggara acara tampaknya ingin menggalakkan minat baca masyarakat Indonesia, khususnya di Kota Malang yang banyak terdapat kampus. “Kondisi masyarakat hari-hari ini lebih senang menonton televisi dan memanfaatkan kecanggihan teknologi (internet) dengan mencari segalanya di sana dan bukan melalui membaca buku. Keresahan ini coba kami jawab dengan pesta buku semacam ini,” ujar Ade Anggraini, Project Assessment PSMB ’16 kepada Terakota.id, Sabtu (31/12/2016).

Ia menambahkan, acara ini juga sebagai ruang bertemunya para pecinta buku dan ruang yang menarik masyarakat untuk mencintai buku. “Akhir-akhir ini gerakan literasi banyak dikampanyekan. Dengan begitu, acara seperti ini perlu terus dilakukan untuk mengembangkan budaya membaca dan menulis,” tambah Ade.

Pesta ketemu buku ini menyajikan 37 stand dengan 300-an penerbit yang mengikutinya mulai penerbit yang sudah punya nama maupun penerbit indie. “Banyak buku yang tidak kamu tahu itu maksudnya banyak buku-buku indie yang tak ada di toko-toko buku,” jelas Ade.

Selain bazar buku, penyelenggara juga menghadirkan 20 penulis Kota Malang untuk berbagi pengalaman dengan pembaca. Talkshow, dialog literasi bedah buku ketemu para tokoh, musikalisasi, monolog buku, dan cangkruk sastra, juga turut meramaikan pesta buku ini. Beraneka lomba tak kalah menyemarakkan Malang sebagai Kota Buku agar bukan lagi isapan jempol.

Catatan Seputar Buku

Berkaitan dengan budaya literasi, masyarakat kita dianggap belum mempunyai budaya literasi yang tinggi. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara yang diteliti. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar. Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti.

Pengunjung pesta buku melihat beragam buku-buku yang dijual di stand. (muntaha/terakota)

Selain itu, data statistik UNESCO tahun 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Dalam tulisannya di Koran Sindo (25/03/2015), “Meretas Budaya Baca,” Jejen Musfah, Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN Jakarta mengatakan, “hanya ada satu orang dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca yang tinggi. Center for Social Marketing (CSM) menjelaskan, perbandingan banyak buku yang dibaca oleh siswa SMA di beberapa negara, Indonesia menempati tempat terendah. Untuk siswa SMA di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sejumlah 32 judul, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, sedangkan Indonesia 0 buku.”

Rendahnya minat baca, menurut Jejen ditengarai akibat minimnya perpustakaan yang ada di tanah air. “Jumlah perpustakaan umum hanya 2.585, sehingga satu perpustakaan harus sanggup melayani 85.000 penduduk. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional, dari 64.000 desa, yang punya perpustakaan 22%,” ungkap Jejen.

Budaya literasi yang rendah, juga bisa dikaitkan dengan masih tingginya angka buta huruf masyarakat Indonesia. Pada peringatan Hari Aksara Internasional , 8 September 2016, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harris Iskandar, menuturkan bahwa Sebanyak 3,56 persen penduduk Indonesia atau dari 5,7 juta orang masih buta aksara. “Ini berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) per tahun 2015. Angka tersebut menurun tipis dari tahun 2014 sebelumnya yakni 3,7 persen atau 5,9 juta penduduk,” Ujar Harris Iskandar, seperti dilansir laman resmi Kemendikbud.

Secara umum, Indonesia memiliki persentase buta huruf sebesar 4,78 persen untuk usia 15 tahun ke atas, 1,10 persen untuk usia 14-44 tahun dan 11,89 persen untuk usia 45 tahun ke atas. Perolehan tersebut berdasarkan data terakhir mengenai persentase buta huruf tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Ironisnya, di tengah budaya literasi yang masih dalam level rendah, pemerintah justru menciptakan ketakutan dan teror di jagad literasi. Sepanjang 2016, banyak sekali terjadi pembubaran diskusi buku dan pelarangan buku. Buku-buku yang dianggap mengganggu stabilitas, dicekal untuk dibedah maupun disebarkan ke khalayak.

Fasisme terhadap budaya literasi ini makin subur tatkala kelompok sipil fundamentalis malah dibiarkan menyabotase acara-acara literasi secara sepihak. Perpustakaan Jalanan menjadi korban aksi sepihak Komando Daerah Militer III Siliwangi yang membubarkan lapak buku gratis yang mereka gelar secara kolektif di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Agustus 2016. Berkaitan dengan pelarangan buku, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, pemerintah menerbitkan larangan edar terhadap 22 buku setelah era reformasi tahun 1998. Di mana sebelumnya, pada era Orde Baru 179 buku dilarang beredar.

Teror tidak berdasar yang diciptakan oleh pemerintah, bisa jadi malah membuat budaya literasi di Negara ini tertekan. Masyarakat menjadi takut untuk membaca, menulis, atau mendistribusikan buku-buku kritis. Karena terlampau dicap sebagai pengganggu stabilitas Negara dan menyebarkan ideologi terlarang. Milan Kundera, penulis novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa, asal Republik Ceko pernah mengatakan, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Bukan kah, represi terhadap jagad literasi, secara tidak langsung juga merupakan bagian dari penghancuran ini?

1 KOMENTAR