
Terakota.id— Founder Environment Institute Mahawan Karuniasa mendesak delegasi Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 atau Conference of the Parties (COP) untuk menagih komitmen negara maju dalam kesepakatan Paris Agreement. Menagih komitmen negara maju untuk menyalurkan dana 100 miliar USD ke negara berkembang dalam mitigasi perubahan iklim.
“Sebab sampai saat ini, janji tersebut belum terealisasi sepenuhnya,” tutur Mahawan dalam Diskusi Publik bertajuk “Menuju COP-26 di Glasgow: Pembelajaran Peningkatan Aksi Iklim yang Lebih Ambisius”, yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia secara daring pada Jumat, 16 Juli 2021.
COP-26 rencananya akan diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021. Konferensi sempat tertunda karena pandemi. Mahawan juga mengingatkan komitmen baru untuk membawa emisi bersih dan usulan dana tambahan untuk negara berkembang yang selama ini belum ditepati negara maju.
Co-Founder & Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) Moekti H. Soejachmoen menjelaskan agenda COP-26 yang akan dilaksanakan secara paralel dengan negosiasi dan non-negosiasi. KTT, katanya, kelompok perundingan tetap di Konferensi Tingkat Tinggi Iklim (UNFCCC) dan kelompok perundingan baru dan berdasarkan isu atau kepentingan sesaat dari sekitar 200 negara akan melakukan negosiasi.
Sedangkan non-negosiasi berasal dari Cartagena Dialogue atau forum dialog dan berbagi informasi sekitar 30-40 negara. Sedangkan Indonesia menjadi salah satu penggagasnya. Agendanya menciptakan kesepakatan bersama dalam penanganan perubahan iklim yang dibutuhkan dalam kepemimpinan global dan dorongan diplomatik yang kuat. Mengingat dalam KTT Iklim atau UNFCCC COP-25 di Madrid, Spanyol 2019, berakhir dengan kesepakatan kompromi dan tanpa komitmen besar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan menyesalkan hasil pertemuan tersebut karena negara pencemar yang mempunyai kekuatan finansial besar dan kekuatan berpengaruh tidak sepakat dengan negara yang rentan perubahan iklim.
Negosiator dari sekitar 200 negara yang datang ke Madrid untuk menyelesaikan buku aturan perjanjian Paris 2015. Khususnya artikel 6 Perjanjian Paris yang memerintahkan negara-negara membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah dua derajat celcius yang berakhir buntu. Lantaran sebagian besar negara penghasil emisi terbesar di dunia menolak seruan menurunkan suhu global.
Sedangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun dokumen perencanaan pembangunan rendah karbon (PPRK) atau Low Carbon Development Initiative (LCDI). Kebijakan yang mendorong implementasi penurunan karbon ini fokus pada lima hal penting. Meliputi transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi energi batubara, moratorium dan penggunaan kehutanan dan pertambangan berkelanjutan.
Serta meningkatkan produktivitas lahan, kebijakan efisiensi energi, menetapkan target pada sektor kelautan dan perikanan serta biodiversitas.
Sedangkan Tony La Viña dari Manila Observatory, Philippines menyatakan bahwa perhelatan COP-16 tak bisa lepas dari isu pandemi Covid-19 yang melanda global. Tony menekankan pembaruan sains dalam pembahasan maupun pengambilan keputusan di COP-26. Terutama isu tentang climate justice dan vaccine justice juga sangat penting dibahas karena keduanya saling terkait.
“Isu keadilan distribusi vaksin Covid-19 khususnya di negara-negara berkembang saat ini juga berkait dengan isu keadilan iklim,” katanya. Lantaran banyak negara berkembang yang notabene terdampak perubahan iklim masih kesulitan mendapatkan vaksin Covid-19 dibanding negara maju.
Ketua Umum SIEJ Rochimawati menyatakan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi dan isu perubahan iklim harus dikawal. Peran media dan jurnalis sebagai fungsi watchdog dangat penting sehingga pemerintah mempunyai komitmen sesuai dengan peta yang telah dibuat.
“Momentum COP-26 untuk mendorong isu ini diangkat ke tengah publik. Masifnya bencana dan persoalan energi kotor di Indonesia,” katanya.
SIEJ selama ini berkomitmen mendorong jurnalis dan media narasi tentang lingkungan dan perubahan iklim melalui pemberitaan. Serta transfer pengetahuan kepada kalangan jurnalis di Indonesia. Sehingga SIEJ berupaya menggelar berbagai program peningkatan kapasitas jurnalis untuk peliput isu perubahan iklim.
Salah satunya, bekerja sama dengan WRI Indonesia yang akan membuka beasiswa peliputan isu perubahan iklim dan penurunan emisi. Beasiswa diberikan untuk jurnalis di Indonesia agar isu penting ini tak ditinggalkan.
Climate Research Analyst WRI Indonesia Cynthia Maharani menyatakan untuk menghadirkan sejumlah pakar iklim dan negosiator untuk mengupdate isu ini. Tujuannya untuk mendukung peningkatan kapasitas jurnalis memahami isu perubahan iklim di Indonesia.
“Harapannya bisa mendorong lebih banyak lagi pemberitaan terkait upaya penurunan emisi baik oleh pemerintah, swasta dan lembaga-lembaga non-pemerintah,” ujar Chintya.

Jalan, baca dan makan